Setelah atensi terhadap wabah covid-19 menurun, bayang-bayang zoonosis tetap menghantui dunia. Domestikasi satwa liar yang marak dilakukan, seakan memperbesar peluang lahirnya zoonosis tipe baru. Lantas, bagaimana dengan Kota Bandung? Mampukah ia terlepas dari deraan bayang-bayang ini?
dJatinangor.com – Dua tahun berselang pasca menyeruaknya Covid-19, dunia kembali digegerkan dengan pecahnya wabah Monkeypox atau cacar monyet yang turut menghantui dunia. Meskipun cacar monyet bukanlah penyakit baru, dan dalam sejarahnya telah ditemukan sejak tahun 1958, pada tahun 2022 ini cacar monyet kembali mencatatkan diri sebagai sebuah tahun yang bersejarah.
Pasalnya, untuk pertama kalinya cacar monyet menyerbak dengan skala yang besar ke lebih dari 100 negara di dunia, mulai dari Eropa, Amerika Utara dan Selatan, hingga Asia.
Melansir dari website resmi Our World In Data, tercatat sejak 1 Mei 2022 hingga 16 September 2024, terdapat 107,363 kasus cacar monyet terkonfirmasi di seluruh dunia, dengan 88 diantaranya berasal dari Indonesia.
Data konfirmasi sebaran cacar monyet di dunia dan Indonesia. (Diunduh di laman ourworldindata.org)
Meskipun jumlah kasus Mpox di Indonesia tidak sebanding dengan negara-negara lain, ancaman dari penyakit tipe zoonosis tak dapat diabaikan. Beragam jenis zoonosis sebelumnya, seperti COVID-19, telah mengingatkan dunia akan betapa cepat dan mematikannya penyakit ini. Lantas, apa sih sebenarnya Zoonosis itu?
Memahami lebih dalam makna Zoonosis
Gambar: Ilustrasi virus zoonosis. (Diunduh dari laman: Pexels/CDC)
Mengutip pernyataan drh. Dwi Wahyudha Wira, M.Si, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Zoonosis dapat didefinisikan sebagai penyakit yang penularannya berasal dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Penyakit-penyakit tersebut disebabkan oleh mikroorganisme dan prion.
“Ya, penyakit-penyakit itu kan bisa disebabkan oleh mikroorganisme dan bisa disebabkan oleh prion juga. Dan mikroorganisme itu bisa bakteri, bisa virus, bisa parasit, baik itu endoparasit, ektoparasit, dan satu lagi itu bisa juga protein yang kita sebut dengan prion.” Ungkap Wira.
Dalam pernyataannya, Wira juga menerangkan bahwa mikroorganisme dan prion menginfeksi manusia dan hewan melalui dua jalan. Pertama, melalui luka terbuka yang terdapat pada tubuh manusia dan hewan. Dan kedua, melalui rongga-rongga yang terdapat pada manusia dan hewan, seperti hidung, telinga, mulut, bahkan kulit atau rongga pori-pori.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bahwa secara global, telah terjadi miliaran kasus penyakit dan jutaan kematian setiap tahunnya akibat zoonosis. Dari jenis penyakit menular yang dilaporkan, 60% diantaranya merupakan jenis zoonosis dan 75%-nya bersumber dari hewan. Penyakit-penyakit ini termasuk rabies, ebola, SARS, leptospirosis, COVID-19, dan yang terbaru, cacar monyet.
Lebih lanjut, WHO menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tiga kelas peredaran zoonosis di dunia. Kelas pertama adalah endemi, ditandai dengan penyakit zoonosis yang muncul dan menjadi karakteristik daerah tertentu.
Setelah peredarannya semakin merebak, kelas zoonosis berubah menjadi epidemi. Epidemi terjadi ketika suatu penyakit telah menjalar hingga satu negara. Ketika penyakit jenis zoonosis ini telah menyebar hingga lintas negara dan terjadi serentak di mana-mana, maka status kelasnya dinamakan pandemi.
Pandemi seringkali terjadi setelah kemunculan jenis zoonosis tipe baru. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kemunculan ini, salah satunya adalah adanya domestikasi satwa liar. Apa sebenarnya domestikasi satwa liar ini, dan apa saja faktor lain pemicu kemunculan zoonosis tipe baru?
Faktor Lingkungan, Budaya, Hingga Domestikasi Satwa Liar
Anak monyet ekor panjang yang dijual di Pasar Sukahaji (Doc. Penulis)
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut bahwa kemunculan penyakit zoonosis sebagian besar didorong faktor lingkungan. Adanya interaksi yang terjadi antara manusia dan ekosistem alam melalui penebangan pohon, alih fungsi lahan hutan untuk pertanian, infrastruktur, dan pemukiman menjadi sebuah persoalan besar kemunculan zoonosis ini.
Di Indonesia sendiri, deforestasi atau kerusakan hutan seakan menjadi polemik yang berkepanjangan. Menurut data yang termuat dalam World Resources Institute (WRI), pada tahun 2023 saja Indonesia menempati peringkat keempat dunia yang kehilangan hutan primernya.
Lebih lanjut, BRIN juga menyebut bahwa kerusakan hutan yang terjadi akan membuat ekosistem satwa liar terganggu dan membuat kontak antara manusia dan satwa liar meningkat. Selain itu, adanya intervensi manusia melalui perburuan juga turut memperbesar kemungkinan kontak ini terjadi.
Dalam hal ini, drh. Dwi Wahyudha Wira, M.Si, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, turut menyampaikan pandangannya. Wira menerangkan bahwa pada dasarnya, kita belum mengetahui bagaimana kehidupan satwa liar di alamnya sebelum adanya intervensi dari manusia.
“Intervensi yang dilakukan ini akan menjembatani penyebaran zoonosis di kehidupan manusia, nah terlebih ketika terjadi proses domestikasi terhadap satwa liar yang diburu.” tegas Wira.
Mengutip dari KBBI, domestikasi didefinisikan sebagai penjinakan hewan liar atau hewan buas. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk merubah kebiasaan, fisik, genetik dan kehidupan satwa sehingga mereka dapat beradaptasi dengan kehidupan manusia.
Menurut Wira, penyakit-penyakit yang dibawa dari hewan belum tentu aman bagi manusia. Seringkali penyakit atau virus ini tidak memiliki pengaruh terhadap hewan, namun sangat membahayakan bagi manusia.
Budaya dan kearifan lokal seakan menambah deretan masalah yang memperkuat peluang zoonosis ini muncul. Budaya makan ‘daging unik’ di masyarakat Minahasa Sulawesi Utara, semisal. Mereka terbiasa mengonsumsi daging yang berasal dari hewan liar. Ular piton, tikus ekor putih, hingga kelelawar, menjadi deretan hewan liar yang biasa mereka konsumsi.
Selain itu, eksploitasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) melalui budaya pertunjukan topeng monyet menjadi bagian tak terpisahkan dari penyebaran penyakit zoonosis. Topeng monyet merupakan bentuk domestikasi yang dilakukan oleh manusia sebagai sebuah sarana hiburan.
Wira menuturkan, monyet ekor panjang berpotensi menjadi sumber persebaran zoonosis jenis anjing gila, atau yang lebih dikenal sebagai rabies (Lyssavirus). Mobilisasi pertunjukan topeng monyet dari satu tempat ke tempat lain, disinyalir menjadi potensi besar penyebaran penyakit zoonosis. Terlebih, jika monyet ekor panjang yang menjadi aktor topeng monyet terjangkit virus rabies.
Lalu, bagaimana dengan Kota Bandung? Apakah faktor-faktor penyebaran zoonosis ini marak terjadi?
Nadi Zoonosis di Kota Bandung
Dibalik pesona Kota Kembang yang memikat, Kota Bandung masih terjebak dalam deraan bayang-bayang penyakit zoonosis. Terhitung, sejak 2019 hingga September 2024, flu burung hadir dengan gelombang yang fluktuatif (naik-turun), menciptakan riak di tengah indahnya lanskap kota.
Grafik dan kolom Sebaran penyakit zoonosis di Kota Bandung, tahun 2019 – September 2024. Data ini merupakan rekapitulasi dari laporan 74 puskesmas yang tersebar di 30 kecamatan Kota Bandung yang terkoneksi website SIKDA milik Dinas Kesehatan Kota Bandung. Penyakit dilaporkan oleh nakes melalui kode penyakit bernama ICD10. Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bandung.
Pada tahun 2021 misal, kasus flu burung menyentuh angka 962 kasus, turun sebanyak 16,85% dari tahun sebelumnya. Namun angka ini naik hampir tiga kali lipat pada tahun berikutnya menjadi 2.726 kasus. Angka tersebut terus meningkat sebanyak 26,05% menjadi 3.436 kasus pada tahun 2023.
Angka Covid-19 memang menunjukan penurunan, namun kasus Gigitan Hewan Penular Rabies atau GHPR yang dilaporkan justru cenderung meningkat. GHPR menjadi salah satu jenis zoonosis yang diperhatikan Dinas Kesehatan Kota Bandung akhir-akhir ini.
Namun, perlu digaris bawahi, meskipun seringkali terjadi kasus GHPR di Kota Bandung, untungnya, tidak ada satupun kasus yang dinyatakan positif rabies. Hal ini disampaikan langsung oleh dr. Ira Dewi Jani, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Bandung.
“Kalau daerah Bandung mah bukan daerah endemis, jadi kalau gigitan GHPR ada, tapi alhamdulillah nyampe sekarang, ga ada yang rabies.” tegas Ira.
Meskipun begitu, banyaknya kasus GHPR yang dilaporkan justru memperkuat peluang rabies yang sesungguhnya terjadi.
Ira menuturkan, bahwa kasus GHPR yang seringkali terjadi di Kota Bandung disebabkan oleh gigitan hewan yang dekat dengan masyarakat, seperti kucing, anjing, dan tak jarang pula monyet ekor panjang. Dalam kasus monyet ekor panjang, interaksi biasanya kerap kali terjadi melalui pertunjukan “Topeng Monyet” yang masih ditemukan di beberapa sudut Kota Bandung.
Selain kasus GHPR, terdapat pula jenis zoonosis lainnya yang kerap kali meneror warga Kota Bandung, seperti antraks dan leptospirosis.
Sekilas mengenai lepto, leptospirosis merupakan jenis zoonosis yang disebabkan oleh bakteri bernama leptospira, yang dapat menyerang baik hewan maupun manusia. Ketika cakupan penyakitnya luas, kemenkes dalam websitenya menyebut leptospirosis dapat berpotensi menyebabkan kematian.
Dalam kesempatan yang sama, Ira menjelaskan bahwa leptospirosis disebabkan oleh air yang terkontaminasi urine dari hewan yang terinfeksi. Biasanya, hewan yang sering terinfeksi bakteri penyakit ini dan menularkannya ke manusia adalah hewan pengerat, seperti tikus.
Tercatat dalam laman World Health Organization (WHO), terdapat 920 kasus leptospirosis yang ditemukan di Indonesia pada tahun 2019, dimana 122 diantaranya berujung pada kematian. Kasus-kasus tersebut bersumber dari sembilan provinsi, dimana salah satu diantaranya ialah Provinsi Jawa Barat.
Dalam menangani potensi zoonosis ini, Kota Bandung sendiri memiliki peraturan khusus yakni Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Sistem Kesehatan Daerah. Beberapa pasal didalamnya mengatur tentang pelayanan dan pengendalian penyakit, termasuk penyakit zoonosis seperti pada Pasal 29 Ayat 2.
Sedangkan dalam pelaksanaannya, Ira menyampaikan bahwa Dinas Kesehatan Kota Bandung telah memanfaatkan aplikasi Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan. Adanya SKDR ini memungkinkan nakes terutama Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) untuk mendata kasus zoonosis yang terkonfirmasi.
“Jadi kalau DPJP menemukan kasus zoonosis, kurang dari satu kali dua puluh empat jam itu dia harus lapor ke dinas melalui survey-learnnya rumah sakit.” Jelas Ira.
Ketika kasus zoonosis yang terkonfirmasi meningkat, Ira menjelaskan pihak Dinas Kesehatan akan menyebarkan surat edaran. Surat edaran ini ditujukan kepada nakes, puskesmas, rumah sakit, serta aparat kewilayahan.
Untuk memastikan zoonosis terkendali di Kota Bandung, pihak Dinas Kesehatan juga akan memastikan manajemen program terlaksana dengan baik. Diantaranya memastikan Sumber Daya manusia (SDM) atau nakes yang bertugas di puskesmas maupun rumah sakit, terlatih untuk menangani kasus-kasus zoonosis.
Selain itu, Ira mengungkap bahwa Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dan obat-obatan turut disiapkan sesuai dengan kasus yang banyak terjadi di masyarakat. Sebelum pengadaan obat-obatan ini, Dinas Kesehatan melakukan upaya forecasting dari beberapa temuan yang dimiliki. Hingga akhirnya, obat-obatan yang disediakan sesuai dengan kebutuhan.
Terakhir, Ira juga menuturkan pentingnya kolaborasi antar nakes. Fakta di lapangan yang kompleks dan banyaknya pilihan bagi masyarakat dalam memilih tempat berobat, membuat komunikasi antar faskes dibutuhkan. Komunikasi ini dibutuhkan untuk mengkoordinir data pasien yang terkonfirmasi agar data dapat terhimpun dengan baik, guna memaksimalkan pelayanan dan pencegahan penyakit zoonosis.
Dinas Kesehatan Kota Bandung telah bekerja sama dengan puskesmas maupun rumah sakit dalam mensosialisasikan potensi zoonosis ini. Kendati demikian, kesadaran masyarakat belum sepenuhnya terwujud. Perdagangan satwa liar di Kota Bandung masih terus dilakukan.
Menelusuri Jejak Perdagangan Satwa Liar Di Kota Bandung
Untuk memperkaya khasanah pengetahuan mengenai persebaran zoonosis di Kota Bandung, tim kami berhasil menelusuri salah satu lokasi yang dikenal sebagai pusat jual beli satwa liar di Kota Bandung, yaitu Pasar Sukahaji.
Pasar Sukahaji terkenal sebagai pusat perdagangan satwa liar yang memperjualbelikan beragam jenis hewan, seperti jenis-jenis burung, reptil, hingga mamalia. Meskipun menjadi pusat perdagangan, kondisi pasar tersebut dapat terbilang cukup memprihatinkan.
Potret Pasar Sukahaji dari pinggir jalan (Doc. Penulis)
Begitu memasuki area pasar, kami disuguhkan dengan bau menyengat dari campuran antara kotoran hewan dan sisa makanan/pakan hewan yang membusuk. Kandang-kandang sempit yang terbuat dari kawat dan kayu berjejer tanpa jarak yang memadai. Kondisi ini diperburuk dengan lantai yang berlumpur karena minimnya sistem drainase di tempat ini.
Tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan Pasar Sukahaji selain “kumuh”.
Dalam kesempatan ini, kami berhasil mewawancarai salah satu pedagang monyet ekor panjang. Sebut saja Edi (nama samaran). Pria paruh baya ini mengaku telah berjualan sejak tahun 1975 di Pasar Sukahaji. Beliau mengaku, monyet-monyet yang dirinya perdagangkan terkadang berasal dari pedagang asal Semarang. Dirinya menjual berbagai macam hewan liar, mulai dari burung beo, iguana, sugar glider, hingga ular dan anak buaya.
Ketika ditanya mengenai zoonosis, Edi mengaku bahwa dirinya tak asing dengan kata tersebut. Ia menjawab, bahwa zoonosis ini telah ia ketahui dari penyuluhan nakes puskesmas setempat. Namun sayangnya, ia mengaku tidak percaya akan adanya penyakit yang ditularkan dari hewan, bahkan menghiraukan hal tersebut.
“Kalau hewan sakit, biasanya saya kasih bodrex atau obat manusia lainnya. Yang penting hewan cepat sembuh,” ujar Edi dengan santai.
Cara penanganan yang tidak sesuai ini tentu beresiko memperburuk kondisi kesehatan hewan dan meningkatkan peluang penyebaran penyakit zoonosis. Namun untungnya, mengutip pernyataan Edi dan juga nakes Puskesmas Citarip sebagai puskesmas terdekat, kami menemukan fakta bahwa terkadang diadakan pengecekan kesehatan dan vaksinasi gratis untuk hewan di Pasar Sukahaji.
Mengutip pernyataan Tati Susilowati, S.Km., Kesehatan Lingkungan Puskesmas Citarip menjelaskan bahwa pihak puskesmas telah melakukan pengecekan kesehatan dan edukasi sebanyak satu hingga dua kali dalam setahun. Program ini diberi nama “Screening Kesehatan Penyakit Tidak Menular” yang dilakukan bersama dengan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP). Dalam hal ini, DKPP bertugas melakukan vaksinasi terhadap hewan-hewan yang diperdagangkan.
Satu tahun sekali proses screening kesehatan ini rasanya tidak cukup jika dibandingkan dengan lalu lintas satwa yang terjadi setiap harinya. Terlebih hewan yang diperdagangkan belum tentu sesuai dengan aturan atau regulasi yang berlaku. Lantas, apa saja regulasi yang semestinya dijalani oleh para pedagang di Pasar Sukahaji?
Regulasi Perdagangan Satwa Liar
Berbicara tentang Pasar Sukahaji, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat mengaku pihaknya sesungguhnya pernah mendatangi pasar tersebut untuk melakukan pendataan. Namun sayangnya, usaha tersebut gagal dilakukan, setelah adanya kebocoran informasi saat menjalankan operasi.
Hal tersebut disebabkan oleh jaringan perdagangan yang kuat dan telah terbentuk selama bertahun-tahun lamanya.
Selain itu, isu pemalsuan sertifikat juga marak terjadi dalam proses penjualan satwa liar. Pemalsuan ini dilakukan oleh para oknum pedagang ilegal agar satwa yang mereka jual seakan terlindungi secara hukum.
Salah satu pedagang di Pasar sukahaji sedang memikul sangkar burung. (Dok. Penulis)
Menurut Agung Ferdiansyah, S.H., M.H., selaku Pokja Perlindungan, Pengawetan, Pemanfaatan dan Pelayanan TSL BBKSDA Jawa Barat, meskipun penjualan satwa liar secara umum dilarang, namun BBKSDA memberikan pengecualian untuk satwa liar yang berasal dari penangkalan resmi. Agung bertutur, BBKSDA sesungguhnya mengizinkan perdagangan satwa liar, asalkan hewan tersebut harus berasal dari generasi F2 dan F3 dalam penangkaran.
Label F2 dan F3 sendiri menunjukan bahwa hewan tersebut merupakan anak dan cucu dari satwa liar yang awalnya ditangkap dan dijinakkan. Satwa generasi F2 dan F3 ini dianggap sudah cukup jauh dari asal liar mereka, sehingga lebih aman untuk diperjualbelikan.
Meskipun demikian, satwa tersebut harus memiliki sertifikat resmi yang dikeluarkan oleh BBKSDA, untuk memverifikasi bahwa hewan tersebut berasal dari penangkaran. Selain itu, Agung mengungkap, hewan tersebut harus memiliki tanda pengenal, seperti tagging atau cincin. Satwa yang telah melalui langkah-langkah tersebut dianggap aman untuk diperjualbelikan.
BBKSDA juga mengawasi distribusi satwa liar dari penangkaran. Siapapun yang berencana mendistribusikan hewan ke luar daerah, memerlukan Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN), atau Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN) untuk melakukan hal tersebut.
Perdagangan satwa liar ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU ini merupakan revisi dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1990.
Pihak BBKSDA menjelaskan, pidana yang termaktub dalam UU tersebut tidak hanya berlaku untuk mereka yang memperdagangkan satwa liar dalam kondisi hidup. Namun juga berlaku bagi mereka yang menjualnya dalam kondisi mati, seperti dalam bentuk daging, tanduk, dan kulit.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2024 ini, pemerintah memberlakukan tindak pidana berupa penahanan dengan durasi penjara minimal 3 tahun, dan maksimal 20 tahun penjara. Selain itu, pelaku juga dikenakan denda yang berkisar antara 100 juta hingga 50 miliar rupiah.
Sumber: Infografis olahan penulis
Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis oleh DKPP
Melalui kerjasama pentahelix antara puskesmas, Dinkes, DKPP, dan BBKSDA serta masyarakat setempat, berbagai langkah pencegahan dan pengendalian zoonosis di Kota Bandung telah dilakukan. Langkah kolaboratif ini kemudian dikenal dengan istilah “One Health”.
Mengutip dari situs resmi USAID, One Health merupakan pendekatan kolaboratif, multisektoral, dan transdisipliner yang bekerja di tingkat lokal, regional, nasional, dan global—dengan tujuan mencapai hasil yang mengakui keterkaitan antara manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan bersama mereka. Di tingkat lokal, jenis program yang dijalankan oleh DKPP menjadi salah satu implementasi nyata dari pendekatan ini.
Menurut drh. Buhori Muslim, dokter hewan yang bekerja dibawah DKPP, DKPP memfokuskan diri terhadap lalu lintas hewan, serta program vaksinasi untuk mencegah penyebaran penyakit zoonosis, seperti rabies, flu burung, antraks, dan leptospirosis.
Pengawasan lalu lintas hewan ini dilakukan secara ketat menggunakan sebuah tools bernama “Wasilah” (Pengawasan Lalu Lintas Hewan). Wasilah ini ada untuk memastikan bahwa hewan yang masuk dan keluar dari Kota Bandung merupakan hewan yang sehat.
Selain pengawasan, DKPP juga menjalankan beberapa program. Mulai dari “Laman Hati” (Layanan Manajemen Kesehatan Hewan Terintegrasi), yang terdiri dari berbagai inisiatif, seperti pendatan, vaksinasi, pengobatan, hingga pengawasan kesehatan hewan. Salah satu inisiatif utama dalam program tersebut ialah program “Vasihan” (Vaksinasi Hewan Kesayangan).
“Vasihan ini biasanya kita lakukan kerjasama dengan kewilayahan. Kita mengkomunikasikan bahwa kita punya program Vasihan, kemudian kita melakukan vaksinasi. Biasanya dalam bentuk vaksinasi rabies massal,” terang Buhori.
Tak kalah penting, DKPP juga meluncurkan program “Kopi Cinta” (Kontrol Populasi Kucing Terindikasi Liar). Buhori menjelaskan, program ini bertujuan untuk mengendalikan populasi kucing liar yang semakin tinggi di Kota Bandung.
Terakhir, selaras dengan pernyataan Puskesmas Citarip, DKPP sering kali melakukan sosialisasi di pasar-pasar hewan seperti Pasar Sukahaji, bekerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga kesehatan lainnya.
“Kita juga beberapa kali melakukan kolaborasi dengan Unpad dan YARI (Yayasan Animal Rescue Indonesia), untuk sosialisasi ke Pasar Burung Sukahaji,” Tandas Buchori.
Apa Yang Bisa Kita Lakukan
Lantas, apa sih yang dapat kita lakukan untuk menghindari penyebaran zoonosis? Menurut Dosen Fakultas Kedokteran, drh. Dwi Wahyudha Wira. M.Si., terdapat tiga hal utama yang dapat kita lakukan guna menghindar dari serangan Zoonosis.
Pertama, Wira menyarankan kita untuk sebisa mungkin menghindari interaksi dengan hewan, terutama satwa liar. Dengan meminimalisir interaksi ini, kita memperkecil kesempatan bagi virus dan bakteri penyebab penyakit zoonosis, untuk memasuki tubuh kita.
Kedua, penting bagi kita untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan sistem imun. Wira mengungkap, zoonosis dapat lebih mudah menular ketika sistem kekebalan tubuh kita lemah. Oleh karena itu, menjaga imunitas tubuh dengan pola hidup yang sehat sangat penting guna mengurangi risiko terjangkit zoonosis.
Terakhir, Wira menyarankan kita untuk menjaga kebersihan di lingkungan sekitar. Dengan demikian, setidaknya meskipun terdapat orang yang memelihara satwa liar di sekitar kita, kita dapat mengurangi resiko penularan penyakit zoonosis tersebut.
Sumber: Infografis olahan penulis
Mencintai tidak harus memiliki. Kalau kita cinta dengan hewan tersebut, maka biarkanlah mereka hidup di alamnya. -drh. Dwi Wahyudha Wira
Penulis: Egia Azhari SItepu, Nugraha (Kontributor), Akbar Maulana Prasetiya (Kontributor)