Rektor terpilih Universitas Padjadjaran periode 2024-2029, Arief S. Kartasasmita dalam konferensi pers penetapan hasil musyawarah Majelis Wali Amanat (MWA) Unpad pada Kamis, 4 Juli 2024 di Pullman Bandung Grand Central. (Kanal Media Unpad)
Prof. Arief sebagai Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) periode 2024-2029 telah mengeluarkan Rencana Strategis (Renstra) 2025-2029 dan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) periode 2025 pada Kamis (9/11/2024). Sehari setelah dua dokumen tersebut dipublikasikan pada akun Instagram MWA-WM, penulis langsung membacanya. Selama proses membaca dari awal hingga akhir, ada satu istilah yang langsung terlintas, yakni “Neoliberalisme Pendidikan”.
Kesimpulan yang penulis tarik adalah Prof. Arief mendudukkan Unpad sekaligus membawanya semakin kokoh dalam aras atau visi neoliberalisme pendidikan. Padahal neoliberalisme pendidikan memiliki banyak dampak negatif.
Tulisan ini merupakan refleksi hasil pembacaan penulis terhadap dua dokumen tersebut dan opini terkait itu. Pun menyajikan rangkaian argumen yang menjadi dasar pengambilan kesimpulan di atas.
Sekilas tentang Neoliberalisme (Pendidikan)
Neoliberalisme sebagai konsep maupun praktik sangat kompleks sehingga tidak mudah untuk dipahami. Bahkan definisinya pun beragam dan tidak ada satu definisi tunggal. Namun, secara reduktif, neoliberalisme merupakan suatu sistem ideologi yang meradikalisasi prinsip-prinsip kapitalisme dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Konsep ini berangkat dari seorang pemikir ulung bernama Friedrich August von Hayek. Kelahiran pemikiran ini telah dirintis sejak era 1990-an awal. Gagasan utamanya, menurut penulis, terletak pada upaya mengubah realitas sosial ke dalam pemaknaan tunggal: prinsip-prinsip ekonomi kapitalisme.
Jadi, cara kerja dunia didiktekan sesuai dengan prinsip ekonomi, seperti kompetitif (bukan kooperatif), individualis, mekanisme pasar bebas, fetisisme komoditas, dsb.
Dalam kerangka ini maka sebenarnya peran negara bukan diminimalkan, tetapi beralih fungsi. Dari awalnya menjadi fasilitator kelas buruh dan pemodal untuk menyejahterakan masyarakat (welfare state) menjadi pendukung penuh kelas pemodal agar bisnisnya aman.
Pada titik ini lahir serangkaian kebijakan negara seperti deregulasi, liberalisasi, privatisasi, dan pemotongan anggaran publik. Salah satu implementasinya adalah neoliberalisasi di sektor pendidikan, termasuk universitas.
Agenda neoliberalisasi pendidikan tinggi (PT) tidak terlepas dari agenda global. Adapun secara singkat, neoliberalisasi PT di Indonesia dimulai dari lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No 60/1999 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No. 61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum (PTN-BH).
Sejak Unpad menjadi PTN-BH maka Unpad dapat mengelola keuangannya secara mandiri, termasuk mencari sumber penghasilan non-APBN. Dalam kerangka ini, Unpad diposisikan sebagai lembaga pendidikan yang dapat berbisnis.
Seperti bisnis pada dasarnya, orientasinya akan mengarah pada bagaimana caranya untuk mengakumulasi modal (mencari keuntungan lebih). Akhirnya, kampus tidak lagi berfokus pada penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas demi mahasiswa dan masyarakat (misalnya, pendidikan holistik ala Ki Hajar Dewantara maupun pendidikan yang membebaskan ala Paulo Freire).
Perlu ditegaskan bahwa kampus tidak bisa berdiri di dua logika dasar. Kampus tidak bisa menjadi lembaga publik sekaligus swasta. Pendidikan tidak bisa menjadi hak sekaligus komoditas yang diperjualbelikan. Sehingga kampus pasti berada dalam satu logika dasar yang tetap.
Pertanyaannya, bagaimana rektor Prof. Arief mendudukkan dan membawa Unpad ke depan?
Catatan Bacaan dan Mengkritisi Renstra 2025-2029
Visi Unpad (sumber: dok. Renstra 2025-2029)
Visi ini bagus dan mulia sekali. Namun, ada catatan terutama pada kata kunci globalisasi (berkelas dunia dan inovasi global) dan dampak pada masyarakat.
Adapun dampak pada masyarakat perlu dilihat lebih dalam. Pertanyaannya, masyarakat diposisikan sebagai konsumen atau rakyat yang memiliki hak pendidikan?
Misi Unpad (sumber: dok. Renstra 2025-2029)
Pada poin pertama dan kedua, penulis melihat ada logika dasar yang tercermin dan dikatakan secara lugas, yakni bagaimana masyarakat dan kampus diposisikan.
Pada misi tersebut, terlihat bahwa masyarakat diposisikan sebagai pengguna alias konsumen yang menggunakan jasa pendidikan. Frasa “pengguna” dan “jasa” mengindikasikan bahwa pendidikan diposisikan sebagai produk atau layanan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Maka pendidikan tidak diposisikan sebagai hak, melainkan komoditas semata.
Lalu frasa “berdaya saing” mengindikasikan ciri khas dari modus ekonomi kapitalistik yakni kompetitif. Adapun frasa “relevan dengan tuntutan pengguna” memberikan sinyal bahwa kampus berorientasi dan bergerak dalam mekanisme pasar bebas.
Hal ini ditambah dengan frasa “citra” yang digaungkan memperlihatkan bagaimana branding menjadi hal yang penting. Konsekuensi logisnya, citra yang dibangun adalah guna menarik lebih banyak lagi konsumen untuk menggunakan jasa pendidikan Unpad.
Misi terakhir tak merubah poin-poin sebelumnya dan tak lebih dari agenda untuk mengakumulasi modal. Keluhuran budaya lokal dalam kancah global didorong dalam rangka meningkatkan citra dan trust konsumen atau masyarakat.
Visi & Misi ini diturunkan menjadi berbagai rencana strategis, spesifiknya dibagi ke dalam tiga tujuan strategis prioritas serta empat elemen penggerak. Pun lebih rinci lagi ada strategi sasaran hingga program prioritas.
Program prioritas ini memiliki banyak poin, untuk mempermudah maka di sini penulis akan mengklasifikasikannya dalam beberapa topik utama.
- Mencetak pekerja terampil
Salah satu ciri paling kentara kampus yang neolib adalah tujuan utamanya untuk mencetak lulusan yang efisien dan kompetitif di pasar kerja atau employability.
Pada Renstra halaman 19&20, Unpad melihat relevansi dan kualitas pendidikan ditentukan oleh persaingan pasar kerja . Maka, Unpad bertujuan untuk menciptakan mahasiswa yang dapat “memiliki kompetensi yang relevan untuk bersaing di pasar kerja”.
Sehingga pendidikan tidak lagi dilihat sebagai sebuah proses hidup manusia yang holistik dan humanistik. Lembaga pendidikan akhirnya berperan untuk mereproduksi ketimpangan sosial dan menyempitkan esensi manusia hanya sebagai homo economicus.
Poin pentingnya bagaimana mahasiswa dapat bersaing di pasar kerja dan mencetak para pekerja terampil (sekaligus rentan). Ketika para pekerja itu terampil maka industri berpeluang untuk mendapatkan keuntungan lebih besar lagi.
- Komersialisasi riset
Dapatkah pembaca membayangkan arti dari komersialisasi riset tanpa melihatnya sebagai bagian dari bisnis? Poin ini menjadi titik utama selanjutnya bahwa Unpad bergerak dalam aras neoliberalisme pendidikan.
Karya utama dari akademisi sekalipun diposisikan sebagai bagian dari pengembangan bisnis dan pengambilan keuntungan. Pada Renstra hal. 22, 23, dan 24 menunjukkan bahwa riset tak lagi dipandang sebagai pengembangan pengetahuan dan memberikan solusi konkrit atas berbagai persoalan hidup. Riset utamanya ditujukan dalam rangka mencari keuntungan lewat berbagai strategi, khususnya kerja sama dengan industri.
- Keberpihakan pada industri
Pada Renstra hal. 19-22, 25-30, & 36-41 menunjukkan Unpad memiliki keberpihakan dan sangat mendekatkan diri pada industri. Secara sekilas terlihat dari banyaknya kata “industri” yang disebut sebanyak 27 kali.
Beberapa hal yang dikaitkan dengan kata industri mencakup lulusan (mahasiswa) yang diharapkan relevan dengan kebutuhan industri, riset yang sesuai dengan kebutuhan industri, dan berbagai bentuk kerja sama antara Unpad dengan industri.
Meskipun beberapa pihak menilai ini merupakan hubungan yang ideal. Namun, bagi penulis, lembaga pendidikan tidak bisa hanya berhenti pada kerja sama dan penyesuaian dengan industri. Utamanya justru bagaimana mahasiswa, universitas, dan riset dapat memproblematisir realitas industri di Indonesia maupun di dunia.
- Platform komersialisasi pendidikan
Pada Renstra hal. 21, 22, 26, 35, dan 44 merujuk pada berbagai platform diciptakan untuk menunjang komersialisasi pendidikan. Logika dasarnya adalah ada beberapa platform yang ditujukan untuk proses pembelajaran berbayar alias mencari keuntungan, seperti Luhung dan EdEx.
Hal ini membuktikan bahwa secara jelas pendidikan diposisikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Pendidikan bukan diposisikan sebagai hak warga negara yang seharusnya bisa didapatkan secara gratis dan inklusif.
- Prioritas bisnis
Saat ini, Prof. Arief barangkali terlihat sangat menggebu untuk membawa Unpad menjadi lembaga pendidikan yang hebat dalam urusan bisnis. Hal ini terlihat dari jumlah kata “bisnis” yang di-mention sebanyak 33 kali dan menjadi salah satu elemen penggerak pada Renstra hal. 24, 27, dan 39-41.
Dalam rangka memajukan Unpad sebagai lembaga yang sukses secara bisnis, Prof. Arief mencanangkan berbagai strategi yang diterapkan. Dari mulai intensifikasi dan ekstensifikasi bisnis, pelibatan alumni, membangun branding yang mendukung, dan lainnya.
- Membangun “citra” dan branding yang menjual
Catatan penulis selanjutnya adalah fokus Unpad dalam membangun citra yang berkesan “positif” di mata para konsumen dan investor.
Berbagai program prioritas disusun untuk membangun citra Unpad sebagai jasa pendidikan yang menjanjikan dan menarik bagi para konsumen (masyarakat) dan investor (mitra strategis). Misalnya, optimalisasi berbagai ruang digital, membuat berbagai merchandise, dan berbagai upaya rebranding yang lebih kuat.
Dalam konteks persaingan bisnis, membangun citra positif menjadi strategi kunci untuk memenangkan hati para konsumen. Semakin banyak konsumen yang didapatkan, semakin banyak pula keuntungan yang didapat.
- Ambisi global
Terakhir adalah sebuah kata yang akhir-akhir ini sering digaungkan oleh berbagai universitas (termasuk Unpad), yakni menjadi kampus world class university. Unpad pun memiliki ambisi untuk terus mengglobal. Hal ini terlihat dari banyaknya kata “global” yang disebutkan sebanyak 56 kali.
Beberapa akademisi dan pihak lain telah memberikan catatan penting tentang ambisi universitas terhadap pemeringkatan global. Misalnya, metodologi dan indikator yang dipakai, mendorong praktik ilmiah yang tidak etis, terjerat dalam imperialisme budaya, dan sebagainya.
Dalam kerangka neoliberalisme pendidikan, ambisi pemeringkatan ini setidaknya dapat dilihat sebagai bentuk penyesuaian dengan tuntutan pasar dan mendapatkan konsumen yang lebih banyak. Alih-alih berposisi sebagai aktor penggerak dalam kepentingan publik.
Beberapa Catatan dari RKAT periode 2025
Singkatnya, RKAT merupakan gambaran tentang kebutuhan anggaran belanja, proyeksi pendapatan, serta strategi yang akan dijalankan untuk mencapai indikator kinerja Unpad pada tahun 2025.
Catatan penting dari penulis adalah bahwa Unpad mendapatkan keuntungan terbesar dari mahasiswa sebagai konsumen utama jasa pendidikan.
Sesuai dengan yang tertera pada tabel di dokumen tersebut, Unpad memiliki anggaran 2 triliun pada periode 2025. Sumber pendapatannya terbagi menjadi dua, yakni dari APBN (27%) dan utamanya non-APBN (73%). Ini merupakan hal lumrah bagi kampus yang menyandang status PTN-BH. Negara terus meminimalisir perannya dalam membiayai lembaga pendidikan tinggi.
Sumber pendapatan non-APBN ini terbagi menjadi beberapa aspek, diantaranya dana masyarakat (3,4%), biaya pendidikan yang meliputi UKT, IPI, dan pendapatan jasa pendidikan lainnya (51,5%), pengelolaan dana abadi (0,2%), usaha PTN-BH (9,5%), kerja sama Tridharma Pendidikan Tinggi (26%), pengelolaan kekayaan PTN-BH (3,7), dan APBD (5,5%).
Dari sini terlihat bahwa sumber pendapatan tertinggi Unpad adalah dari biaya pendidikan, yakni 51,5% (752,5 miliar) atau lebih dari setengah sumber pendapatan non-APBN. Adapun secara keseluruhan (APBN dan non-APBN) ialah proporsi sumber pendapatan dari biaya pendidikan mencapai 37%. Persentase ini menjadi paling besar dibandingkan sumber pendapatan dari keseluruhan dana APBN (hanya 27%) selisihnya mencapai 10% atau sekitar 213,5 miliar.
Data ini menunjukkan bahwa persentase besaran pendapatan dari biaya pendidikan menunjukkan bahwa keberlangsungan Unpad masih bergantung pada mahasiswa sebagai konsumen utama. Pada akhirnya “Unpad adalah kampus kerakyatan” hanyalah jargon semata yang jauh dari kondisi riilnya.
Kenaikan biaya pendidikan di Unpad terlihat dari meningkatnya besaran UKT, IPI, dan pendapatan dari jasa pendidikan lainnya.
Dampak Neoliberalisasi Pendidikan
Padahal neoliberalisme pendidikan membawa dampak negatif seperti marketisasi dan korporatisasi lembaga pendidikan, ketidaksetaraan akses akibat mahalnya biaya, privatisasi, serta fokus pada keuntungan ekonomi dan keterampilan praktis yang mengabaikan aspek humanistik, seni, keterampilan sosial, dan pengembangan kritis.
Selain itu, hal ini juga memicu utang mahasiswa, keterasingan sosial, tekanan berlebih pada pendidik, melemahnya tanggung jawab sosial kampus, dan menggeser pendidikan sebagai hak publik menjadi hak pribadi yang kompetitif. Analisis lebih lanjut diperlukan untuk mengukur dampaknya secara empiris di Indonesia, khususnya di Unpad.
Penutup
Neoliberalisme pendidikan sebagai sebuah fenomena sekaligus problem sosial semakin menuju titik kekokohannya melalui berbagai cara di berbagai tempat, termasuk di Unpad. Hal ini terlihat dari Renstra dan RKAT Prof. Arief yang disusun dan dirancang dalam kerangka visi neoliberalisme pendidikan.
Dari mulai visi, misi, hingga berbagai program prioritas atau strategis menunjukkan bahwa Unpad bergerak dalam aras neoliberalisme pendidikan. Pendidikan menjadi komoditas yang diperjualbelikan, kampus menjadi lembaga bisnis jasa pendidikan, dan masyarakat menjadi konsumen yang menjadi sumber pendapatan utama.
Ada beberapa catatan terkait Renstra, seperti fokus mencetak pekerja terampil, komersialisasi, fokus membangun citra, dan ambisi global. Adapun catatan utama dari RKAT yaitu Unpad mengambil keuntungan terbanyak dari mahasiswanya yang diposisikan sebagai konsumen.
Dari uraian analisis hasil bacaan dan dampak yang telah dijelaskan, maka upaya neoliberalisasi pendidikan perlu ditolak dan dilawan dengan tegas. Pendidikan harus dikembalikan sebagai hak yang dijamin oleh UUD 1945.
Penulis: Yoga Firman