Ilustrasi wanita tersenyum penuh kebahagiaan (Pixabay)
“Just be positive.” — (almost) everyone.
Akulah manusia paling bahagia di dunia!
Orang-orang sebut di kepalaku tumbuh padang bunga, meskipun sebenarnya aku lebih suka kalau didefinisikan dengan lebih spesifik — misalnya, mirip kebun bougenville. Kedua bola mataku bulat bak buah ceri, tapi warnanya seperti ketimun segar dan diisi penuh dengan macam-macam konstelasi bintang. Bulu mataku totalnya ada 480 helai — betulan, kok. Aku hitung sendiri — dan ibuku pernah cerita sambil ketawa-ketawa kalau itu pernah bikin iri tetangga.
Aku banyak bikin orang terkesima, salah satunya karena aku muntah pelangi saat usiaku masih balita. Ibuku cerita kalau aku pernah sakit keras dan hampir sekarat, tapi aku masih bisa cekikikan karena memandangi muntahanku yang adiwarna. Aku juga senang kalau aku menangis, soalnya aku bisa menyicipi air mataku sendiri yang keemasan dan manis seperti madu. Bukan cuma itu, aku juga enggak begitu mempersoalkan gejala keracunan atau sakit perut karena telur gulung yang dijual di dekat sekolah. Habisnya, aku buang angin pun baunya persis permen gula kapas!
Oh, aku memang selalu bisa melihatnya! Hal-hal manis di samping sesuatu yang orang sebut-sebut sebagai kesengsaraan, kejengkelan, atau bikin ketakutan setengah mampus itu. Seperti saat aku mendapatkan nilai yang jelek di setiap ulangan Matematika, nilaiku akan ditulis memakai spidol merah dan bakal ada catatan kecil bernada memohon di pojok kanan atas kertasnya. Aku suka sekali kalau banyak warna merah bertebaran karena warna merah adalah warna cinta. Guruku pasti sangat sayang padaku sampai membubuhi kertas kerjaku pakai tinta sewarna darah.
Aku juga sangat dekat dengan kakak-kakak kelasku. Mereka sering sekali mengajak aku bicara dan itu bikin aku bangga — ibu bilang, kalau aku bergaul dengan anak-anak kelas atas, berarti aku termasuk bagian dari mereka yang sudah dewasa. Mereka juga enggak sungkan buat meminta bantuan padaku dengan nada lembut–persis seperti yang ibuku sering lakukan–untuk membeli 5 porsi lumpia basah di kantin. Aku merasa seperti diberi tanggung jawab yang hebat! Apalagi akan ada rasa menyenangkan yang hadir ketika kepalaku diusap-usap setelahnya, sembari mereka berkata bahwa aku anak yang sangat kelewatan baiknya. Sebentar lagi, aku bakal mengapung ke luar angkasa!
Selain itu, tetanggaku juga banyak yang sering menyebut namaku dalam pembicaraan mereka. Meskipun kata ibu menguping itu perbuatan jahat — memangnya perbuatan jahat itu seperti apa? — dan ibu tidak mau aku menjadi orang jahat, suara mereka terlalu keras dan membuat aku bisa mendengarnya. Mereka biasanya membicarakan aku, ibuku, dan bapakku yang diculik alien — kata ibu.
Senangnya jadi objek dari obrolan pengisi kekosongan mereka!
Si Pandir, begitulah tetangga-tetangga sekitar rumah menyebutku dalam beberapa antologi pagi dan sore mereka. Aku sangat suka walaupun sebenarnya itu bukan nama asliku. Soalnya, ibu selalu bilang kalau ada yang namanya “panggilan sayang” dan “panggilan sayang” biasanya enggak berasal dari nama asli. Aku jadi berpikir, mungkin itulah perwujudan rasa cinta kasih dari para tetanggaku untukku. Terkadang malah mereka yang menambahkan beberapa frasa lagi setelahnya, seperti “Si Pandir yang Suka Cengar-cengir”. Coba hitung, ada berapa banyak sekarang cinta yang ada di sana?
Namun, entah mengapa akhir-akhir ini aku sedang mengalami suatu keanehan yang misterius. Karena aku sedang berada di masa liburan yang saaangat panjang — ibuku bilang, liburan ini adalah hadiah dari sekolah dan cuma aku yang mendapatkannya—aku jadi sering berjalan-jalan seorang diri di salah satu daerah dekat pusat kota. Toko-toko kuno dengan tipe bangunan bergaya kebarat-baratan berdiri, saling berdampingan, mengisi setiap sisi kiri dan kanan jalan yang tersusun dari batu alam. Entahlah, kayaknya daerah itu memang sengaja dibangun buat pejalan kaki saja.
Meskipun harus bergelut dengan ratusan makhluk hidup lain dan membuatku harus berjinjit-jinjit sambil melepas sandal karena alas kakiku itu terus terinjak-injak, senyumku enggak berhenti mengembang karena banyak sekali orang yang menghampiriku! Mereka meloncat dari berbagai macam arah setiap aku mendekat dan mereka akan mengajakku bercengkrama. Aku suka bicara!
Setelah mengajakku berbicara selama kurang lebih 10 menit, biasanya mereka akan menawariku berbagai macam barang. Senangnya aku karena aku ditawari kue rasa stroberi — merah, aku suka merah — atau sereal coklat dan kopi. Sudah ketiga kalinya hari itu aku mendapatkan tawaran yang sama dan aku senang sekali karena bisa dapat banyak makanan yang manis-manis!
“Ayo kita bermain!” itulah yang akan mereka ucapkan.
Aku sangat suka permainan. Mana mungkin aku menolak?
“Kalau kami mengatakan sesuatu, kamu mengangguk saja, ya.”
“Kalau aku gak ngangguk?”
“Nanti kamu kalah!”
Inilah puncak keanehannya. Setiap aku pulang ke rumah setelah bermain, dompetku pasti sudah kering kerontang. Ibuku bertanya kemanakah larinya keping-keping logam yang ia berikan beberapa menit sebelum aku pergi dan aku baru sadar kalau sepertinya mereka meloncat masuk ke dalam saku celana mahasiswa yang menawariku kue stroberi, sereal coklat, dan kopi.
Alih-alih marah setelah aku menceritakan apa yang terjadi, ibu justru menyeringai dan menampakkan deretan giginya yang bergerigi dengan bangga, “Kamu jadi pemenang di permainannya?”
Bintang-bintang di kedua mataku yang sewarna kue lapis legit pandan itu kembali berbinar-binar, “Iya!”
Oh, aku mau menarik kata-kataku. Mendengar validasi dari ibu yang selalu mengajariku untuk menjadi seorang matahari, sepertinya itu sekarang bukan keanehan lagi!
Iya, ‘kan?
Penulis: Delinda Alifia