Perbedaan Pandangan Mahasiswa Lokal dan Pendatang terhadap Dinamika Kehidupan di Jatinangor

Suasana Jembatan Cincin yang asri di samping kepadatan belantara beton Jatinangor (Kontributor/Aida Fathia Kamila).

Jatinangor, yang semula dikenal sebagai wilayah dengan hamparan sawah yang membentang, kini berubah wajah menjadi kawasan padat yang setiap jengkalnya terentakkan oleh ribuan langkah mahasiswa dari berbagai sudut nusantara. Transformasi ini yang menghadirkan gelombang urbanisasi yang pesat, serta memunculkan ragam pandangan baik dari mahasiswa lokal maupun pendatang. 

Pandangan Mahasiswa Lokal: Wajah Baru Jatinangor di Mata Yunus

Yunus, mahasiswa asli Jatinangor, menyaksikan perubahan yang cukup signifikan di kampung halamannya. Ia termenung menatap Jatinangor hari ini. Tak ada lagi aroma khas padi menguning, yang tersisa hanya belantara beton dan deretan kos-kosan yang tak berujung.

“Dulu, dari jalan utama ke rumah, jaraknya terlihat karena banyak sawah, tapi sekarang ketutup kos-kosan,” ujarnya.

Sawah-sawah yang setia menyerap air hujan dipaksa menyerah pada gedung dan ruko; alam memberi peringatan pertamanya: banjir yang memilukan.

Melihat perubahan ini, hati warga tak kuasa untuk tak angkat suara. 

“Pada saat itu (warga) pada protes sebenernya sama hal itu (alih fungsi). Bukan karena pembangunannya, tapi lebih ke irigasinya itu jadi mesti ke mana biar gak banjir lagi,” kesaksian Yunus.

Yunus juga merasa bahwa aroma budaya asli Jatinangor kini tercampur dengan beragam budaya yang dibawa oleh gelombang mahasiswa pendatang. Sayangnya, ia lirih melihat budaya lokalnya semakin tersisih. 

“Yang aku rasain tuh Jatinangornya kerasa lebih tergerus oleh budaya dari luar, bukan budaya mereka yang tergerus oleh Jatinangor, gak menyesuaikan dengan budaya Jatinangor,” lirihnya.

“Orang-orang di tongkrongan, di kafe, semuanya manggilnya gua-elu, bukan pake bahasa sunda lagi,” tambah Yunus.

Bahkan, gesekan antara warga lokal dan mahasiswa pendatang sempat terjadi. Ketika ada kemenangan Persib, perayaan warga dianggap berlebihan oleh sebagian mahasiswa pendatang. 

“Waktu itu tuh nobar persib, dan persib juara. Biasalah warlok ya, yang lagi euforia, gerung-gerung pake motor pas nobar di kecamatan, tuh. Di situ pergesekan terjadi, kayak mahasiswa pendatang tuh, ‘Apa sih warlok norak banget?’ Nah ini ada di DAU (akun Unpadfess di x),” ungkap Yunus.

Secara ekonomi, mahasiswa dari luar Jatinangor memang memberi manfaat besar bagi pendapatan wilayah. Namun, Yunus tak bisa menutup mata terhadap kemacetan parah yang terjadi karenanya. Seiring dengan ini, fasilitas yang seadanya tidak bisa memenuhi harapannya. 

“Jatinangor jadi kayak Cileunyi, Cibiru, yang dari dulu emang udah macet. Kalau Jatinangor dulu tuh gak pernah ada macet. Ya mungkin kalo jalan-jalan kecil, kayak gang, bisa aja ya. Tapi kalo jalan gede tuh gak pernah macet. Mobil tuh jarang banget melintas. Kalo sekarang kan mau pagi, mau sore, macet tuh pasti, udah hal yang wajib,” tuturnya. 

Infrastruktur yang kian terbebani oleh lonjakan penduduk ini, menurutnya, adalah beban yang harus segera ditangani oleh pemerintah, demi kenyamanan dan keselamatan bersama.

Selain fasilitas, Yunus juga khawatir jika identitas budaya Sunda mulai tertindas. Dalam pandangannya, nilai-nilai seperti “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” harusnya menjadi pegangan yang kuat bagi mahasiswa pendatang agar mereka bisa meresapi budaya yang sudah lama ada di tanah ini.

Sosok Prabu Siliwangi, yang sempat diangkat dalam acara orientasi mahasiswa Unpad (Prabu), seharusnya menjadi simbol yang lebih diperhatikan sebagai jembatan untuk mengenalkan nilai-nilai budaya Sunda kepada mahasiswa yang berasal dari luar wilayah ini. 

“Cuman pada kenyataannya, gak banyak orang yang tertarik atau berminat untuk menghidupi budaya dan bahasa sunda,” tuturnya kepada dJatinangor.

 “nah menurutku, kalo emang gak bisa, Jatinangor tuh kan tempatnya bagi para pendatang yang berbeda-beda budayanya, jadi bisa saling sharing, secara general lah, secara Indonesia. Mungkin bisa ada sharing session, bisa untuk saling berbagi adat dan budaya,” tutup Yunus.

Meskipun demikian, Yunus tetap menyimpan harapan besar untuk masa depan Jatinangor. Ia berharap pemerintah bisa membawa perubahan yang berarti. Ia juga mengingatkan agar para mahasiswa tidak hanya terjebak dalam dunia akademis, tetapi juga turun langsung ke lapangan, mengabdikan diri kepada masyarakat—mengingat salah satu tugas sejati dari mahasiswa.

Dalam pandangannya, peran mahasiswa dari keempat perguruan tinggi di Jatinangor (Unpad, IPDN, ITB, dan IKOPIN) dapat memperkuat keterlibatan mereka dalam membantu masyarakat lokal, tanpa harus terlalu bergantung pada pemerintah.

Pandangan Mahasiswa Pendatang: Adaptasi dan Peran di Jatinangor

Nova, mahasiswa pendatang asal Pontianak, merasa bahwa warga lokal di Jatinangor membuka tangan lebar-lebar untuk menerima kehadirannya. Bagi Nova, mereka tidak hanya ramah, tetapi juga penuh penghargaan terhadap keberanian mahasiswa yang datang jauh-jauh—memberikan rasa aman di tengah perantauan demi menambah wawasan.

“Sejauh ini, aku nggak pernah merasa didiskriminasi, sih. Mereka malah mengapresiasi kami yang berani hidup sendiri di daerah orang,” ungkapnya.

Namun, sayangnya, di balik kenyamanan itu, Nova harus menghadapi tantangan besar dalam hal lalu lintas. Jalanan Jatinangor yang sempit dan padat membuatnya merasa terjepit, sulit untuk melangkah sebagai pejalan kaki tanpa merasa terancam.

“Pengendara nggak ada yang mau ngalah sama pejalan kaki, jadi harus nekat biar mereka kasih jalan,” tuturnya.

Nova juga menyoroti bahwa cara berkendara warga lokal yang terburu-buru kadang menimbulkan risiko bagi para pejalan kaki.

Dalam hal budaya, Nova berusaha keras untuk menyesuaikan diri, mulai dengan menggunakan sapaan “punten” yang lekat dengan budaya Sunda. 

Meski berasal dari Pontianak dengan gaya bicara yang lebih tegas, ia sadar perbedaan itu dan berusaha sebaik mungkin untuk menyeimbangkannya, demi menjaga keharmonisan.

“Di Pontianak, sapaan itu cukup dengan senyum, tapi di sini ternyata tatakrama seperti ‘punten’ penting banget,” tambahnya.

Nova juga melihat masa depan Jatinangor sebagai wilayah yang semakin beragam. 

Ia berharap bahwa dengan semakin banyaknya pendatang, harmoni antarbudaya tetap terjaga. Baginya, menghindari pergaulan bebas adalah salah satu upaya untuk menjaga keseimbangan nilai-nilai budaya setempat. 

Interaksi sosial yang dijalinnya, meski masih terbatas, Nova upayakan dengan menyapa dan berbincang dengan warga sekitar. Baginya, setiap kata yang terucap adalah jembatan kecil untuk membangun komunikasi positif, menghapus jarak yang ada, dan merajut rasa saling menghormati.

Mencari Keseimbangan: Menuju Harmoni Jatinangor yang Beragam

Perspektif yang berbeda antara mahasiswa lokal dan pendatang mencerminkan dinamika kompleks di Jatinangor. 

Di satu sisi, warga lokal, seperti Yunus, merasa bahwa identitas budaya perlu lebih dihargai dan dipertahankan. Di sisi lain, mahasiswa pendatang, seperti Nova, mengakui pentingnya adaptasi dalam berinteraksi dengan warga lokal. 

Kedua pihak, meski berbeda pandangan, sama-sama berharap agar keberagaman yang terus tumbuh di Jatinangor bisa dikelola dengan bijaksana. Dengan demikian, harmoni antarbudaya bukan hanya menjadi impian, tetapi kenyataan yang hidup di setiap sudut wilayah ini.

Kehadiran mahasiswa yang terus berdatangan memang memberikan tantangan, tetapi dengan sikap saling menghargai dan kerja sama yang erat antara mahasiswa dan masyarakat, Jatinangor dapat menjadi lingkungan yang inklusif dan menghargai keberagaman—setiap individu, baik lokal maupun pendatang, dapat hidup berdampingan dalam keragaman budaya.

Penulis: Raffael Nadhef
Editor: Yoga Firman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *