Ilustrasi sebuah mesin fotokopi yang usang. (Ilustrasi/Canva)
Dalam sebuah hari yang sibuk, yang selalu sibuk, atau selalu diusahakan sibuk. Di dalam ruangan yang penuh dengan wangi kertas-kertas baru, juga terkadang wangi parfum Versace yang sekelebat muncul dari manusia yang berlalu lalang di hadapannya. Mesin foto copy itu selalu diam. Tidak kemana-mana maksudnya, selain hanya membuka mulutnya, menutup mulutnya, membaca teks-teks yang terkadang rumit dan terkadang tidak dengan jilatan cahayanya, mesin foto copy itu selalu ada di ujung sana. Patuh seperti seekor anjing yang mangkuk makanannya telah penuh.
Namun, itu bukan berarti ia tidak pernah merasa jenuh. Bayangkan, senyala sepuluh tahun hidupnya, semenjak ekor tembaganya pertama kali mengecap sengatan listrik yang menghidupkannya, mesin fotokopi itu selalu terdiam di sudut ruangan. Meskipun sebenarnya ia pernah dipindahkan 3 kali keruangan yang berbeda. Namun tetap saja, ia selalu ditempatkan di pojokan. Setara dengan pot tumbuhan sintetis yang berada di sebelahnya.
Namun, kejenuhannya itu bukan suatu masalah baginya. Ingat, ia sudah menyala selama sepuluh tahun, sepuluh! Tentu telah banyak teks yang ia baca dan ia jilat dengan cahayanya, dan tentulah dengan tingkat literasi tingginya itu, ia telah nyaris mencapai tingkatan sufi. Ia ingat, dalam sebuah teks yang tidak terlalu rumit, ia pernah membaca sebuah kalimat yang berbunyi “Diam itu emas”, dan mesin itu, selama sepuluh tahun nyalanya, ia hanya diam, tak beranjak kemana mana, hanya membuka dan menutup mulutnya, membaca dan menjilati teks-teks dengan cahayanya, dan dengan itu, Ia menganggap bahwa diamnya selama ini adalah sebuah tambang emas yang berharga.
Lagi pula selama ia menyala sebagai sebuah mesin fotokopi, nyalanya tak pernah ia anggap sebagai suatu hal yang membosankan. Ia cukup senang dengan rutinitas hariannya. Membuka mulutnya, menutup mulutnya dan menjilati teks-teks dengan cahayanya. Ia merasa selalu mendapatkan pengetahuan baru dari sana. Ia jadi mengerti hal-hal yang berbau administrasi karena teks-teks dengan tema itu lah yang paling sering dijilatinya.
Namun, bukan tema itu yang menjadi favoritnya, karena ada sebuah tema yang benar-benar ia sukai, yang benar-benar membuatnya sebagai sebuah mesin fotokopi, memiliki kebanggaan. Tema itu sebenarnya nyaris sama dengan tema administrasi yang sering ia jilati. Tetapi, tema ini memiliki tulisan kecil yang di block tebal diatasnya, yang membedakan tema ini dengan tema administrasi lainya. Tulisan kecil nan tegas itu bertulis “Rahasia Negara” ya rahasia, ditambah negara.
Mesin fotokopi itu merasa bahwa dapat membaca hal semacam ini adalah sebuah kebanggan baginya, bagi sebuah mesin fotokopi. Karena mesin fotokopi lainya atau bahkan manusia dengan seluruh jumlah populasinya itu, belum tentu dapat membacanya. Dan dengan hal itu pula, ia dapat menyadari bahwa selama ini ia berada di dalam sebuah gedung pemerintahan negara. Sebuah wilayah yang tidak dapat diakses oleh sembarangan mesin, maupun manusia. Setidaknya itu yang ia ketahui mengenai gedung pemerintahan negara dari teks-teks yang ia jilati dengan cahaya.
Hal itu pun menjawab pertanyaan yang dulu pernah ada di benaknya mengenai siapa orang-orang yang selalu berpakaian rapi nan wangi yang selalu aktif berlalu lalang di hadapannya, yang selalu membuka dan menutup mulutnya. Mereka adalah orang-orang pemerintahan. Berarti secara tidak langsung ia pun begitu. Sebuah mesin fotokopi pemerintahan. Sebuah kebanggan. Sebuah kesempatan yang belum tentu bisa didapatkan oleh mesin fotokopi lainya.
Dalam beberapa tahun mudanya, sama seperti mesin muda lainya, ia tenggelam dalam kebanggaan itu. Namun saat ini, mesin fotokopi itu sudah nyaris mencapai tingkatan sufi. Nyaris sekali. Ia sudah bangga, bangga yang cukup, dan sudah bahagia. Hanya tinggal tenang, hanya tinggal tenang untuk mencapai tahap sufi yang banyak didambakan oleh mesin maupun manusia.
Namun sial, sayang, ketenangan yang ia perlukan untuk mencapai tahap sufinya itu harus terganggu dengan suara-suara gerudukan di atap-atap. Suara gerudukan yang tak bisa ia abaikan. Itu sangat mengganggunya. Secara, ia hanya diam, tentu indra pendengarannya menjadi tajam. Dan di malam, suara itu semakin keras merejam. Mengganggu mesin fotokopi pemerintahan itu untuk terpejam. Dan mesin fotokopi itu, seperti biasanya, hanya bisa berdiam. Terbayang seberapa sakitnya.
Suara-suara itu semakin hari semakin tak teredam. Ia bingung, “sebenarnya ada apa ini. Apakah diluar sana terjadi demonstrasi besar-besaran? Tapi kepada siapa?” Ini malam hari, semua pegawai pemerintahan telah pulang, mungkin kecuali dirinya. Ia pun sempat berpikir, “apa aku yang menjadi target demonstrasi ini? Tapi selama ini aku hanya diam, dan diam itu emas.” Jadi pikiran itu segera menghilang dari kepalanya dan berlanjut ke spekulasi berikutnya.
“Mungkin ini hantu, ya itu paling mungkin”.
Dan dalam beberapa bulan belakangan ini, mesin fotokopi itu mencoba mengabaikan suara-suara itu dengan anggapan “hantu-hantu” ini tak akan mengganggu, toh ia hanya diam. Namun, pada suatu malam, terjadi sebuah hal yang mengejutkan. Di saat mesin fotokopi itu sudah mulai berdamai dengan keadaan, tiba-tiba dari ekor tembaganya itu, terasa ada sesuatu yang merayap. Ia untuk pertama kalinya terperanjat serentak mengucap “ampun hantu!!” peranjatannya yang pertama kali itu hampir membuat pot tanaman sintetis yang ada di sebelahnya terjatuh.
Dan setelahnya muncul sebuah suara dari apa yang merayap di ekor tembaganya, “cit-cit, apa nya yang hantu bodoh, aku hanya tikus,salah satu tikus dari gerombolan tikus yang menempati gedung ini, cit-cit”, mesin fotokopi itu tak menyangka bahwa apa yang ada di ekor tembaga adalah seekor tikus, sebuah sosok yang lebih menyeramkan daripada hantu baginya, atau bagi setiap alat elektronik lainnya.
Namun, mesin fotocopy yang nyaris mencapai sufi itu, karena ia sudah berada di tahap nyaris sufi, akhirnya dapat menenangkan diri dan mencoba bertanya kepada tikus yang merupakan salah satu tikus dari segerombolan tikus di gedung ini.
“tikus dari salah satu gerombolan tikus, kenapa kamu bisa berada dan menganggap kamu tinggal disini? Gedung ini gedung pemerintahan, dan penyediaan obat anti hama sudah banyak tertera di dokumen Rancangan Anggaran Pemasukan dan Belanja Negara dalam dokumen Rahasia itu?”
“Cit-cit obat anti hama? Kau harus lebih teliti lagi dalam membaca, tak ada kejelasan bahwa hama itu tikus!”
“kau cuma ada di pojokan ruangan ini, dan tak pernah melihat keluar. Obat hama itu ada, benar adanya. Namun, obat hama itu digunakan untuk membasmi bunga-bunga liar yang tumbuh di tembok bagian luar gedung ini, dasar benda tak punya kaki! Bodoh!” mesin fotokopi itu menimpalinya balik, tetapi itu tak penting, dalam dialog ini hanya bagian tikus yang penting. Karena tikus selalu membuat ucapannya terasa penting.
“lagi pula dalam Rancangan Anggaran Pemasukan dan Belanja Negara itu, juga ada pengadaan biota laut bukan? Biota laut itu ikan asin…!, untuk kami…!”
“manusia setiap malam selalu menaruhnya di meja ruangan sebelah, kamu tidak tahu kan, dasar tak berkaki! Bodoh!”
“dan malam ini kami diperintahkan untuk menyudahi mu, dengan imbalan ikan asin itu”
“kau sebagai benda tak berkaki, sudah terlalu banyak membaca dan mengecap liur cahayamu pada banyak dokumen rahasia. Malam ini adalah akhir mu.”
Tikus dari salah satu gerombolan tikus itu mulai menggerogoti ekor tembaga mesin fotokopi itu, dan mesin fotokopi itu, seperti biasa, hanya berdiam, tetapi kali ini pikirannya yang terperanjat kemana-mana. Ia merasa bodoh, sufinya hilang, bingung. Mesin Fotokopi itu tak tau harus merasa bagaimana.
Pada keesokan harinya terbit Rancangan Anggaran Pemasukan dan Belanja Negara yang baru, dan di dalamnya terdapat keperluan mesin fotokopi baru.
Penulis: Reihan Cahya (Kontributor)