Sejumlah massa aksi Tolak RUU Pilkada mengahadap Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat dari balik pagar pada Kamis, 22 Agustus 2024. (dJatinangor/Claudio Pramana)
dJatinangor.com – Joko, penguasa yang lahir dari “wong cilik”, kini duduk di kursi jati berukir megah, seolah setiap detil kayu itu memancarkan aura kekuasaan yang ia genggam dengan tangan penuh dosa. Di balik pintu kantornya yang sunyi, laci-laci kayu jati yang pernah ia ukir sendiri—dengan tangan yang dulu kasar oleh kerja keras—menyembunyikan rahasia-rahasia kelam yang bisa menghancurkan segala yang telah ia bangun. Manipulasi kekuasaan? Nepotisme? Gratifikasi? Semua tersembunyi di sana, seperti bom waktu yang hanya menunggu untuk meledak.
Satu tahun terakhir, Joko dan sekutunya mengangkangi aturan, menganyam tali dinasti dengan darah dan air mata. Jika semuanya terungkap, kerajaannya akan runtuh seketika, menghancurkan bukan hanya kekuasaan, melainkan juga martabat yang sudah susah payah ia pahat.
Dalam kegelapan malam, hanya ditemani deru napasnya sendiri, Joko merancang masa depan dengan penuh cemas. Raka, putra sulung yang ia harapkan dapat menjaga warisan dosa ini, disiapkan dengan ambisi menjadi wakil penguasa—anak yang harus menjaga agar laci rahasia itu tetap terkunci rapat. Sementara itu, Panga, putra bungsunya, disiapkan untuk menguasai daerah.
Warisan hitam yang disiapkan untuk membangun dinasti di atas puing-puing demokrasi.
Rintangan Ambisi di Jalan yang Terjal
Namun, Pasal 169 huruf q UU Pemilu 2017 berdiri seperti dinding tak terlihat, menciptakan batas yang seolah mustahil untuk dilewati, menetapkan syarat usia minimal 40 tahun bagi calon pemimpin. Raka, yang berusia 36 tahun, mendapati mimpinya runtuh sebelum sempat terbang. Jalan menuju kekuasaan yang diimpikan Joko untuk anaknya tampak terkunci rapat.
Di sinilah pamannya, seorang ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki kekuatan dan pengaruh besar, hadir bagai penyelamat dalam bayang-bayang gelap—walaupun harga yang harus dibayar sangat tinggi. Melalui tangannya yang menggerakkan aturan negara, ia menurunkan syarat usia dan memaksa undang-undang tunduk pada kepentingan dinasti. Tetapi, langkah nekat itu berakhir pahit; suara rakyat yang murka berteriak kencang, melahirkan kritik pedas yang mengoyak reputasinya hingga tak tersisa. Sang paman dipecat dengan hina, melemparkan dirinya ke jurang tanpa jabatan.
Sayangnya, setelah badai kritik yang menghujani, Raka tetap berhasil menaiki kursi kekuasaan sebagai wakil penguasa. Lantas, bagaimana dengan Panga?
Di tengah gemuruh kemurkaan itu, Narasi, sebuah media pers yang tak kenal takut, muncul seperti lentera di tengah kegelapan. Dengan julukan pers the watchdog, Narasi mulai menggali lebih dalam, merobek selubung kebusukan dan memaparkan ke publik kisah tersirat nepotisme yang mengakar. Unggahan “Peringatan Darurat” dari Narasi mengguncang negeri ini, membuka mata rakyat tentang dinasti yang menggerogoti demokrasi.
Penguasa Kalut Akibat Rakyat
Berhari-hari terpuruk dalam kesabaran, rakyat bangkit, meneriakkan tuntutan keadilan dengan suara yang menggema bagai gelombang di jalanan, menyapu setiap sudut kota. Di tengah lautan manusia yang terbakar oleh ketidakpuasan, Panga—yang selama ini menjadi bagian dari dinasti kekuasaan—menjadi salah satu target kemarahan rakyat. Hatinya diliputi ketakutan yang tak mampu disembunyikan. Ia tahu bahwa dirinya tak lagi aman di tanah yang selama ini dianggap miliknya. Terpaksa, ia melarikan diri dengan jet pribadi, menunda semua rencana besar yang disusun ayahnya.
Lalu, pada Kamis siang yang genting, Joko terjebak dalam kegelapan yang diciptakannya sendiri. Ia tak berani melangkah keluar untuk menepati janjinya menghadiri acara di luar istana, riuh gaduh suara massa semakin membesar. Tatapannya terfokus pada “laci” yang menyimpan semua rahasianya, dan ketakutan menggerogoti hatinya—sebuah ketakutan yang seolah berbicara bahwa kekuasaannya mungkin tak akan bertahan lebih lama.
Gagalnya Panga
Walaupun rakyat Indonesia sempat teperdaya oleh kemenangan Raka yang berhasil merebut kursi sebagai wakil penguasa, Narasi tidak menyerah. Semakin besar kekuasaan dinasti Joko, semakin besar pula tekad mereka untuk memastikan rencana Joko tidak akan berjalan dengan mulus. Dengan tanpa rasa takut, the watchdog menggali lebih dalam untuk menemukan setiap kebohongan yang bisa menghalangi langkah Panga menuju kekuasaan daerah. Dalam situasi yang memuncak, Narasi tanpa henti menyuarakan perlawanan lewat setiap artikel yang ditulisnya, menggugat ketidakadilan para penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Tulisannya berkobar bagaikan api yang menyulut kemarahan banyak orang, merambat di media sosial, membawa gelombang besar perlawanan.
Rakyat yang diliputi kemarahan memuncak, bersatu dalam gelombang demonstrasi yang menggetarkan pintu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan semangat tak tergoyahkan, mereka menuntut keadilan. Akhirnya kemenangan berpihak pada rakyat—rancangan UU Pilkada yang meresahkan itu batal, tunduk pada putusan MK. Harapan tumbuh, Panga tak lagi bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah, impiannya runtuh bersama kegagalannya.
Rakyat Bersatu
Seperti api kecil yang menyala di tengah badai, perlahan, tetapi pasti, rakyat mulai bersatu. Mereka yang dulu dianggap bodoh kini berdaya, berjuang bersama untuk demokrasi.
Tempo, media pers lain yang turut menggaungkan kejanggalan di negeri ini, meliput dan membuat kabar mengenai mahasiswa yang tidak puas dengan kemenangan kecil. Kegagalan Panga untuk menjadi calon kepala daerah hanyalah riak air di antara luasnya samudera. Dilansir dari Tempo, Minggu (1/9), BEM KM UGM tegaskan akan kawal proses turunnya Presiden Joko.
Para media pers menegaskan, dengan setiap kata yang mereka tulis, bahwa kekuasaan tak boleh lagi menjadi milik segelintir orang. Mereka yang selama ini hanya melihat dari balik layar, kini ikut turun ke jalan, membawa lentera harapan, membersamai langkah menuju masa depan yang lebih adil.
Penulis: Raffael Nadhef