Gerak Tanggap Mahasiswa Bandung Raya dalam Tuntutan Aksi Indonesia Gelap

Mahasiswa membawa spanduk berisi kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang memangkas dana pendidikan di DPRD Jawa Barat pada Senin, 17 Februari 2025 lalu. (dJatinangor/ Raffael Nadhef)

dJatinangor.com – Hujan turun deras di Jalan Diponegoro, Kota Bandung, pada Senin (17/2). Tepatnya di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat yang berdiri kokoh dan menjadi saksi ratusan suara mahasiswa dalam aksi bertajuk “Indonesia Gelap”. 

Tajuk itu digaungkan seolah menjadi cerminan suramnya keadaan negeri di bawah kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai kian abai terhadap rakyat.

Di tengah lautan jas almamater yang basah kuyup, seorang mahasiswi dari BEM UPI—srikandi berbandana—berorasi, memegang megafon dengan kencang.

“Kami tidak akan mundur! Kami turun ke jalan bukan karena gabut, tapi kami di sini untuk menuntut!” pekiknya, disambut sorak-sorai dari massa aksi yang tak peduli meski tubuh mereka menggigil.

Derasnya Hujan dan Derasnya Kekecewaan

Ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Bandung Raya berkumpul. Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Pasundan (Unpas), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Politeknik Negeri Bandung (Polban), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN), hingga Universitas Komputer Indonesia (Unikom), mereka bersatu dalam satu keresahan: RUU yang riskan mencoreng UUD 1945 dan mengancam masa depan bangsa, terutama dalam hal pendidikan. 

“Pemerintah, yang gencar menggaungkan makanan bergizi gratis, tidak menjadikan sektor pendidikan di anggaran prioritas,” seru Ridho Anwari Aripin, Pelaksana Tugas Ketua BEM Unpad.

“Jangan terlena dengan tipu daya makanan bergizi gratis! Pendidikan itu prioritas!” teriak Ridho, dengan suara yang tak kalah nyaring dengan gemuruh hujan.

Ridho juga mengungkapkan bahwa pemangkasan anggaran KIP-K dan proyeksi kenaikan UKT dapat mengubur mimpi anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah. Wacana pemotongan anggaran pendidikan ini menjadi bukti nyata bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki semangat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Gifari Akbar, Koordinator Lapangan massa aksi Universitas Pasundan turut mengungkapkan pendapatnya. 

“Dalam catatan UUD 1945, (anggaran pendidikan) harus 20 persen. Apabila anggaran dipotong, hari ini sudah tidak sesuai UUD.”

Namun, hari itu, hujan bukan satu-satunya hal yang membasahi jalanan. Kekecewaan pun menetes dari hati mereka—terutama karena tak satu pun perwakilan DPRD yang berkenan menemui mereka di jalan.

“Tidak ada perwakilan dari DPRD yang pernah menemui massa aksi di jalan. Dan kami tidak ingin ada audiensi di dalam, kami ingin mereka turun ke jalan,” getar Gifari.

Ketika Hujan Tak Bisa Memadamkan Bara Perlawanan

Seiring berjalannya waktu, situasi semakin panas meskipun suhu udara justru semakin dingin. Hujan deras tidak menyurutkan semangat massa, yang pada akhirnya membakar ban sebagai simbol kemarahan mereka. 

Para mahasiswa mulai melepas jas almamater mereka. Bukan tanpa alasan, tetapi sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi pemecahbelahan massa dan pembelaan stigma penyusup bagi orang yang tidak memakai jaket almamater.

“Kita didik kepolisian kita!” seru Ridho, mengkritik aparat yang menganggap orang tanpa almamater dicap sebagai penyusup. “Polisi malah memecahkan massa aksi menjadi dua: masyarakat dan mahasiswa. Maka, saya akan melepas almet Unpad saya!” lanjutnya dengan lantang. 

Lalu, ia melantunkan slogannya, “No justice, no peace, fuck the police!” Disambut riuh oleh peserta aksi yang mengangkat tinju mereka ke udara dengan teriakan, “Fuck the police!”

Di antara pekikan tuntutan, orasi semakin menyayat. Ridho mengingatkan insiden memilukan tentang seorang ibu yang meninggal saat mengantre gas LPG. 

“Kita saksikan ada seorang ibu sedang ngantre gas LPG, dan berakhir meninggal. Bahlil dengan mudahnya mencabut kembali keputusan itu. Di negara ini, satu nyawa seakan tidak ada harganya,” gumamnya lirih, sebelum suara massa kembali menggelegar.

“Tambang untuk Kampus?” dan Kemarahan terhadap Pejabat Publik

Ridho, orator yang memantik aksi melepas jaket almamater, juga mengkritik rencana pemerintah yang ingin memberikan izin pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi.

“Rezim ingin menyumpal mulut-mulut rektor kita dengan bisa mengelola tambang. Tapi, kita tidak bodoh. Dulu, di zaman Orde Baru, kita pernah diberikan konsesi hutan. Dan hari ini, kita diberikan konsesi tambang. Padahal, tugas kampus adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan mengelola tambang,” ujarnya.

Menurutnya, pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan rakyat adalah tugasnya pemerintah, bukan malah diberikan ke kampus atau organisasi masyarakat.

Selain itu, kemarahannya juga tertuju pada gaya hidup pejabat yang kontras dengan penderitaan rakyat.

“Kita pedih rasanya melihat para pejabatnya duduk enak naik mobil Alphard dengan patwal, sementara masyarakat, demi bisa memasak, harus mengantre gas LPG hingga mengular,” tambahnya.

Insiden Raffi Ahmad yang menggunakan mobil dinas dengan patroli pengawalan atau patwal (tanpa ada dirinya) juga tak luput dari kritiknya.

“Bagi saya, Raffi Ahmad tidak capable untuk menjadi Stafsus atau pejabat publik. Kenapa? Kalau memang Raffi Ahmad (merasa) bersalah, seharusnya meminta maaf kepada rakyat Indonesia, bukan ke Mayor Teddy. Minta maaf ke orang yang macet-macetan di saat itu ketika mobilnya Raffi Ahmad menghalangi jalan. Kita lihatlah secara mata telanjang, kenapa minta maafnya ke Mayor Teddy? Toh, dia sebagai pejabat publik itu melakukan kesalahan kepada rakyatnya.”

Tuntutan yang Menggema di Jalanan

Massa aksi datang bukan tanpa agenda. Di antara derasnya hujan dan kepungan aparat, mereka meneriakkan sederet tuntutan yang tertulis jelas di atas kertas basah yang lebih suci daripada RUU yang ternodai. 

Berikut beberapa poin utama yang mereka perjuangkan:

  1. Naikkan anggaran pendidikan, batalkan seluruh pemangkasan, cabut instruksi presiden nomor 1 tahun 2025, kembalikan anggaran pendidikan ke pagu awal, naikkan anggaran pendidikan terutama dana operasional PTN-BH, PTS, dan Beasiswa! Perluas akses pendidikan tinggi kepada anak kelas buruh dan kaum tani yang selama ini dihalangi oleh biaya pendidikan yang tinggi.
  2. Hadirkan sarana prasarana pendidikan berkualitas, buka seluas-luasnya ruang demokrasi, dan selesaikan masalah kekerasan seksual dalam dunia pendidikan.
  3. Mengalihkan efisiensi pendidikan ke tunjangan-tunjangan pejabat.
  4. Anggarkan tunjangan kinerja pendidikan guru dan dosen. Jamin kesejahteraan guru, dosen, dan tenaga kependidikan dengan upah serta tunjangan yang layak.
  5. Hentikan pembahasan RUU Sisdiknas, hentikan transformasi PTN BLU menjadi PTN BH, Cabut UU PT Permendikbud Ristek No. 2 Tahun 2024 dan semua peraturan turunan yang melanggengkan liberalisasi dan privatisasi pendidikan. Wujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat, berbasis reform agraria dan industrialisasi nasional.
  6. Pertimbangkan ulang sektor pendidikan dan kesehatan dari prioritas pendukung menjadi prioritas utama.
  7. Menuntut Prabowo untuk mengefisienkan dan merombak total kabinet merah putih secara struktural dan teknis.
  8. Menuntut pemerintah untuk mengingat kembali hal-hal yang dijanjikan pada rakyatnya.
  9. Tolak izin usaha pertambahan bagi perguruan tinggi dalam RUU Minerba. Tolak mobilisasi mahasiswa dan dosen sebagai tenaga kerja murah demi industri pro-imperialis dan pro-feodal.
  10. Hentikan pelibatan aparat bersenjata dalam ruang sipil. Tolak militerisasi melalui pembangunan Kodam baru dan peningkatan anggaran militer kepolisian yang akan digunakan untuk melancarkan perampasan tanah rakyat dan represivitas.
  11. Tolak dwifungsi ABRI/TNI.
  12. Restitusi hak kementerian kesehatan untuk menjamin efisiensi layanan kesehatan, pengembangan SDM layanan kesehatan, infrastruktur layanan kesehatan dan lainnya yang ada dibawah kementerian kesehatan.
  13. Efisiensi dana di sektor infrastruktur.
  14. Cabut UU Ciptaker dan UU turunannya.
  15. Sahkan RUU PPRT dan perkuat landasan hukum perlindungan kekerasan terhadap perempuan.

Tak Akan Redam

Matahari yang tertutup awan hujan bersamaan dengan kehadirannya yang kian tenggelam tidak lekas membuat perlawanan massa ikut meredam.

Petinggi DPRD yang tak kunjung datang tak menyurutkan semangat Gifari yang dengan lantang berkata, “Sampai menang!”

Namun, seiring berjalannya waktu dan kondusivitas lokasi, massa mulai meninggalkan tempat sekitar pukul lima sore—bukan karena patah semangat, melainkan demi selamat.

Ridho pun turut memperhatikan keselamatan massa aksi.

“Kita akan memastikan bahwasannya kita datang dengan selamat dan pulang pun insyaAllah dengan selamat.”

Meski langkah mundur sementara sudah jadi takdir, perjuangan belum berakhir.

Penulis: Raffael Nadhef

Editor: Fuza Nihayatul

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *