Ilustrasi pendidikan masih belum bisa diakses oleh semua orang, tapi cenderung hanya menjangkau mereka yang ekonominya menengah ke atas. (ilustrasi/freepik)
Berawal dari per-gibah-an di beberapa akun menfess kampus, isu Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) mencuat di ruang publik. Namun, saya kira, tak cukup dengan gibah, utamanya kita harus menuntut sesuatu yang memang hak mendasar kita: #PendidikanBagiSemua.
Isu KIP-K mulai mencuat pada akhir Maret 2024 secara khusus di lingkup Universitas Padjadjaran (Unpad) melalui isi cuitan di akun menfess @DraftAnakUnpad atau akrab disebut DAU di media sosial X. Dari satu cuitan ke cuitan lainnya, isu KIP-K terus diperbincangkan.
Hal ini berangkat dari keresahan mengenai gaya hidup penerima KIP-K. Alih-alih menampilkan gaya hidup sederhana, si penerima KIP-K tersebut malah melihatkan gaya hidup yang hedon. Akhirnya, kritik dan judgment moral personal pun tak terbendung.
Tak hanya di akun menfess DAU saja, isu KIP-K ini juga melebar di akun menfess kampus lainnya, seperti @undipmenfess, @UGM_FESS, dan @MenfesUnej. Isi cuitan di beberapa akun menfess tersebut tidak berbeda jauh dengan yang ada di DAU, yakni kritik dan penilaian moral personal kepada penerima KIP-K yang memiliki gaya hidup hedon.
Tidak berhenti di media sosial X, isu ini juga merambah ke media sosial lainnya, seperti Facebook dan Instagram. Misalnya, ada sebuah postingan berisi hasil screenshot dari akun @undipmenfess masih terkait isu yang sama yakni gaya hidup hedon penerima KIP-K. Cukup mengejutkannya karena postingan tersebut berada di sebuah grup Facebook yang beranggotakan 260 ribu orang.
Selain itu, isu ini terus ramai, hingga menjadi isu nasional yang diberitakan di beberapa media mainstream. Misalnya, berita terkait respon pihak kampus Universitas Brawijaya (UB) dalam menyikapi wacana gaya hidup hedon penerima KIP-K. Selain UB, pihak Unpad juga turut memberikan responnya mengenai isu ini.
Dalam merespon wacana KIP-K yang beredar, sejumlah Organisasi Mahasiswa (Ormawa) seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas pun turut mengawalnya dengan melakukan kajian mendalam.
Setelah beredarnya wacana KIP-K di DAU, BEM Unpad bergerak untuk melakukan kajian tersebut. Kajian tersebut berisi dari mulai duduk persoalan KIP-K, hingga rekomendasi kebijakan untuk ke depannya. Isi kajiannya cukup komprehensif, kritiknya juga lumayan tajam.
Selain BEM Unpad, BEM Universitas Udayana juga melakukan kajian serupa, meskipun tidak terlalu mendalam. Poin yang digagasnya sama, yakni perbaikan dan pembenahan KIP-K agar tepat sasaran.
Namun, saya kira tetap perlu ada kajian lanjutan dan utamanya adalah agenda menuntut #PendidikanBagiSemua. Inilah yang saya kira perlu untuk terus digaungkan dan diwacanakan, baik di media sosial maupun aksi secara langsung.
Dari Tuntutan Moral Personal Menuju Perubahan Struktural
Sejak mula mencuatnya isu KIP-K ini, rasa-rasanya dilihat dari isi cuitan di beberapa akun menfess, mereka lebih mirip seperti gibah. Gibah yang dimaksud, misalnya membicarakan salah satu penerima KIP-K yang terlihat dari sosial media yang dimilikinya itu gaya hidupnya hedon. Katakanlah, liburan, beli barang-barang mewah dan sebagainya. Lalu, setelah satu cuitan tersebut, langsung ramai-ramai pihak yang setuju mengompori dan melampiaskan keluhannya dengan me-reply cuitan tersebut. Dari situlah gibah kolektif berlangsung di laman media sosial X.
Tak dapat dipungkiri, bahwa mengemukanya isu KIP-K ini di ruang publik karena gibah-gibah tadi. Dari gibah di satu akun menfess melebar ke akun menfess lainnya, ke media sosial lain, hingga sampai ke telinga pejabat kampus dan masyarakat luas. Dari gibah tersebut, akhirnya turut membangun awareness masyarakat terkait kebijakan pemerintah dalam menjalankan amanat pembukaan undang-undang: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Meskipun begitu, saya kira tak cukup jika isu KIP-K ini berhenti pada gibah semata. Pendapat saya begini: gibah KIP-K dalam beberapa waktu terakhir ini cenderung menyasar dan menuntut moral personal, bukan perubahan struktural. Wacana yang beredar adalah menuntut si penerima KIP-K untuk tidak menampilkan gaya hidup yang hedon, apalagi itu dari hasil uang KIP-K. Selain itu, pun menuntut pihak kampus agar mengatur bantuan KIP-K ini secara tepat sasaran.
Saya tidak sepenuhnya berada di pihak penerima KIP-K yang hidup hedon, tapi alih-alih kita berbondong-bondong untuk menuntut moral mereka lebih baik kita menyusun strategi untuk menuntut pemerintah memberikan akses pendidikan bagi semua orang.
Saya cukup mengerti dari sudut pandang mereka yang tidak menerima KIP-K bahwa seharusnya dana KIP-K itu digunakan sebaik-baiknya untuk urusan belajar. Lalu merasa tidak adil karena seharusnya dana KIP-K memang bagi mereka yang kondisi ekonominya sesuai standar yang ditetapkan. Beberapa dari mereka yang tertolak atau tidak mendapatkan dana KIP-K juga masih ada yang kesusahan dalam membayar biaya pendidikan dan biaya hidup sehari-hari. Sehingga jika melihat ada penerima KIP-K dengan gaya hidup yang hedon mereka merasa tidak adil.
Saya bisa memahami hal tersebut, tapi inilah ironi di negara kita. Seharusnya siapa pun itu, darimana pun asalnya, bagaimanapun kondisi ekonominya, semua rakyat Indonesia berhak mendapatkan akses ke Perguruan Tinggi. Namun, sayangnya, nyatanya tidak seperti itu. Pendidikan lagi-lagi menjadi komersil, berpihak pada mereka yang mempunyai uang saja. Sehingga, konflik horizontal seperti saling gibah tadi bisa terjadi. Kita saling tuduh dan berburu ingin menjadi penerima, padahal yang berhak menerima adalah kita semua, terlepas dari identitas dan kondisi ekonomi kita.
Maka saran saya, alih-alih massa yang banyak itu hanya menggunakan tenaganya untuk bergibah, lebih baik dipakai untuk menuntut pemerintah dalam memberikan akses #PendidikanBagiSemua. Mengingat isu pendidikan tidak hanya menyoal KIP-K, tapi juga persoalan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin naik di berbagai kampus.
Jika dilihat dari efektivitas dan dampaknya, cara gibah atau julid itu masih kurang efektif. Misalnya, pada kasus yang ramai di Unpad. Dari sepuluh laporan dugaan penyalahgunaan dana KIP-K oleh penerima, delapan laporan telah diverifikasi dan ditemukan tidak ada penyalahgunaan KIP-K, sisanya belum diverifikasi. Artinya, penerima KIP-K yang dilaporkan atas dugaan penyalahgunaan itu tidak ada yang terbukti dan mereka masih layak untuk mendapatkan KIP-K.
Selain itu, sesuai dengan keterangan dari pihak Rektorat, tidak ada istilah “penyalahgunaan KIP-K”, yang ada adalah apakah si penerima KIP-K itu masih layak jika dilihat dari kondisi keluarganya atau sudah tidak layak menerimanya. Ini menegaskan bahwa secara normatif, dana KIP-K itu boleh digunakan untuk apa saja selama orang itu masih layak menerima KIP-K. Pada akhirnya, gibah yang telah terjadi tidak menghasilkan apa-apa. Mahasiswa yang tertuduh tetap menerima KIP-K, dan yang melaporkan juga tidak dapat apa-apa.
Di sisi lain, ada contoh efektivitas aktivisme digital di Indonesia. Misalnya, ketika masyarakat berbondong-bondong dalam menyuarakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan akhirnya sukses disahkan oleh pemerintah. Selain itu, di Unpad juga pernah ada kasus yang mirip, yakni pada saat ada kenaikan UKT. Ketika rektorat mengeluarkan keputusan kenaikan UKT pada tahun 2020, mahasiswa ramai menyuarakannya lewat tagar #UnpadKokGitu. Alhasil seruan itu menghasilkan perundingan antara pihak mahasiswa dan pihak rektorat terkait kenaikan UKT tersebut.
Dari perbandingan dua contoh kasus tersebut maka terlihat bahwa cara gibah kurang efektif dan lebih efektif serta berdampak dengan menggunakan cara aktivisme digital maupun aksi secara langsung. Di sisi lain, strategi juga cukup menentukan keberhasilan suatu aspirasi dapat tercapai.
Dalam konteks menuntut pemerintah dalam memberikan akses #PendidikanBagiSemua ini bisa dilakukan melalui aktivisme digital, maupun aksi secara langsung. Tantangan utamanya adalah kontinuitas, sehingga saya kira inilah yang perlu diingat: jangan musiman, tapi terus berkelanjutan.
Pada akhirnya, sudah saatnya kita menghindari konflik horizontal dan perdebatan yang kurang berdampak. Sekarang dan sampai kapan pun, kita harus terus menuntut #PendidikanBagiSemua dan terus mengawal isunya hingga tuntutan kita tercapai.
Penulis: Yoga Firman