Palu hakim yang tak lagi bisa diketuk karena setiap dentingannya tidak menyejahterakan. (Ilustrasi/Pixabay)
Beberapa waktu yang lalu, kita baru melihat sejumlah hakim yang menangis di DPR karena kurangnya kesejahteraan hidup mereka. Tak lama kemudian, kehakiman disorot akibat kasus Zarof Ricar.
Hal tersebut menjadi sangat ironis karena ketika para hakim mogok kerja dan meminta naik gaji, ternyata ada pensiunan hakim agung yang tersangka makelar kasus di peradilan hingga kini meraup satu triliun sejak 2012.
Hakim adalah wakil Tuhan yang bertanggung jawab langsung pertama-tama kepada Tuhan. Kendati demikian, Tuhan semakin tak diingat di ruang pengadilan.
Tangisnya Hakim: Alasan Hakim Menuntut Kenaikan Gaji
Sejak 2012, gaji pokok dan tunjangan hakim tidak mengalami kenaikan, bahkan untuk mengimbangi inflasi. Sebagai contoh, hakim tingkat pratama dengan masa kerja delapan tahun rata-rata hanya menerima gaji antara Rp12 juta hingga Rp14 juta per bulan.
Bagi banyak hakim, jumlah tersebut masih belum mencukupi, terutama mengingat beberapa di antaranya harus menyewa tempat tinggal dan menanggung biaya perjalanan dari kampung halaman ke tempat tugas.
Hanya hakim agung yang mendapatkan fasilitas keamanan dari negara, sementara hakim di pengadilan tingkat pertama dan kedua tidak menerima perlindungan serupa, meskipun mereka kerap menghadapi risiko keselamatan yang tinggi.
Situasi itu pada akhirnya memicu rentetan peristiwa nahas yang menimpa para hakim di berbagai daerah. Beban kerja yang tak proporsional diyakini telah memicu kematian sejumlah hakim. Selain itu, ancaman keamanan yang terus-menerus juga membuat mereka diliputi kecemasan saat harus merumuskan vonis dalam berbagai kasus.
Putri Sartika Prematura, seorang hakim berusia 30 tahun, meninggal dunia pada April 2021 tak lama setelah mengalami teror di rumah kontrakannya saat menyusun vonis untuk sebuah “perkara besar”. Ibu Putri, Eti Rohayati, mengatakan bahwa mereka yakin kejadian tersebut adalah bentuk teror terhadap Putri, terutama karena kejadian itu terulang beberapa hari kemudian.
“Kurang dari satu minggu kemudian, Putri sakit. Dia sempat pingsan. Tubuh Putri demam. Psikologisnya juga jatuh,” ujar Eti, dikutip dari bbc.com.
Setelah lulus dari Unpad pada 2015 dan melewati seleksi serta pendidikan calon hakim, Putri ditempatkan bersama hakim-hakim baru lainnya di berbagai pengadilan di Indonesia. Meski Peraturan Pemerintah 94/2012 menjamin hak atas rumah dinas, Putri terpaksa menyewa rumah sendiri karena kondisi rumah dinas yang tidak layak huni.
Selama bertugas di Kabupaten Tanjung Pati, Putri tinggal terpisah dari suaminya yang bekerja di Aceh. Menurut Eti, meski dengan keterbatasan fasilitas dan upah, Putri tetap berdedikasi mewujudkan cita-citanya sebagai hakim yang adil.
Pasca mengalami teror di rumahnya, Putri mengalami gangguan tidur dan mimpi buruk. Walaupun begitu, ia rela bekerja hingga larut malam untuk menyelesaikan putusan perkara. Baginya, ini merupakan bentuk pertanggungjawaban profesinya yang akan dipertanyakan di akhirat.
Kisah serupa datang dari Itsnaatul Lathifah, hakim Pengadilan Agama Jeneponto, Sulawesi Selatan, yang merasakan beban kerja dan risiko keamanan tanpa adanya kenaikan gaji.
“Di tempat kerja ini, saya datang tanpa mengenal siapapun, harus mencari rumah sendiri, dan mengurus sendiri kebutuhan sehari-hari,” ujar Itsnaatul, dikutip dari bbc.com.
Sering kali hakim menghadapi tawaran suap karena kondisi ekonomi yang sulit, tetapi, meski demikian, mereka tetap berusaha mempertahankan integritas.
Selain masalah kesejahteraan, beban kerja yang tinggi juga membuat para hakim kerap sakit dan kelelahan. Itsnaatul mencatat bahwa dalam satu tahun, dia dan dua rekannya harus mengadili 840 perkara, termasuk yang melibatkan puluhan saksi, yang melelahkan secara fisik dan mental.
Tito Sinaga, hakim di Pengadilan Labuha, Halmahera Selatan, juga mengalami situasi sulit terkait keselamatan.
Ketika gas elpiji di rumah kontrakannya meledak, Tito mengalami luka bakar akibat insiden tersebut. Karena waktu dan energi tersita oleh pekerjaannya, Tito tidak sempat mengurus urusan domestik, termasuk memeriksa gas di dapurnya.
Meskipun Mahkamah Agung telah bekerja sama dengan PT Asuransi Jiwa Inhealth pada 2023, Tito tetap tidak bisa merasakan manfaat dari asuransi baru tersebut karena fasilitas tersebut tidak tersedia di Halmahera Selatan.
Deru Tangis di Depan DPR
Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia (SHI), Fauzan Arrasyid, menceritakan dalam diskusi Ikatan Wartawan Hukum di Jakarta Pusat (11/10/2024) bahwa beberapa temannya menangis saat mendengar respon positif dari presiden terpilih.
Menurut Fauzan, temannya merasa bersyukur karena perjuangan mereka akhirnya direspons baik. Ia mengungkapkan, “Kami bersyukur karena usaha, kalau bahasa kami tuh, jalan ninja yang kami pilih itu direspon positif.”
Dalam audiensi dengan DPR, Koordinator SHI, Rangga Lukita Desnata, menyatakan, “Gaji kami saat ini itu bisa jadi kayak uang jajan Rafathar tiga hari.”
Sebagai latar belakang, sejumlah hakim telah mengambil cuti bersama untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka yang stagnan selama 12 tahun terakhir.
Menurut Fauzan, langkah cuti bersama sempat memicu perdebatan di kalangan hakim. Beberapa hakim menilai bahwa langkah tersebut tidak sesuai norma profesi. Namun, akhirnya mereka sepakat melakukan voting, kebiasaan yang digunakan di Majelis saat musyawarah mufakat tidak tercapai, dan keputusan cuti bersama pun disetujui.
Fauzan juga menekankan, para hakim terharu bukan karena janji dari presiden terpilih, tetapi karena merasa upaya mereka telah membawa hasil positif. “Karena bersyukur pada akhirnya cara yang kami gunakan ternyata memberikan dampak positif pada rujukan akhir yang ingin kami capai,” ujarnya.
Presiden terpilih Prabowo Subianto berbicara dengan SHI melalui telepon dalam audiensi di DPR pada Selasa (8/10), menyatakan perhatiannya terhadap kesejahteraan hakim dan keinginannya untuk bertemu langsung dengan perwakilan mereka.
Sambutannya membuat suasana di ruang rapat hangat, bahkan beberapa hakim terharu hingga meneteskan air mata.
Bengisnya Hakim: Kronologis Kasus Ronald Tannur
Kejadian ini berawal saat almarhum Dini Sera Afrianti bersama tersangka Ronald Tannur menuju tempat hiburan. Saat itu terjadi percekcokan yang berujung pada kekerasan. Tersangka menendang dan memukul korban, serta kembali memukulnya dengan botol di dalam lift.
Rekaman CCTV dan visum menguatkan bukti kekerasan ini, dan korban sempat mengirim voice note kepada temannya, mengeluh bahwa tersangka menendangnya tanpa alasan.
Setelahnya, mereka menuju basement. Saat itu, tersangka diketahui menjalankan mobilnya hingga melindas korban yang berada di sisi kiri kendaraan. Meskipun seorang petugas keamanan menanyakan kejadian tersebut, tersangka hanya mengaku tidak tahu.
Dia kemudian memasukkan korban ke bagasi mobil, tetapi bukannya membawa ke rumah sakit, ia malah menuju apartemen. Korban diturunkan di lobi apartemen dengan bantuan seorang pengunjung, sementara tersangka naik ke lantai atas untuk mengambil barang-barangnya.
Petugas keamanan yang curiga akhirnya membawa korban ke rumah sakit bersama tersangka. Sesampainya di sana, korban dinyatakan meninggal sekitar 30-40 menit sebelumnya, mengindikasikan kemungkinan korban sudah meninggal di basement atau dalam perjalanan ke apartemen.
Hasil visum menunjukkan tanda-tanda kekerasan benda tumpul, seperti pelebaran pembuluh darah di kelopak mata, bintik pendarahan, kebiruan di ujung jari, serta luka lecet di tubuh.
Pemeriksaan dalam menemukan pendarahan di otak, usus besar, dan resapan darah di berbagai bagian, termasuk luka robek pada hati yang menyebabkan pendarahan hebat.
Penyebab kematian disimpulkan sebagai luka robek pada hati, tanpa indikasi keterlibatan alkohol.
Perilaku Hakim dalam Persidangan
- Intervensi terhadap saksi
Hakim dinilai melakukan intervensi yang menghambat saksi dalam memberikan keterangan terkait apa yang dialami dan diketahui.
Contohnya, ketika ahli forensik menyampaikan bahwasanya adanya kematian akibat pendarahan hebat dari perut hati dan dada, hakim malah memberikan pertanyaan yang tidak sesuai dengan substansi keahlian dari ahli forensik.
“Tahu dari mana kamu kalau itu meninggal karena dilindas mobil? Padahal, tidak ada keterangan ahli yang menjelaskan tentang itu.”
- Hakim yang tidak berpihak pada kebenaran untuk melindungi hak-hak korban
Hakim keberatan atas kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang hendak memberikan keterangan terkait restitusi bagi korban, meskipun hal ini telah dimasukkan dalam tuntutan.
Namun, hakim malah menanyakan, “Tahu dari mana kamu kalau tersangka yang melakukan pembunuhan? Kita belum tahu ini. Jadi, buat apa kamu memberikan ini? Itu nanti aja.”
- Kejanggalan pertimbangan dalam keputusan hakim
Putusan dari majelis hakim di Pengadilan Negeri Surabaya semestinya dibacakan pada Senin, 22 Juli 2024, setelah masa 14 hari sejak pledoi ‘pembelaan yang diucapkan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya’.
Namun, secara mengejutkan, pembacaan putusan yang seharusnya berlangsung pada tanggal tersebut ditunda. Putusan baru dibacakan pada Rabu, 24 Juli 2024, dengan hasil bahwa tersangka dinyatakan bebas dari segala tuntutan.
Makelar Perkara
Pada 24 Juli 2024, tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, yaitu Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, memutuskan untuk membebaskan Ronald.
Dalam putusan tersebut, Ronald dinyatakan tidak terbukti melakukan penganiayaan dan pembunuhan terhadap kekasihnya, Dini, yang oleh sejumlah pemberitaan dikabarkan tewas akibat dianiaya dan dilindas mobil oleh Ronald.
Namun, dalam amar (bunyi) putusan, majelis hakim menyatakan bahwa kematian Dini disebabkan oleh penyakit lain dan konsumsi alkohol, berbeda dari tuntutan jaksa yang meminta hukuman 12 tahun penjara.
Vonis bebas ini memicu kemarahan publik sehingga Komisi Yudisial (KY) melaporkan ketiga hakim tersebut ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung.
Pada Selasa, 22 Oktober, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi jaksa, membatalkan vonis bebas PN Surabaya, dan menjatuhkan hukuman penjara lima tahun kepada Ronald.
Ronald kemudian ditangkap oleh tim penyidik Kejaksaan Tinggi Jawa Timur di rumahnya pada Minggu, 27 Oktober.
Sebelumnya, dalam konferensi pers pada Jumat, 25 Oktober, Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, menyatakan, “Tim penyidik Jampidsus telah menetapkan Zarof Ricar, mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung sebagai tersangka pemufakatan jahat bersama Lisa Rahmat (pengacara Ronald) terkait penanganan perkara terdakwa Ronald Tannur di tingkat kasasi.”
Qohar menjelaskan bahwa Zarof, atas permintaan Lisa, diduga melobi hakim agung agar keputusan kasasi memperkuat vonis bebas PN Surabaya.
Menurut penyidik Kejaksaan Agung, Lisa menjanjikan uang sebesar Rp5 miliar untuk masing-masing hakim agung, sementara Zarof menerima fee satu miliar atas jasanya.
Qohar menambahkan bahwa meskipun uang senilai lima miliar belum sempat diberikan, Zarof mengaku sempat berkomunikasi dengan salah satu hakim agung terkait perkara ini.
Selain menahan tiga hakim dan Lisa, penyidik Kejaksaan Agung juga menyita uang tunai senilai Rp20,38 miliar dari penggeledahan di rumah para tersangka.
Selain uang, ditemukan pula barang bukti elektronik dan catatan transaksi yang diduga terkait vonis bebas Ronald.
Selain itu, dari rumah Zarof, penyidik juga menyita uang dalam berbagai mata uang senilai lebih dari Rp920 miliar dan emas batangan seberat 51 kilogram.
Qohar menyebut bahwa kekayaan tersebut dikumpulkan Zarof sejak tahun 2012 hingga 2022, meskipun Zarof mengaku lupa berapa banyak kasus yang diurusnya selama periode tersebut.
Dalam rentang tahun tersebut, Zarof pernah menjabat sejumlah posisi penting, termasuk Kepala Balitbang Diklat Kumdil dan Plt Dirjen Badan Peradilan Umum di Mahkamah Agung.
Terlepas dari status tersangka, kekayaan Zarof yang dilaporkan ke KPK mengalami peningkatan drastis sejak 2016. Disebutkan, kekayaan Zarof melonjak dalam kurun waktu sembilan tahun. Pada laporan 2007, kekayaan Zarof tercatat sebesar Rp6,3 miliar, tetapi pada 2016, jumlahnya meningkat menjadi Rp36,4 miliar.
Mengawasi Perilaku Hakim
Pakar hukum tata negara, Andi Asrun, mengusulkan contoh ekstrem berupa penempatan intel KPK untuk mengawasi setiap hakim agung secara independen.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi harta kekayaan para hakim agung kepada publik, disertai evaluasi rutin oleh KY dan program pemutihan satu kali untuk memulai sistem yang bersih.
Kemudian, Mukti Fajar Nur Dewata, Jubir KY, turut melontarkan pendapatnya. Menurutnya, saat ini, KY mengalami hambatan dalam pengawasan hakim, terutama dalam menindaklanjuti laporan masyarakat tentang perilaku transaksional hakim.
“Sejak kelahirannya (KY) itu kuat, tapi kemudian, sampai hari ini itu sudah 11, kalau nggak 12 kali, di-JR (Judicial Review) untuk dikurangi kewenang-wenangannya. Yang pertama, kalau nggak salah, kewenangan untuk mengawasi MK. Dan, akibatnya, dua kali ketua MK itu tertangkap juga, kan, artinya karena nggak ada pengawasan.”
Situasi ini semakin memburuk karena berkurangnya kewenangan KY melalui revisi peraturan yang membatasi pengawasan terhadap Hakim sehingga praktik mafia peradilan semakin merajalela.
Tantangan Pengawasan Etika
Kelemahan sistem pengawasan menyebabkan berbagai praktik ilegal dalam sistem peradilan.
Contoh yang terungkap adalah seorang hakim menerima suap, tetapi dikembalikan. Meskipun KY kemudian memberhentikan hakim tersebut, tidak ada tindak lanjut pidana karena KY hanya berwenang pada aspek etika, bukan pidana.
Kasus-kasus serupa terus bermunculan, menunjukkan bahwa jalur ilegal dalam sistem peradilan tidak hanya satu, dan KY sebenarnya telah menerima banyak laporan terkait perilaku Hakim yang menyimpang.
KY perlu meningkatkan efektivitas pengawasan dengan usulan diberi wewenang melaporkan kasus berindikasi pidana kepada pihak berwenang.
Kasus yang mencuat ke publik baru-baru ini menunjukkan adanya indikasi mafia peradilan yang melibatkan aparat yang terkesan melakukan pembiaran atas tindakan pelanggaran.
Usulan Perbaikan
1. Seleksi Ulang dan Pengawasan Ketat
Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri, mengusulkan agar presiden mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk melakukan proses seleksi ulang yang ketat bagi hakim dan pejabat hukum.
Hal tersebut dianggap sebagai langkah pertama dalam memperbaiki integritas sistem peradilan.
Proses seleksi ini harus disertai dengan pengawasan ketat agar hanya individu yang berintegritas tinggi yang dapat duduk dalam posisi strategis.
2. Pengungkapan Kasus Korupsi Skala Besar
Gayus Lumbuun, mantan hakim agung, menilai bahwa kasus korupsi yang melibatkan nilai besar, seperti temuan uang Rp1 triliun, harus dijadikan momentum untuk mengungkap jejaring korupsi yang lebih luas.
Uang tersebut harus ditelusuri secara rinci, mulai dari sumber hingga ke mana aliran dana tersebut berakhir. Melibatkan Justice Collaborator dalam kasus ini dapat membuka tabir korupsi lebih efektif.
Selain dua itu, tiga poin berikutnya merupakan usulan dari Refly Harun, pakar hukum tata negara:
3. Pembekuan Mahkamah Agung dan Reformasi Seleksi Hakim
Usulan untuk membekukan Mahkamah Agung dan melakukan seleksi ulang terhadap hakim-hakim dianggap sebagai langkah berani yang dapat memberi pesan kuat kepada para pelaku korupsi.
Seleksi ulang ini harus dilakukan oleh tim independen yang kredibel untuk memastikan integritas hakim terjaga.
4. Pengembalian Fungsi KPK
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang melemahkan KPK perlu dicabut agar lembaga tersebut dapat kembali menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum independen.
Selanjutnya, rekrutmen bagi penyidik dan staf KPK yang telah diberhentikan secara tidak adil, seperti Novel Baswedan, juga perlu dilakukan ulang.
5. Revisi Mekanisme Seleksi Pimpinan KPK
Proses seleksi pimpinan KPK yang lebih transparan dan partisipatif akan memastikan terpilihnya pemimpin KPK yang berintegritas, serta menghilangkan unsur-unsur bermasalah yang dapat merusak kredibilitas lembaga tersebut, seperti Firli dan Ghufron.
Kecurigaan dalam Menutupi Agenda
Pada 30 Oktober 2024, Rudianto Lallo, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, mengeluarkan pernyataan kontroversial.
Dia meminta agar aparat penegak hukum lebih memfokuskan diri pada kasus-kasus baru daripada mengangkat kasus-kasus lama.
Alasannya, pemerintahan ini baru berjalan kurang dari satu bulan sehingga menurutnya lebih baik memprioritaskan permasalahan terkini.
Namun, permintaan ini memicu berbagai pertanyaan. Di satu sisi, DPR terlihat mendukung pemberantasan korupsi yang sejalan dengan visi pemerintahan baru yang ingin menciptakan kebersihan pemerintahan.
Di sisi lain, muncul kecurigaan dari banyak pihak yang menganggap bahwa ini bisa menjadi cara untuk menutupi agenda tersembunyi karena beberapa kasus lama masih tertunda dan sering dimanfaatkan sebagai alat politik.
Kasus-Kasus Lama: Dipolitisasi atau Diprioritaskan?
Misalnya, Kejaksaan Agung kini mengungkap kasus-kasus lama dengan nilai fantastis, yang sebelumnya terabaikan dan tiba-tiba muncul ketika kekuasaan berganti.
Permintaan Komisi III DPR agar fokus pada kasus baru dianggap cukup aneh, terutama karena pemerintahan baru belum banyak menangani kasus. Justru, kasus-kasus yang berkaitan dengan tokoh-tokoh di kabinet baru mulai mencuat.
Hal tersebut menimbulkan spekulasi bahwa korupsi di pemerintahan sebelumnya mungkin melibatkan elite-elite politik yang kembali berperan dalam lingkaran kekuasaan.
Presiden Prabowo, dalam pidato perdananya, menegaskan bahwa kekuasaan tidak boleh dijadikan alat permainan yang merugikan rakyat.
Pernyataan ini seolah memberi sinyal bahwa ia berkomitmen untuk membongkar kasus-kasus lama yang masih terkait dengan kepentingan politik hingga kini.
Respons Publik
Kasus-kasus besar, seperti temuan uang tunai dan emas senilai satu triliun rupiah oleh Kejaksaan Agung, menarik perhatian publik.
Namun, timbul pertanyaan mengapa kasus ini baru diangkat sekarang.
Masyarakat tidak hanya memperhatikan sisi korupsi itu sendiri, tetapi juga mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.
Penulis: Raffael Nadhef
Editor: Yoga Firman