Massa aksi Indonesia Gelap membawa poster berisi keresahan di Kawasan Patung Kuda, Jakarta, pada Jumat (21/2). Dok. Fatihah Nuritsani
dJatinangor.com – Langit ibu kota terlihat mendung, tetapi tak ada yang mampu meredupkan kobaran semangat ribuan massa yang berkumpul di Kawasan Patung Kuda, Jakarta pada Jumat (21/2). Mereka datang dari berbagai latar belakang: mahasiswa, buruh, aktivis, ibu rumah tangga, pakar, hingga perwakilan masyarakat adat. Dengan suara yang lantang, mereka menyuarakan satu hal yang sama, Indonesia gelap.
Aksi bertajuk #IndonesiaGelap ini bukan sekadar unjuk rasa biasa. Ia lahir dari keresahan yang telah menumpuk selama bertahun-tahun: demokrasi yang kian terpuruk, kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, serta ketimpangan sosial yang semakin lebar.
Sorotan terhadap efisiensi anggaran dan kabinet yang semakin gemuk menjadi salah dua bahan bakar yang menyulut kemarahan publik.
Di antara gemuruh suara aksi massa, orator dari berbagai lapisan massa bergantian menyampaikan keresahan mereka. Puisi, nyanyian protes, dan orasi berapi-api menggema di sepanjang daerah patung kuda.
Luapan Orasi dari Berbagai Lapisan Massa Aksi
Di atas panggung aksi massa, seorang ibu dari Koalisi Nasional Perempuan Indonesia (KNPRI) dengan penuh emosi mengangkat suaranya.
“Kita tidak butuh makan gratis, kita butuh pendidikan gratis!” serunya, yang langsung disambut riuh tepuk tangan massa.
Ia menyoroti bagaimana pemerintah membuat kebijakan populis yang cenderung mengabaikan solusi jangka panjang bagi masa depan bangsa Indonesia.
Mahasiswi Universitas Padjadjaran (Unpad), Gloria turut membuka suaranya.
“Seratus hari demokrasi udah diacak-acak. Kebijakan yang dibuat tanpa naskah akademik. Mereka anti-pengetahuan. Mereka anti-keterbukaan. Lima tahun merupakan waktu yang lama, teman-teman. Sekarang, seratus hari, kita sudah diinjak-injak,” katanya.
“Efisiensi anggaran atau disfungsi negara? Pendidikan dipotong (dan) semua dialihkan hanya demi nafsu dari Prabowo. MGB hanyalah janji politik. IKN mangkrak, teman-teman,” tegasnya.
Sementara itu, suara dari kelas pekerja diwakili oleh seorang pria berambut pirang tanpa penutup wajah, Efrim.
“Siapa yang hari ini cuti untuk demokrasi?” tanyanya dengan lantang tanpa megafon.
Sorak-sorai dan teriakan “Wuu!” menjadi jawaban mereka.
Dengan tegas, ia mengkritik kabinet yang menurutnya tidak memiliki nilai dan rakyat pantas mendapatkan yang seharusnya.
“Kita punya kabinet 109 orang, tapi nilainya berapa? Nol!” serunya.
“Prabowo, lu bisa hilangin kelas menengah. Lu bisa bikin kelas pekerja saling lawan satu sama lain. Tapi inget, yang lu gak bisa adalah menghabisi semangat kita semua untuk sama-sama menuntut hak kepada pemerintah. Karena apa?” ia memberi jeda, sembari mengangkat tangan kanannya, “karena we deserve better!” disambut tepuk tangan dan teriakan persetujuan dari aksi massa.
Perwakilan dari Papua pun turut menyuarakan keresahannya serta menuntut pendidikan yang layak bagi rakyat.
“Pantang hukumnya negara telah menipu rakyat Indonesia dengan konstitusi, UUD 1945. Negara wajib untuk memberikan pendidikan yang layak kepada bangsanya,” ujar pria asal Papua yang turut berorasi.
Di sisi lain, isu perempuan juga menjadi sorotan dalam aksi ini. Seorang aktivis perempuan, yang memegang flyer bertuliskan Setiap Orang Berhak atas Situasi Kerja Bebas Kekerasan, Pelecehan, dan Diskriminasi, menyerukan pentingnya perlindungan bagi pekerja rumah tangga.
“Dua puluh satu tahun, RUU perlindungan rumah tangga tidak juga disahkan. Padahal, tidak mungkin pejabat-pejabat anjing itu tidak punya pekerja rumah tangga di rumahnya. Hari ini, pekerja rumah tangga masih sering mendapat diskriminasi, masih sering mendapatkan upah yang tidak layak. Kenapa? Karena para pejabat tidak mau memenuhi hak-hak rumah tangga sampai hari ini. Pejabat pengecut!” pekiknya.
“Pejabat kontol, polisi bajingan, baca kalian semua, jangan mau terus disuruh-suruh, jangan mau terus dibodokin, baca!” lantangnya.
Puisi dan Nyanyian Perlawanan
Demonstrasi ini bukan hanya soal orasi dan tuntutan politik, melainkan juga menjadi panggung bagi seni perlawanan. Puisi, lagu-lagu, dan nyanyian massa mewarnai aksi.
Ibu berkerudung ungu dari KNPRI, memantik aksi massa untuk ikut bernyanyi.
“Tangkap, tangkap, tangkap Aguan, tangkap Aguan sekarang juga. Tangkap, tangkap, tangkap Jokowi, tangkap Jokowi sekarang juga.”
Tak lama setelah itu, giliran Rhido, Mahasiswa Unpad membacakan puisinya.
12 Mei 1998
Kukepalkan tangan kiri
Dan lantunkan satir indah dalam orasi
Penuh harap, runtuhnya sebuah tirani
Namun, malang menghampiri
Terlihat mereka menenteng senjata di bahu kiri
Mendatangi dan menggempur sana-sini
Lalu, diriku diacungi dan ditembak mati
Ayah, Ibu, salahkah aku menyambung lidahmu?
Ayah, Ibu, salahkah aku mengkritisi orang terhormat itu?
Ayah, Ibu, jangan khawatir atas hilangnya nyawa anakmu
Ayah, Ibu, aku akan berlipat ganda dalam jiwa pemuda generasi baru.
Rhido Anwari Aripin, Plt. Ketua BEM Kema Unpad
Kemudian, sewaktu gilirannya Gloria berorasi, ia memulainya dengan nyanyian pemantik yang membakar situasi aksi massa.
“Gantung, gantung, gantung Prabowo, Gantung Prabowo sekarang juga!” yang diikuti oleh ratusan suara lainnya.
Tuntutan dari Berbagai Sisi
Di balik gemuruh orasi dan nyanyian protes, ada suara-suara yang memberikan perspektif lebih dalam terhadap situasi yang terjadi. Melalui wawancara dengan berbagai pihak, mulai dari kepala sekolah, mahasiswa, hingga pakar hukum tata negara, tergambar dengan jelas keresahan yang melandasi aksi #IndonesiaGelap.
Ibu Nini Mulyani, Kepala Sekolah di Bandung: “Pendidikan Seharusnya Gratis”
Sebagai seorang pendidik sekaligus ibu rumah tangga, Ibu Nini Mulyani merasakan langsung dampak kebijakan ekonomi terhadap rakyat kecil.
Ia melihat kondisi perekonomian semakin sulit, terutama bagi masyarakat kecil yang semakin kesulitan mencari pekerjaan dan berjualan.
“Kita sebagai emak-emak merasakan bagaimana perekonomian sekarang, (seperti) sulitnya cari pekerjaan, sulitnya berjualan. Daya beli masyarakat kurang. Nah, ini efek dari apa? Pemerintahan, kan? Ibu sedih sekali,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mempertanyakan bagaimana Indonesia, dengan sumber daya alam yang melimpah, justru kalah dari negara seperti Arab Saudi yang hanya bergantung pada minyak.
“Kenapa kita kalah oleh Arab Saudi? Hanya satu minyak. Sementara kita, SDA-nya sangat banyak. Kita ada dari pertanian, perkebunan, minyak, nikel. Kenapa rakyat disengsarakan seperti ini?” katanya.
Menurutnya, dengan kekayaan alam yang dimiliki, seharusnya Indonesia mampu menggratiskan pendidikan bagi seluruh rakyatnya.
“Ibu rasa hanya dari Freeport saja, Indonesia bisa menggratiskan pendidikan dari SD sampai perguruan tinggi. Ibu yakin itu, dari Freeport aja. Kenapa negara ini sampai banyak dikorup? Dikemanakan sumber daya alam Indonesia?” lanjutnya dengan nada geram.
Ia mengacu pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan bahwa sumber daya alam harus dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan untuk segelintir elite penguasa.
“Sekarang itu yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Itu terasa. Jadi, rakyat Indonesia itu menjadi budak di negara sendiri, seperti pembantu. Pemerintah sekarang lebih berpihak pada oligarki,” tegasnya.
Rauf, Komite Aksi Mahasiswa UNAS: “Efisiensi yang Tidak Masuk Akal”
Rauf menyoroti kebijakan efisiensi anggaran yang justru memangkas sektor-sektor penting seperti pendidikan dan tunjangan dosen.
Ia juga menyoroti bagaimana fasilitas negara, seperti mobil dinas, tetap diberikan kepada pihak yang seharusnya tidak membutuhkannya.
“Kalau secara ketatanegaraan, memang itu (pemberian mobil dinas kepada pejabat publik yang bersangkutan) wajib diberikan oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab. Tapi, di tengah efisiensi seperti sekarang, seharusnya itu tidak dilakukan. Jika memang dianggap boros, tarik saja mobil Lexus-nya dan biarkan mereka menggunakan kendaraan yang sama seperti masyarakat biasa,” ujarnya.
Terkait kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG), ia menilai bahwa alokasi anggarannya harus dievaluasi ulang.
“Ketika semuanya dipusatkan ke MBG, sektor-sektor lain itu hilang. Maka, perlu evaluasi sesegeranya. MBG itu gak bisa jalan kalau reforma agraria gak dijalankan. Kenapa? Karena MBG itu sendiri, kita tahu, bahan-bahan dasarnya itu hasil daripada pertanian. Maka, ketika pertanian tidak diperhatikan, percuma MBG dijalankan. Melihat dari sektor lain, seperti tukin dosen, pelayanan publik, akses kesehatan dan pendidikan yang terhambat, maka upaya prioritas tersebut seharusnya tidak dijalankan tersebut tanpa perencanaan yang matang,” tegasnya.
Selain itu, Rauf juga mengkritik pertumbuhan kabinet yang kontradiktif dengan kondisi efisiensi sekarang. Ia menanggapi perihal perubahan UU Kementerian Negara yang awalnya maksimal 34, lalu pada September 2024, jumlahnya jadi tidak terbatas—sesuai keinginan presiden.
“Dengan semangat reformasi, di mana amanat reformasi 98 agar kementerian-kementerian itu berjalan secara efektif dan efisien. Namun, bacaan pemerintah lain, terutama rezim Jokowi, yang justru menambah kelembagaan-kelembagaan yang sifatnya kontradiktif secara wewenang dengan kementerian-kementerian lain pula,” katanya.
“Hari ini, dengan penambahan menteri, justru akan banyak tumpang tindih yang terjadi dan proses pelayanan publik juga (jadi) sangat terhambat. Ketika (warga) ingin mengurus salah satu akses keperluannya maka harus mengikuti daripada kebijakan dari berbagai lembaga. Bagi saya sendiri dan kawan-kawan semuanya, di dalam konsolidasi itu bahwa kabinet Prabowo itu gemuk gitu, lho, justru menghabiskan anggaran. Nah, kalau dilihat secara politis, itu hanya bagi-bagi kue saja,” lanjutnya.
Menurutnya, jumlah kementerian seharusnya dikurangi.
Ketika ditanya apakah UU yang mengatur jumlah kementerian harus dikembalikan ke maksimal 34, Rauf menjawab tanpa ragu, “Harusnya dicabut.”
Himawan, Humanies Project: “Solidaritas Rakyat yang Tak Terbendung”
Himawan, salah satu inisiator gerakan bantuan logistik untuk massa aksi, mengungkapkan bahwa aksi ini mendapat dukungan luas dari masyarakat yang ingin turut membantu aksi massa.
“Kita adalah inisiasi dari teman-teman Humanies Project, NCTzen Community, dan BarengWarga. Kenapa kita menginisiasi gerakan ini? Jadi, di luar sana tuh banyak banget teman-teman yang hari ini enggak bisa beraksi, yang hari ini masih kerja, yang hari ini masih kuliah, yang hari ini ada di luaran daerah sana, di daerahnya enggak ada aksi. Tapi, mereka tuh pengen berkontribusi lebih. Mereka pengen ngebantu teman-teman yang hari ini turun, baik itu dalam bentuk makanan, dalam bentuk uang, maupun bentuk lainnya,” ujarnya.
“Makanya kita sebagai akun-akun yang setidaknya memiliki kredibilitas, akhirnya kita membuka crowdfunding untuk mengumpulkan teman-teman yang emang mau bergabung, yang mau ngebantu teman-teman yang hari ini turun. Bisa lewat kami yang nantinya akan disalurkan dalam bentuk medis, terus ambulans, terus ada makanan, minuman, serta cemilan-cemilan yang bisa ngebantu teman-teman yang hari ini turun, setidaknya energinya lebih terisi,” lanjutnya.
Ini menunjukkan bahwa perlawanan tidak hanya terjadi di jalanan, tetapi juga dalam bentuk solidaritas kolektif.
Tubi, Masyarakat Sipil: “Ketidakpercayaan terhadap Pemerintahan”
Sebagai salah satu peserta aksi dari kalangan sipil, Tubi menyuarakan ketidakpercayaannya terhadap sistem pemerintahan yang dianggap semakin tidak adil, terutama bagi generasi muda yang mencari pekerjaan.
Menurutnya, para Gen-Z dan milenial yang ingin melamar kerja batas usianya kadang kali dibatasi. Namun di sisi lain, ada yang menjadi Wapres dengan usia yang belum mencukupi, dan aturan malah diubah dan diotak-atik oleh bapaknya demi dia.
Ia juga menilai bahwa pemilu 2024 adalah bukti ketidakadilan yang nyata.
“Mereka sangat-sangat jahat. Bukan curang lagi, mereka jahat. Kita masih ada pencoblosan, (sedangkan) mereka jam enam sore udah ada deklarasi kemenangan di GBK. Kita yang sebagai KKPS, atau sebagai saksi lapangan, itu kan merasa, ‘Gue percuma dong dari subuh jaga sampai maghrib.’”
Ia menambahkan bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah hanya membuat generasi muda semakin ingin meninggalkan Indonesia.
“Udah kita lebih baik nih, Gen-Z atau milennial, kita let’s go ke luar negeri. Itu kayaknya lebih enak. Kan sekarang booming-nya ini ‘yuk kabur’, gitu kan. Itu sih emang the best buat saya pribadi,” ujarnya.
Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan pendidikan gratis daripada sekadar program makanan.
“Enggak ada yang namanya gizi gratis, tapi pendidikan gratis. Kalau gizi gratis, orang tua bekerja. Entah itu jadi sapu jalanan, ojek online, atau jadi tukang sampah, (orang tua) bisa ngumpulin per hari buat beli susu anaknya. Walaupun pendapatannya kecil, tapi setidaknya bisa terpenuhi,” tegasnya.
Anet, Fisip UI: “Demokrasi yang Makin Tertutup”
Anet mengkritik kebijakan efisiensi yang dianggap tidak melibatkan partisipasi publik secara transparan.
“Pertama kali dengar itu (efisensi) marah,” tegasnya.
“Dari awal tuh enggak ada publik mau dikabarin ataupun bahkan dilibatin untuk diskusi gitu, kayak dibilangnya efisiensi untuk makan bergizi gratis ini, tapi pertanyaannya adalah ‘emang ini berdasarkan data real di lapangan kah? Atau ini cuma karena janji politik aja gitu kan? Apakah sebenarnya dari awal sebelum ngejanjiin ini tuh ada diskusi dengan publik? Yang beneran dengan anak-anak yang emang butuh, gitu?’ Buktinya kan enggak ada, ya,” ujarnya.
“Itu yang buat kita sebenarnya marah, gitu, karena emang kita udah enggak dilibatkan, seakan-akan kayak ‘ya udah tinggal terima’. Kita enggak punya suara,” lanjutnya.
Anet juga membagikan pengalamannya mengajar di pelosok Indonesia dan menemukan bahwa kebutuhan utama masyarakat bukanlah makanan gratis, melainkan akses pendidikan yang lebih baik.
Menurutnya, keluarga di sana masih mampu memberikan makanan kepada anak-anak mereka, dan jika ada yang kesulitan, tetangga sekitar biasanya akan saling membantu.
Oleh karena itu, ia mempertanyakan alasan pemerintah yang seolah-olah menganggap masalah utama masyarakat adalah makanan, padahal kenyataannya tidak demikian.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa masyarakat Papua sendiri telah menyatakan bahwa mereka tidak membutuhkan program makanan bergizi gratis, tetapi pendidikan gratis.
Namun, meskipun sudah ada suara dari masyarakat yang menyampaikan hal ini, ia mempertanyakan mengapa pemerintah tidak melakukan evaluasi terhadap kebijakan tersebut.
Terkait pendidikan yang bukan menjadi sektor prioritas, Anet juga menanggapi hal itu.
“Pemerintah dari awal udah nge-states (bahwa) pendidikan bukan jadi prioritas utama. Jadi, (itu) buat kita marah, gitu. Kayak, gimana lo mau buat bangsa ini maju, mau buat Indonesia emas 2045, sedangkan pendidikan aja bukan jadi prioritas. Itu miris banget sih menurut aku,” ujarnya.
“Padahal, kunci bangsa maju adalah pendidikan yang berkualitas, merata untuk semuanya. Jadi, kalau misalnya ini aja enggak tercapai, jangan harap deh Indonesia bisa maju, apalagi bisa emas 2045,” lanjutnya.
Ia juga menyoroti tentang ruang akademik yang semestinya dibuka luas.
“Banyak beberapa mahasiswa yang pakai ruang akademis untuk berdiskusi, tapi kadang kita lupa, kita cuma fokus di bubble kita aja, gitu, cuma masih sebatas berdiskusi dalam ruang kelas, berdiskusi dalam jurnal. Tapi sebenernya, lebih bisa ditingkatkan lagi (agar) mahasiswa ngejelasin (ke masyarakat) kalau sebenarnya, ‘Ini loh bukti konkretnya, ini loh sebenarnya.’ Kita enggak mau dibodoh-bodohin sama pemerintah lagi,” tegasnya.
“Jadi menurut aku, ayo kita bawa ruang diskusi ini keluar dari kelas. Kita bawa ke jalan. Kita bawa ini semua ke media sosial. Ini tuh punya kuasa, punya power untuk bisa mengubah perilaku seseorang,” lanjutnya.
Mengenai tajuk aksi massa #IndonesiaGelap dan pernyataan pemerintah yang meminta masyarakat memberi waktu 100 hari bagi Prabowo, Anet menjawab dengan sinis.
“Mau sampe kapan, gitu? Mau 100 hari lagi, habis 100 hari pertama, 100 hari kedua, terus aja gitu sampe 5 tahun. Kenapa Indonesia Gelap? Karena menurut aku ini udah kayak permasalahan yang tumpuk-menumpuk gitu, sih, bukan cuman gara-gara efisiensi anggaran jadi kita demo,” ungkapnya.
“Tapi udah dari awal aja, dari Gibran bisa nyalonin jadi wakil presiden aja masalahnya udah menumpuk terus. Ibaratnya gini, kayak awalnya tuh kita masih terang nih, tiba-tiba awannya mulai gelap, terus makin gelap, makin gelap, menumpuk-numpuk terus, ya udah lama-lama gelap, ya udah Indonesia Gelap. Jadi, menurut aku sih udah tepat banget Indonesia Gelap karena emang udah sangat urgent, ya, sekarang ini terlalu banyak masalah yang gak bener di pemerintahan,” lanjutnya.
Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata Negara: “Demokrasi dalam Bahaya”
Bivitri Susanti menekankan pentingnya mengawal setiap janji yang disampaikan pemerintah, termasuk pernyataan Mensesneg yang mengatakan akan mempelajari tuntutan aksi.
Ia menanggapi dengan pernyataan Sri Mulyani mengenai KIPK dan UKT yang diklaim tidak akan dipangkas, tetapi hingga kini tidak ada surat edaran resmi.
“Harus kita kawal bareng-bareng,” ungkapnya.
“Menurut saya sih yang disampaikan kemarin itu masih janji. Janjinya pun kalau kita perhatikan diksinya kan ‘pelajari dulu’, belum tentu mengabulkan,” lanjutnya.
“Jadi, itu yang saya kira kita mesti hati-hati. Jangan buru-buru terbuai dengan pejabat yang memang akan bereaksi seperti kemarin (ucapan Mensesneg pada tanggal 20/2), sekedar untuk meredam perjuangan kita. Karena menurut saya, yang kita lawan ini atau yang kita tuntut, sebenarnya bukan hal-hal yang sifatnya teknokratis, tapi yang lebih fundamental dalam penyelenggaraan negara ini,” tegasnya.
Menanggapi pernyataan pejabat yang mengatakan bahwa Indonesia tidak gelap dan meminta rakyat memberi kesempatan 100 hari bagi pemerintahan baru, Bivitri melihat hal ini sebagai bentuk pelecehan terhadap aspirasi publik.
“Mereka itu merasa bahwa mengelola negara ini adalah persoalan pribadi. Jadi, begitu ada kritik, mereka menanggapinya juga dengan diksi-diksi yang sifatnya personal, seakan-akan mereka tersinggung, defensif secara pribadi. Padahal, kan, yang kita perjuangkan adalah negara ini kewajibannya memang memenuhi hak warga,” ungkapnya.
“Yang duluan ada dalam suatu negara itu warga, bukan pejabat. Kita yang bikin mereka jadi pejabat. Jadi harusnya kalau ada kritik, mereka terima itu untuk mengevaluasi, bukan dengan defensif, terus take it too personally,” lanjutnya.
Ia juga menilai pernyataan Luhut yang menyindir rakyat dengan mengatakan “kalau mau perfect, ya ke surga”, sebagai bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab negara.
“Menurut saya, narasinya Luhut memang selama ini cenderung seperti serangan personal, jadi dia akan menjawabnya cenderung in denial, satu. Dan kedua, jadi mengecilkan kita, gitu. Itu sih yang selalu timbul, ya, dengan narasi-narasi yang sama sekali tidak punya akuntabilitas publik, gitu. Masa ngomongin surga? Masa ngomongin hal-hal yang mengecilkan, bahwa ‘nerimo ajalah kalian warga’, yang tidak ada pemerintah yang perfect. Yang kita minta bukan pemerintah yang perfect, yang kita minta adalah pemerintah yang bertanggung jawab secara konstitusional. Nah, dia gak bisa nangkep itu menurut saya karena dia menganggapnya ini bukan urusan publik, tapi urusan privatnya dia,” jelasnya.
Terkait dengan kembalinya peran militer dalam berbagai sektor sipil, termasuk di Bulog, Bivitri menyoroti indikasi kembalinya dwifungsi ABRI secara perlahan.
Menurutnya, militer semakin masuk ke sendi-sendi kehidupan publik.
“Tidak hanya Bulog, itu satu kejadian yang baru-baru aja, dan itu melanggar hukum sebenarnya. Tapi juga kita jangan lupa, di dalam kabinet kita kan juga sebenarnya ada yang dari militer. Ada juga memang yang kemudian mencoba memenuhi peraturanlah, gitu, ya, mundur dulu segala macam,” jelasnya.
“Tapi esensinya, jangan lupa bahwa kita sekarang punya presiden yang memang latar belakangnya militer. Jadi, kita juga sempet melihat fenomena di mana si kepala daerah latihan baris-berbaris. Padahal, apa hubungannya pelayanan publik sama baris-berbaris? Enggak ada hubungannya. Terus, menteri juga harus pelatihan di Akmil, gitu ya. Jadi, saya kira ini memang harus kita potret sebagai bentuk kembalinya dwifungsi tentara. Ini bahaya untuk demokrasi kita,” tegasnya.
Mengenai kondisi demokrasi saat ini, Bivitri menekankan pentingnya checks and balances, yang menurutnya hampir tidak ada lagi di Indonesia.
Menurutnya, demokrasi bukan soal ideal atau tidak, melainkan soal akuntabilitas.
“Demokrasi adalah tentang akuntabilitas orang-orang yang menyelenggarakan negara kepada yang punya negara. Yang punya negara siapa? Kita (rakyat) sebenarnya, bukan mereka. Nah, akuntabilitas itu dilaksanakannya dengan cara, salah satunya, adanya lembaga-lembaga yang saling mengontrol. Yang kita sering sebut dengan checks and balances,” ungkapnya.
“Nah, sekarang menurut saya checks and balances itu sudah hampir enggak ada. Jadi, kalau dibilang indeks demokrasinya di economist intelligence unit, kan bilangnya kita flawed democracy—demokrasi yang cacat. Itu ada sedikit di atas dari hybrid regime kemudian otoritarianisme. Nah, itu sebenarnya yang bisa dilihat adalah dengan DPR sekarang itu sudah jadi sekedar alat dari penguasa. Karena kan DPR-nya delapan fraksi, tujuhnya itu udah miliknya koalisi, ya, KIM Plus. Oke, ada satu, PDI Perjuangan. Tapi kita tahu Sekjen-nya baru aja ditahan kemarin. Jadi, udah diinjek kakinya, gitu,” lanjutnya.
“DPR udah sangat tumpul fungsi kontrolnya. Padahal, demokrasi yang baik adalah ketika ada checks itu dari lembaga seperti DPR. Oke, ada lagi tempat check yang lainnya, yudikatif. Yudikatifnya mau dikerjain juga melalui DPR, yaitu dengan bikin peraturan DPR yang memungkinkan mereka bisa manggil semua pejabat negara yang mereka pilih. Padahal tuh ngaco ya, karena kan itu bukan hubungan tenaga pekerjaan, ya, beda,” tegasnya.
Menurutnya, kondisi Indonesia saat ini memang layak disebut gelap. Kegelapan itu diibaratkan seperti cengkeraman gurita kekuasaan yang tentakelnya telah menjalar ke berbagai institusi, mulai dari Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, hingga DPR. Lembaga-lembaga tersebut, yang seharusnya menjalankan fungsi kontrol, justru menjadi bagian dari koalisi yang memperkuat kekuasaan oligarki.
Bivitri juga menanggapi insiden pembungkaman Sukatani Band, Bivitri menyatakan bahwa tekanan terhadap kebebasan berekspresi selalu dikemas seolah-olah tidak ada paksaan.
“Saya mendukung bentuk solidaritas untuk mereka. Tapi, saya yakin betul paksaan itu ada. Kita tahu ya, setiap tekanan yang menghina institusi-institusi itu, pasti dibilangnya enggak ada tekanan, dibilangnya sukarela, tapi ada sesuatu yang mereka pakai untuk menekan,” tegasnya.
“Jangankan kita yang warga biasa, orang yang terkenal kayak Hasto aja bisa ditahan tuh sama KPK, dengan sesuatu yang juga dipermainkan gitu,” lanjutnya.
Menurutnya, berkesenian adalah hak setiap warga yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apa pun. Terlebih di situasi saat ini, setiap upaya pembungkaman harus dilawan. Ia menilai bahwa aksi bernyanyi bersama yang telah dilakukan merupakan bentuk perlawanan yang efektif dan kreatif, menunjukkan bahwa rakyat tidak akan tinggal diam.
Selain itu, Bivitri memuji peran anak muda dalam aksi Indonesia Gelap.
“Saya menilai kalian keren banget. Pas lihat dari hari Senin tuh udah terharu banget. Apa yang kalian lakuin, (seperti) pas lagi di jalan, ngalangin mobil pejabat yang mau lewat tuh keren banget aksinya,” ucapnya.
“Pas kemarin ketemu Mensesneg juga enggak ada gugupnya, enggak ada takutnya, tetap tegak gitu. Mudah-mudahan itu semua bisa mengubah pandangan orang-orang yang sering menganggap bahwa Gen-Z tuh kayak generasi stroberi, lembek, segala macam,” lanjutnya.
Ia juga menilai bahwa aksi ini (#IndonesiaGelap) merupakan kelanjutan dari gerakan sebelumnya dan menunjukkan konsistensi perjuangan. Meskipun sempat ada upaya dari Mensesneg untuk meredam gerakan dengan janji-janji kosong, massa tetap turun ke jalan. Baginya, ini adalah bukti bahwa rakyat memahami strategi pemerintah yang bertujuan melemahkan gerakan.
Ia berharap aksi ini terus berlanjut dengan berbagai skala dan metode. Menurutnya, tuntutan yang disuarakan bukan sekadar perubahan teknokratis seperti revisi pasal atau peraturan, melainkan menyangkut persoalan fundamental dalam penyelenggaraan negara. Ia pun mendukung simbolisasi Indonesia Gelap karena kondisi demokrasi saat ini benar-benar berada di titik terburuk.
Berkaitan dengan fenomena #kaburajadulu, ia juga turut menanggapinya.
“Kita selalu dicekokin bahwa yang namanya nasionalisme itu adalah sekedar yang sifatnya di permukaan, (seperti) menghormati bendera saat upacara, di stasiun dengerin lagu Indonesia Raya, kita berdiri,” ujarnya.
“Enggak salah dengan itu. Tapi, kalau kita bungkus nasionalisme sekadar dari hal-hal yang sifatnya superficial kayak gitu, sebenarnya kita enggak masuk ke core-nya, ke inti persoalan bahwa bangsa ini masih menghadapi ketidakadilan,” lanjutnya.
Menurutnya, keputusan untuk #kaburajadulu bukan sekadar persoalan nasionalisme, melainkan bentuk keputusasaan akibat ketidakadilan yang terus terjadi. Respons pemerintah seharusnya bukan mempertanyakan rasa cinta terhadap negara, melainkan menelusuri akar permasalahan yang membuat warga merasa tidak dihargai.
Nasionalisme itu tentang bagaimana negara memenuhi hak-hak warganya. Sebagai kewajiban dasar negara, hak-hak tersebut harus diberikan secara adil, bukan hanya dijadikan retorika tanpa tindakan nyata.
Penulis: Raffael Nadhef
Editor: Fuza Nihayatul