Hidup Perempuan yang Melawan! Tanpa Tahu Sampai Kapan

Aksi IWD Bandung

Massa perempuan yang membawa poster saat peringatan International Women’s Day di Bandung (8/3) Dok. dJatinangor/ Raffael Nadhef

dJatinangor.com – Langit Bandung tak mampu membendung tangisnya di saat puluhan perempuan berkumpul di bawah jembatan raksasa Pasupati, seakan alam mengerti. Poster-poster berwarna mencolok diangkat tinggi, sebagian berisi tuntutan, sebagian lagi menyuarakan pengalaman pribadi. Di tengah massa aksi IWD Bandung 2025, suara orasi bergema, menyelipkan kisah-kisah yang tak jarang tertutup dalam keseharian.

Domonique Divya, Content Creator Independen

Di antara massa, Dominique Divya melangkah ke depan dengan selembar poster di tangannya. Ia bukan aktivis dari organisasi besar, melainkan seorang content creator independen. Dalam suaranya yang lantang, ia membacakan puisinya berjudul “Perempuan”.

Puisinya menggambarkan bagaimana banyak perempuan harus menghadapi tekanan dan kekerasan yang sering kali datang dari lingkungan terdekat. 

“Mereka adalah pelaku berdarah dingin.

Berelasi dekat dengan korban manis bak permen di warung. 

Namun, apa yang terjadi? 

Dia berbohong dan menyakitinya.”

Selesai membacakan puisinya, Dominique tidak langsung kembali. Ia mengangkat posternya dan membacakan tulisan yang ia tulis sendiri, “Cuman karena warna lip tint pilihan, aku disebut bondon sama mamah kandungku.”

Beberapa peserta aksi mengangguk-angguk pelan. 

Dominique pun melanjutkan kisahnya, menceritakan bagaimana komentar itu muncul dari ibunya sendiri. Saat itu, ia mengenakan lip tint berwarna mencolok dan mendapatkan respons yang tidak ia duga. Kata bondon yang berarti perempuan jalang membuatnya bertanya-tanya, mengapa pilihan warna kosmetik bisa menimbulkan stigma yang begitu keras? Seolah-olah perempuan tidak berhak menentukan bagaimana ia ingin menampilkan dirinya.

Tidak hanya mengalami stigma dari lingkungan keluarga, Dominique juga menghadapi ketidakadilan di dunia kerja. Ia menceritakan pengalamannya kehilangan pekerjaan setelah gajinya dipotong 50% karena memilih bekerja secara remote. Dalam dua minggu kemudian, ia diberhentikan secara sepihak, tanpa peringatan, hanya melalui pesan di aplikasi WhatsApp.

Dari pengalaman pribadinya, Dominique menanggapi salah satu tuntutan IWD yang meminta agar jam kerja dikurangi dari delapan jam sehari menjadi enam jam sehari. Menurutnya, bukan durasi kerja yang menjadi akar masalah, melainkan sistem kerja yang sering kali tidak adil bagi pekerja. Ia menilai bahwa regulasi harus lebih menekankan perlindungan terhadap buruh agar tidak dijadikan “palugada”—istilah yang ia gunakan untuk menggambarkan pekerja yang harus menangani berbagai tugas di luar deskripsi pekerjaan mereka.

“Sekarang kan suka jadi palugada, ya. Kalau ada tujuh job desc, (dikasih) ke satu orang,” ujarnya.

Dominique juga menyoroti isu lain yang menyangkut perempuan di dunia kerja, yaitu kondisi lady ojol. Saat ditanya tentang seorang lady ojol yang keguguran akibat harus tetap bekerja agar akunnya tidak ditangguhkan, ia teringat akan sebuah pengalaman pribadinya.

“Aku dapet ojol perempuan. Dia lagi hamil gede, 9 bulan, yang di mana seminggu lagi dia udah mau lahiran. Aku tau itu (karena) pas lagi di jalan tiba-tiba dia berhenti minta ke masjid, ‘Mbak, aku berhenti dulu, ya. Aku lagi hamil sembilan bulan.’ Oh, ya, kaget juga, kan,” ceritanya.

“Mungkin regulasinya untuk pekerja perempuan secara khusus boleh dilonggarkanlah untuk yang hamil atau mungkin haid juga. Jadi lebih dikaji ulang regulasinya, baik secara jam kerja ataupun upahnya,” lanjutnya.

Ketika Dominique hendak kembali, kedua MC perempuan memeluknya. Ceritanya telah didengar.

Rossa, Mahasiswi asal Kampus Islam Bandung Timur

Tidak jauh dari tempat Dominique berdiri, Rossa melangkah ke depan. Mahasiswi yang telah empat tahun mendampingi korban kekerasan seksual di kampus itu mengambil mikrofon dan membacakan puisinya sendiri. Berjudul “Saksi di Ujung Sanggar”, puisi itu menggambarkan suara para penyintas yang kerap dibungkam.

Jika ia bicara, ia dicerca.

Jika ia diam, ia ditindas. 

Jika ia melawan, ia dikuburkan. 

Dalam nisan tanpa nama diikatan dunia.

Mereka berkata, ‘Ssttt! Diamlah, diamlah, diamlah!” 

Tapi sampai kapan kita harus diam dan bersabar? 

Sampai kapan kita harus diam dan terus-terus-terus bersabar? 

Sampai kapan keadilan hanya jadi dongeng yang dikisahkan? 

Oleh mereka yang tak pernah merasakannya.

Seusai membacakan puisinya, seperti kalimat “oleh mereka yang tak pernah merasakannya”, Rossa juga menyayangkan Pemerintah Indonesia yang menurutnya lalai dengan memberikan ketidakadilan terhadap warga negaranya, yang tak pernah mereka rasakan.

“Banyak sekali korban-korban, buruh imigran, yang dia mengalami femisida, yang mengalami kekerasan oleh majikannya, ataupun dia tidak bisa (kembali) ke Indonesia karena tidak memiliki izin,” ujarnya.

“Itu sangat menyayangkan dan itu tentunya adalah tugas Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan untuk lebih memedulikan dan melihat realita bahwasannya buruh imigran harus juga masuk ke dalam tenaga kerja yang diberikan perlindungan,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Rossa menyoroti wajah patriarki yang menyelimuti para perempuan dengan persyaratan “izin dari suami” ketika hendak bekerja di luar negeri. Ia mempertanyakan mengapa seorang perempuan dewasa harus meminta izin atas tubuh dan keputusannya sendiri.

“Aku agak tricky, ya, ngomongin ini. Aku merasa bahwasannya apa pun yang menjadi kehendak dari seseorang itu harusnya dia mendapatkan izin dari tubuhnya sendiri, bukan dari orang lain. Ada pun hal-hal lain yang sifatnya rumah tangga, mungkin bisa didiskusikan. Apalagi kita melihat dan meninjau bahwasannya kebanyakan buruh imigran yang keluar negeri itu karena kekurangan ekonomi sehingga memaksa dan terpaksa untuk menjadi buruh imigran,” ujarnya.

“Aku rasa kalau tenaga kerja di Indonesia luas, tidak mungkin akan ada buruh imigran,” lanjutnya.

Dari isu buruh migran, Rossa turut menanggapi kondisi kampus yang seharusnya menjadi ruang aman, tetapi masih menyisakan banyak kasus kekerasan seksual—berkaitan dengan data tahun 2023 yang mencatat 623 kasus kekerasan seksual di lingkungan akademik, yang melibatkan tidak hanya mahasiswa, tetapi juga dosen dan pekerja kampus lainnya.

“(Terkait) efektivitas Petugas PPKS, aku sangat mengapresiasi penuh kepada PTN ataupun PTS yang sudah membuat Satgas PPKS. Meskipun dalam lapangan masih sangat jauh dengan penanganan dan pendampingan terhadap korban. Namun, itu karena kurangnya support dari birokrasi. Banyak sekali birokrasi yang menganggap bahwasannya tindak pidana kekerasan seksual itu bukan merupakan satu hal yang besar.” 

“Tapi juga, aku ingin menagih janji yang terkait dengan implementasi daripada Undang-Undang (tentang) PPKS No. 12 Tahun 2022. Terus juga, aku menagih janji Permendikbud No. 30 (Tahun 2021). Terus juga, aku menagih SK Dirjen Pendis 5494 (2019) di PTKIN. Hal itu sangat penting. Karena kalau ada peraturan tanpa adanya implementasi, itu sekadar bullshit,” tegasnya.

Meski telah ada Satgas PPKS, ia mengungkapkan bahwa korban masih banyak yang enggan melapor.

“Korban masih cenderung banyak yang takut karena masih banyaknya stigma dan victim blaming terhadap korban sehingga biasanya korban itu melapor ke Satgas PPKS, tetapi yang Satgas-nya itu mahasiswa, jadi mentor sebaya, gitu. Kalau misalkan Satgas PPKS birokrasi ataupun dosen, mereka kebanyakan masih takut. Entah itu takut berpengaruh ke nilai, pertemanan, dan takut terhadap stigma juga victim blaming dari birokrasi itu sendiri,” ujarnya.

Karena itu, Rossa meminta agar proporsi peran mahasiswa dalam Satgas PPKS lebih besar dibandingkan birokrasi.

“Jangan 70-30, tapi kalau bisa 60-40. Sebanyak 40 dari birokrasi dan 60 dari mahasiswa,” katanya.

Widya, Koordinator Aksi IWD Bandung

Sementara itu, Widya menyampaikan orasinya dengan lantang bak pembawa berita. Ia membacakan puisi yang menggambarkan bagaimana perempuan sering kali disalahkan atas kekerasan yang mereka alami. 

“Pak, anak gadismu yang dulu kau ajarkan mesti tunduk pada kaum Adam, kini jadi korban bagaimana beringasnya nafsu laki-laki-laki yang kau agung-agungkan. 

Dulu, Bapak pernah berpesan, ‘Jaga dirimu baik-baik, Nak.’

Sekarang, bagaimana aku bisa menjaganya, Pak? 

Kalau laki-laki yang kau puji-puji tak bisa menjaga pandangannya dan tidak mampu menahan birahinya. 

Bukan malah menyalahkan pakaian kami.”

Widya tak berhenti di sana. Ia mempertanyakan mengapa korban justru kerap menjadi pihak yang dituding, sementara pelaku mendapatkan ruang untuk dimaklumi. Pemerintah, menurutnya, masih belum mampu memberikan perlindungan maksimal bagi perempuan.

“Korban jadi pelaku.

Pakaian jadi alasan pemerkosaan. 

Kekhilafan jadi sarana untuk pemohon dimaafkan.

Pemerintah, pikirannya asu. 

Harus berapa ribu kali perempuan mesti turun ke jalan? 

Hanya untuk mencari perlindungan di negeri kesulitan.”

Setelah puisinya mengalun, ia menutupnya dengan seruan yang tegas.

“Kita ada untuk mengerti artinya kesetaraan. Hidup perempuan yang melawan!”

Seruan itu segera disambut oleh massa aksi yang mengangkat tangan dan berteriak lantang, “Hidup!”

Usai berorasi, Widya kembali ke barisan massa dan bersedia untuk diwawancarai. 

Ketika diminta tanggapannya mengenai pernyataan Ahmad Dhani yang menyarankan agar laki-laki naturalisasi pesepak bola dinikahkan dengan perempuan Indonesia, ia mengernyit geram.

“Perlu diketahui kalau anak bukanlah barang, dan perempuan bukanlah pabrik!” tegasnya.

“Anak juga memiliki hak dan belum tentu ketika sudah lahir di dunia, ia mewariskan dari ayahnya. Hak anak untuk lahir di dunia punya cita-cita. Walaupun orang tuanya pemain bola, belum tentu anaknya pengen jadi pemain bola juga,” lanjutnya.

Belum juga usai, ia melanjutkan pernyataannya.

“Perempuan bukan pabrik yang harus terus-terusan melahirkan seorang anak. Itu Ahmad Dhani, salah satu laki-laki (di) jajaran DPR, yang misogenis, seksisme, dan patriarkal.”

Dalam nada setengah bercanda, tetapi tetap tajam, ia melontarkan pernyataan terakhirnya.

“Harusnya diberi sanksi, harusnya udah enggak jadi DPR, sih, hahaha.”

Namun, di balik sikapnya itu, Widya mengakui bahwa aksi-aksi yang ia dan rekan-rekannya lakukan sejak tahun 2023 hingga kini belum mendapatkan respons dari pemerintah. 

Ketika ditanya apakah perjuangan mereka menjadi sia-sia, ia menjawab dengan penuh keyakinan.

“Menurut aku, aksi seperti ini bisa membangunkan dan menyadarkan lebih bukan hanya perempuan, tapi masyarakat, khalayak umum. Karena aku pikir ketika kita terus menggaungi lebih keras, banyak sekali perempuan dan juga masyarakat di Indonesia yang semakin tersadar, dan ending-nya jadi bersuara lebih, jadi lebih didengar.” 

Tak hanya Rossa yang menentang persyaratan “izin dari suami” karena berwajah patriarki, Widya pun turut bersuara.

“Menurut aku itu sesuatu hal yang konyol, ya, kayak karena pasti kan ada faktor kenapa perempuan ini memutuskan untuk pergi ke luar negeri menjadi imigran. Nah, terus alasan (izin) ke suami? Aku pikir kita harus membedah dulu nih faktor alasannya si perempuan ini pergi bekerja menjadi imigran.”

“Tapi, menurutku memang itu merupakan wajah patriarkal. Gak cuma itu, tapi juga ada kesenjangan ekonomi yang di mana itu merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah. Balik lagi ke pemerintahan. Berarti di sini terbukti bahwa pemerintah tidak memberikan pekerjaan yang aman dan cukup di Indonesia—sehingga ending-nya banyak sekali masyarakat di Indonesia yang memutuskan untuk ke luar negeri menjadi seorang pekerja,” lanjutnya.

Ezra, Mahasiswa FISIP Unpad

Di tengah gemuruh yang terjadi dalam aksi, ketika diwawancarai, Ezra menyoroti berbagai isu dalam perjuangan perempuan, khususnya terkait interseksionalitas dan penindasan ekonomi.

Salah satu tuntutan dalam peringatan International Women’s Day (IWD) tahun ini adalah menolak kebijakan investasi Danantara. 

Ezra menjelaskan bahwa perjuangan perempuan tidak bisa dilepaskan dari aspek interseksionalitas—dengan penindasan ekonomi menjadi faktor utama. 

“Jika penindasan ekonomi semakin kuat, berbagai bentuk penindasan lain terhadap perempuan pun semakin meningkat.” 

Ezra menegaskan bahwa ketidakpercayaan terhadap pemerintah menjadi alasan kuat, mengingat rekam jejak yang penuh kebohongan, pengkhianatan, dan dosa terhadap rakyat. 

“Jika kebijakan ini gagal, kelompok marginal, termasuk perempuan, akan terkena dampak paling besar.”

Oleh karena itu, menurutnya Danantara menjadi salah satu poin utama yang mereka tolak. 

Menutup wawancara, Ezra menekankan bahwa perlawanan tidak boleh berhenti. Kesadaran kolektif harus dibangun, dan setiap individu harus berkontribusi dalam menyuarakan ketidakadilan. Media sosial, diskusi, dan pergerakan massa harus dimanfaatkan untuk terus melawan sistem yang menindas.

Fai, Mahasiswi Antropologi Budaya ISBI Bandung

Fai berbicara mengenai pembungkaman ekspresi di dunia akademik. Ia menanggapi kasus berupa pentas seni di kampusnya yang dilarang oleh rektorat.

“Itu sangat disayangkan banget, ya, apalagi politik itu gak bisa jauh dari seni. Menurut aku tuh, nyalahin banget lembaga, ya, karena mereka bahkan belum lihat pentasnya itu kayak gimana, teaternya itu kayak gimana. Bahkan, temen-temen di ISBI yang lain juga sebenernya belum tahu itu tuh pentasnya tentang apa, apakah bener-bener tentang rezim yang itu atau bukan. Tapi karena judulnya ‘Wawancara dengan Mulyono’ jadi main ditutup aja gitu, main dibredel.”

Saat peristiwa ini terjadi, Fai mengaku bahwa situasi di kampus sempat chaos.

Chaos, sih, kita sempat ngadain aksi sama aliansi mahasiswa ISBI Bandung. Itu tuh aksinya kita orasi dan keliling kampus biar orang-orang yang gak tahu tuh jadi tahu, gitu. Karena emang disayangkan juga, temen-temen di ISBI tuh banyak yang gak tahu. Terus, titik akhir aksinya itu di depan rektorat, ya. Jadi, kita melakukan pernyataan sikaplah untuk ISBI Bandung. Nah, respons dari lembaga itu mereka sangat defensif-lah bisa dibilang. Jadi, keliatan banget mereka pihak sana, bukan pihak mahasiswa.”

Tak hanya Rossa yang menanggapi dengan keras terkait 623 kasus kekerasan seksual di ranah kampus yang terjadi pada tahun 2023, Fai pun turut bersuara dengan memberikan contoh nyata di kampusnya sendiri.

“Terutama di kampus aku yang sangat amat disayangkan Satgas PPKS-nya tuh kurang membantu, kurang berpihak pada korban. Bahkan, mereka lebih peduli sama mental pelakunya dibanding korban.”

“Kampus tuh lebih mihak si pelaku, yang gak kuliah selama sebulan. Dan malah nyalahin si korbannya, ‘Gara-gara lu nih pelakunya jadi gak masuk kuliah. Gara-gara lu nih!’ Masih bias sih bisa aku bilang,” lanjutnya.

Penghujung Aksi

Di penghujung aksi, massa mulai menyalakan obor sebagai simbol kesucian dan perlawanan terhadap ketidakadilan.

“Karena tagline kita itu menerangi Indonesia gelap, salah satu bentuk praktiknya itu kita memakaikan obor. Kenapa harus obor? Karena sekarang itu bulan Ramadan, jadi semacam simbolis. Kita merayakan puasa, dan juga kita berusaha untuk mewujudkan Indonesia itu untuk terang kembali, gitu,” ujar Ainul, MC dari aksi IWD Bandung.

Api kecil itu dipindahkan dari tangan ke tangan, menyiratkan pesan bahwa perjuangan ini tidak boleh berhenti di satu titik. 

Pekikan “hidup perempuan yang melawan!” menggema di bawah jembatan yang sudah gelap.

Penulis: Raffael Nadhef

Editor: Delinda Alifia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *