Aku, Kamu, Kita Setara

Massa Aksi

Mahasiswi tuli dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan massa aksi berkumpul di bawah jembatan Pasupati, Bandung, pada Sabtu (8/3). Dok. dJatinangor/Raffael Nadhew

dJatinangor.com – Di bawah Jembatan Pasupati, Bandung, massa berkerumun untuk merayakan International Women’s Day (IWD) 2025 pada Sabtu (8/3). Di tengah-tengah mereka seorang mahasiswi berorasi, menjadi sosok center. Dengan gerakan tangan yang tegas dan ekspresi yang penuh semangat, Siti, mahasiswi tuli dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) jurusan Tata Boga, menyampaikan orasinya.

“Selamat Hari Perempuan Internasional 2025. Aku, kamu, kita setara,” ungkapnya melalui bahasa isyarat. “Perempuan, kehidupan, pembebasan.”

Dalam wawancara setelah orasinya, ia mengungkapkan harapan bagi perempuan tuli di Indonesia.

“Perempuan tuli punya hak dalam menjalankan kehidupannya sendiri. Perempuan tuli bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat tanpa bicara dengan orang lain. Perempuan tuli tidak didiskriminasi,” isyaratnya.

Siti menekankan pentingnya komunikasi yang inklusif antara teman dengar dan tuli. Menurutnya, hambatan komunikasi terjadi karena minimnya kemauan untuk menyesuaikan cara berbicara.

“Kalau gak bisa komunikasi, caranya ketik aja,” isyaratnya. 

“Teman-teman dengar, jangan takut untuk memulai komunikasi dengan teman tuli. Karena kalau teman dengar mau komunikasi dengan teman tuli, akan kami bantu—kita sama-sama setara.”

Meskipun kampusnya, UPI, dikenal sebagai institusi yang “katanya” ramah disabilitas, Siti merasa kenyataannya belum sepenuhnya demikian. Infrastruktur dan fasilitas yang ada belum cukup untuk mendukung mahasiswa tuli secara optimal.

Ketika ditanya mengenai apakah dirinya mau melanjutkan pendidikan S2 di Unpad, Siti menyatakan bahwa ia ingin bekerja terlebih dahulu.

“Gak ada uang,” isyaratnya. “Mau kerja dan mandiri dulu, soalnya ingin bantu teman-teman tuli lain.”

Namun, mendapatkan pekerjaan bukan perkara mudah. Siti pernah melamar di berbagai tempat, tetapi sering kali ditolak.

“Aku sempet ngelamar kerja di umum, tapi ketolak terus,” isyaratnya. “Padahal, kami bisa kerja, bisa macam-macam. Motor bisa, bengkel bisa. Tadi motor temenku oleng, aku benerin.”

Selain keterampilan mekanik, Siti juga menyebutkan bahwa dirinya bisa melakukan jual beli karena komunikasi dalam bidang tersebut lebih mengandalkan aspek visual.

“Jual beli bisa, karena komunikasinya lewat non-verbal dan visual,” jelasnya. “Tapi kalau ngomong cepet, gak kebaca. Harus pelan-pelan. Mulutnya harus lebar dan jelas. Karena teman-teman tuli itu visual, jadi jangan mingkem dan jangan pakai masker.”

Perjalanan Siti tidak selalu mulus. Ia pernah mengalami diskriminasi sejak kecil.

“Aku waktu SD pernah didiskriminasi, dipukul. Itu bikin trauma, jadi gak mau sekolah,” kenangnya. “Papah-mamah khawatir. Makanya, aku pikir harus berusaha. Harus bisa mandiri.”

Meski menghadapi berbagai rintangan, Siti ingin mengubah stigma bahwa tuli berarti keterbatasan.

“Sama teman-teman tuli harus dianggap setara,” isyaratnya. “Gak semua teman tuli bisa bicara. Ada yang hard of hearing, sebagian atau seluruhnya. Tapi kuliah bisa, jadi dokter bisa, macam-macam. Sayangnya, banyak orang yang masih mengira kami gak bisa.”

Siti juga menepis anggapan bahwa tuli berarti tidak bisa menjalani kehidupan normal.

“Aku juga bisa baca maps,” isyaratnya. “Kalau naik motor, bisa komunikasi lewat spion.”

Namun, ketika saya menimpali bahwa berkomunikasi lewat spion saat berkendara bisa berbahaya, Siti tertawa dan langsung mengoreksi pernyataannya.

“Oh, iya-iya, jangan, ya. Bahaya. Nanti jatuh.”

Melalui kisahnya, Siti ingin menunjukkan bahwa tuli bukanlah hambatan, melainkan bagian dari keberagaman manusia yang harus diterima dan dihormati. Di Hari Perempuan Internasional ini, ia mengingatkan bahwa perjuangan perempuan belum selesai—terutama bagi perempuan dengan disabilitas yang masih menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari.

“Kita sama-sama manusia yang setara,” isyaratnya dengan senyum penuh keyakinan.

Penulis: Raffael Nadhef

Editor: Delinda Alifia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *