Suasana aksi Tolak RUU Pilkada di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat pada Kamis, 22 Agustus 2024 yang mencekam akibat tindakan represif aparat kepolisian. (dJatinangor/Claudio Pramana)
dJatinangor.com – Satu dekade berlalu, sebutan “anak haram” sangat melekat. Dulu, Raka digunjing sebagai “anak haram” bukan karena takdir kelahirannya, melainkan karena ketidakhadirannya di panggung politik ayahnya. “Saya dikatain anak haram karena enggak pernah ikut kampanye,” ujarnya, menantang keraguan publik. Sosok yang sibuk, katanya. “Kalian ke Solo, kalian lihat aktivitas saya kayak apa, saya orang sibuk punya pekerjaan.”
Namun, kini gelar itu bertransformasi. Anak haram konstitusi, begitu sebutan yang melekat di tahun ini. Ia lahir dari aturan yang cacat; kita semua tahu—seperti rahasia yang terus berbisik di antara lorong kekuasaan—bahwa tak ada lagi keselarasan dalam tindakan dan jabatan yang diemban penguasa.
Ketika dahulu menjabat sebagai wali kota, ia tak malu menampilkan dirinya yang memainkan sepeda anak kecil; ia tak malu menaruh segala potongan LEGO-nya di meja ruang kerjanya. Ketika dahulu mengadakan acara “Pojok Baca”, ia tak malu mengakui terang-terangan bahwa ia tak suka membaca. “Kalau saya sendiri sih jujur aja orangnya, apa ya, nggak suka baca,” ucapnya kepada Najwa Shihab, “sebenarnya budaya membaca buku di rumah saya nggak ada. Ya itu tadi pada baca komik, main PS.” Merendahkan diri seolah tak peduli pada norma intelektual. Bukti kekanak-kanakan itu semakin nyata dalam riwayat akademisnya, terpantul jelas dalam IPK-nya yang hanya 2,3—sebuah angka yang menggambarkan betapa main-mainnya ia di hadapan tanggung jawab.
SMA dua kali selama lima tahun seolah menjadi cerita fiksi. Riwayat pendidikannya memicu gelombang pertanyaan dan perdebatan sengit, menimbulkan keraguan publik atas integritasnya. Situasi ini semakin membara dengan skandalnya di Kaskus, platform yang menjadi saksi dari amarahnya yang tak terkendali dan caci maki yang terus mengalir—seperti anak kecil yang sedang tantrum.
Tak berhenti di sana, keluarganya pun terjebak dalam pertarungan saling jegal, penuh kontradiksi yang menggelikan. Ketika Raka bersikeras bahwa akun Fufufafa bukan miliknya, saudaranya (Panga) justru mengiyakan bahwa itu akun sang kakak. Lalu, di saat ayahnya, Joko, menyangkal cawe-cawe dalam penentuan kabinet Prabowo, Raka justru membocorkan bahwa memang ada beberapa masukan dari sang ayah. Mereka seolah-olah bermain tarik ulur yang penuh kontradiksi, menimbulkan kebingungan dan tawa di kalangan masyarakat yang menyaksikan.
Refly Harun dengan Tiga Alasannya “Mengapa Gibran Tak Pantas Dilantik”
Pakar hukum tata negara, Refly Harun, dengan tajam mengurai tiga alasan utama yang bisa menyebabkan Raka tidak bisa dilantik menjadi wakil presiden.
Pertama, perbuatan tercela. Hal ini sudah cetho welo-welo. Dia melakukan kebohongan publik dengan tidak mengakui bahwa akun Fufufafa miliknya. “Takon’o sing duwe akun, kok aku?” jawabnya pada jurnalis di Solo, Jawa Tengah. Kemudian, makiannya hingga ke masalah pribadi itu sangat tidak pantas, “Mohon maaf ya, homolah, kemudian enggak ada pasangan, dan lain sebagainya,” ujar Refly Harun dalam acara “Indonesia Lawyers Club” (ILC). Dengan demikian, hal-hal tersebut mengandung kualifikasi mengenai perbuatan tercela.
Kedua, kesehatan mental. “Beberapa hari yang lalu, saya mengundang beliau [Dokter Tifa] dan beliau mengucapkan empat hal mengenai Gibran. Ini yang perlu ditindaklanjuti, yaitu psikopat, yang kedua adalah skizofrenia, yang ketiga itu adalah addicted, yang keempat adalah obsessive compulsiveness. Empat ini dikategorikan sebagai penyakit kejiwaan,” ujar Refly Harun pada acara ILC.
Ketiga, ijazah SMA-nya yang tidak jelas. Beberapa hari ini muncul pemberitaan mengenai ijazah Gibran Rakabuming Raka yang dikatakan menyelesaikan SMA selama 5 tahun. Rakyat bingung. Ada yang menyebut dia pernah SMA di Solo (pernah, tetapi tidak pernah tamat juga). Kemudian, mengatakan dia pernah sekolah di Singapore. Kita tidak tahu apakah itu bisa disetarakan dengan SMA. Pernah juga sekolah persiapan di Melbourne.
Apakah itu kemudian setara SMA atau tidak, tetapi yang jelas ini pertanyaan bagi kita: “Apakah dia memenuhi syarat minimal memiliki ijazah SMA atau yang sederajat?’” jelas Refly Harun.
Tiga alasan ini membuat material—materi mengenai calon wakil presiden—yang sudah diputuskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 24 April 2024 menjadi bermasalah.
Kontroversi Raka dan Teladan Moh. Hatta
“99,9% akun Fufufafa di Kaskus itu adalah Gibran,” ungkap Roy Suryo, pakar telematika, dengan lugas.
Yang paling mencurigakan adalah tindakan tim Raka dalam menghapus jejak digitalnya, seperti sejumlah 2.100 unggahannya dihapus, identitasnya diubah, dan namanya diganti. Sayangnya, hal tersebut justru menjadi bukti baru bahwa hal yang disangka-sangka itu valid—karena malah ditutupi. Itulah yang disebut dengan novum.
“Gibran dengan penuh dinamikanya di masa menjelang dia dilantik, dan mengapa menjadi alasan kuat bahwa tidak layak untuk dilantik, gitu. Dengan adanya Fufufafa adalah sebagai bentuk malunya narasi-narasi yang dulu ketika Pemilu bahwa Gibran adalah harapan anak muda, representasi anak muda. Kami anak muda malu ketika representasi kami adalah Gibran,” ucap representasi anak muda sesungguhnya, Satria Naufal.
Berdasarkan dari buku Dasar-Dasar Ilmu Politik karya Prof. Miriam Budiardjo, Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden agar bisa lebih leluasa untuk mengkritisi Soekarno. Menurutnya, Soekarno sudah agak melenceng dari jabatannya di lembaga eksekutif, terlalu executive-heavy, yang mana itu cenderung otoritarian. Moh. Hatta menggenggam erat konsep “Trias Politika”. Namun, lagi-lagi, Soekarno kontra dengannya. Ia menyatakan bahwa bangsa Indonesia tidak menganut konsep yang sebab asalnya datang dari sumber-sumber liberalisme. Nyatanya, pembagian kekuasaan menjadi tiga itu semakin terkokohkan setelah reformasi—karena memang konsep itulah yang demokratis.
Begitulah kemenangan Moh. Hatta. Begitulah kapabilitas seorang wakil presiden seharusnya. Begitulah integritas seorang penguasa seharusnya.
Kabinet Zaken atau Kabinet Seken?
Sang pendiri kabinet zaken, atau mungkin juga bisa disebut kabinet seken karena 17 menteri lama yang kemudian masuk kembali, sedikitnya perlu ikut disorot karena beban di pundaknya yang kian berat.
Belum usai kasus Fufufafa, kini ia harus menghadapi kasus utang pajak oleh adiknya, Hashim Djojohadikusumo, sebesar Rp2,4 triliun—yang tentu menyeret namanya ke dalam pusaran kontroversi baru. Lebih lanjut, kita perlu ingat bahwa perusahaan milik Hashim ikut tender menambang pasir laut.
Nah, kita gak boleh berasumsi bahwa keikutsertaannya dalam penambangan pasir laut itu guna menutupi utang pajaknya. Gak mungkin begitu, kok. Kan ekspor pasir laut itu untuk kemaslahatan negeri, terlepas dari boleh atau tidaknya.
Tapi, mungkin inilah kenapa ada isu anggaran makan bergizi yang dipotong. Beliau visioner. Selain tanggungan IKN yang mengikis APBN, yang katanya akan dibangun tidak menggunakan APBN, ia juga harus membantu sang adik (lho?).
Namun, di antara segala kekacauan itu, terdapat dua hal yang patut diberi apresiasi—kita boleh memberinya tepuk tangan seperti di rapat perdana DPR “agar tidak hening”. Pertama, ia telah memajukan kesejahteraan hakim. Kedua, ia mulai ”membuka diri terhadap kritik tentang Fufufafa” yang ditunjukkan melalui pidatonya di acara Rapat Kerja Nasional.
Lantas, Apa yang Akan Terjadi Jika Raka Tidak Dilantik?
Pakar tata hukum negara, Refly Harun, mengemukakan—dalam kanal YouTube miliknya—bahwa, “Kalau Fufufafa tidak dilantik maka presiden terpilih Prabowo akan mengajukan dua calon untuk dipilih oleh MPR. Siapa orangnya? Ya terserah, ya, whoever.”
Penulis: Raffael Nadhef