Aksi Tolak RUU Pilkada di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat pada Kamis, 22 Agustus 2024 berujung kericuhan yang mencekam akibat tindakan represif aparat kepolisian. (dJatinangor/Claudio Pramana)
dJatinangor.com – “Agak laen kau, agak laen bapakmu, agak laen kau sekeluarga!” begitulah teriakan massa aksi yang dipimpin para komika, menyerukan potongan lagu “Agak Laen”. Lagu tersebut menjadi representasi sindiran atas Presiden Jokowi yang tengah membangun dinasti politik untuk keluarganya.
Berbagai elemen masyarakat turun ke jalan untuk menggelar Aksi Tolak Revisi Undang-undang (RUU) Pilkada 2024 pada Kamis (22/8) di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Aksi ini menyusul viralnya unggahan ‘Peringatan Darurat’ di media sosial usai Badan Legislasi DPR RI menganulir putusan Mahkamah Konstitusi terkait RUU Pilkada.
Catatan Momen Aksi Peringatan Darurat
Sejak kedatangan pertama tim dJatinangor, sekitar pukul 10.00 WIB, pemandangan pertama kali yang ditemukan adalah massa aksi dari kelompok buruh dan berbagai komunitas sipil telah memadati area Jalan Gatot Subroto, di depan gerbang utama Gedung DPR RI.
Massa aksi pagi hari didominasi oleh aliansi buruh dan dipimpin langsung oleh komando Partai Buruh. Terdapat beberapa mahasiswa, tetapi jumlahnya belum masif.
Sekitar pukul 11.00 WIB, komika-komika ternama Indonesia yang tergabung dalam komunitas Stand Up Indo mengambil alih mikrofon di atas mobil komando. Para komika bergiliran melakukan orasi dan membakar semangat massa aksi, mulai dari Mamat Alkatiri, Arie Kriting, Bintang Emon, Abdel Fachrian, dan masih banyak lagi.
Orasi para komika ditutup dengan menyanyikan lagu “Agak Laen” sebagai sarana untuk menyindir keluarga Presiden Jokowi yang tengah membangun dinasti politik.
Berbagai selebritas Tanah Air juga terpantau ikut menghadiri Aksi Peringatan Darurat, mulai dari Reza Rahadian, Andovi Da Lopez, hingga Baskara Putra alias Hindia.
Ketiganya menyampaikan beberapa pesan kepada publik. Isi pesannya kurang lebih sama, mengajak masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa yang semena-mena menghancurkan demokrasi.
Ketegangan Bermula
Sekitar pukul 12.13 WIB, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman yang merupakan kader Partai Gerindra keluar dari Gedung DPR RI dengan pengawalan ketat oleh aparat kepolisian.
Habiburokhman berupaya menghampiri dan berkomunikasi dengan massa aksi usai dijemput ke dalam Gedung Parlemen oleh Ketua Partai Buruh, Said Iqbal. Sesaat setelah keluar dari gerbang samping, massa aksi meneriaki Habib dan meminta agar DPR RI mematuhi putusan MK.
Kerusuhan sempat terjadi kala Habib menunjukkan dirinya di depan massa aksi. Pelemparan botol dan insiden saling dorong antara massa aksi dan aparat kepolisian yang tengah mengawal Habib pun terjadi.
“Dua Lima Jigo, Dua Lima Jigo, DPR Bego!” menjadi satu teriakkan yang terus diulang sejak Habib keluar dari gedung hingga dirinya naik ke mobil komando.
Mahasiswa Ambil Alih Aksi
Sejak lewat pukul 12 siang, mahasiswa dari berbagai kampus mulai berbondong-bondong bergabung ke dalam lokasi aksi.
Para buruh dan “kelompok emak-emak” pun mulai mundur dan perlahan membubarkan diri. Sejak tengah hari, mahasiswa mengambil alih tongkat estafet aksi dari kelompok buruh.
Gerombolan massa dengan jumlah yang sangat masif tiba sekitar pukul 13.24 WIB, dipimpin oleh aliansi mahasiswa dari Universitas Indonesia, lengkap dengan barikade untuk mencegah adanya penyusup ke dalam barisan.
Sekejap, titik utama aksi di depan Gerbang Pancasila DPR RI penuh sesak dengan mahasiswa, bahkan mengular hingga beberapa ratus meter.
Titik Awal Kericuhan
Pada waktu yang sama, terdapat beberapa kelompok massa aksi di titik lain, yaitu gerbang belakang Gedung DPR yang dipimpin oleh Universitas Trisakti.
Sejak semakin memadatnya mahasiswa, beberapa bentrokan kecil dengan aparat kepolisian sempat terjadi. Pelemparan botol dan aksi saling dorong cukup banyak terjadi
Satu jam berselang, pada 14.28 WIB, para mahasiswa Trisakti berhasil merobohkan pagar belakang Gedung DPR RI. Para massa aksi bersorak sambil berupaya menahan diri menjaga situasi tetap kondusif dan tidak menerobos masuk.
Perobohan gerbang belakang turut memantik api di titik aksi utama. 15 menit berselang, mahasiswa di depan Gedung DPR berhasil menjebol gerbang samping Gedung DPR RI.
Tak lama, sekitar pukul 15.00 WIB massa aksi dari Universitas Padjadjaran mulai berdatangan. Massa ‘Padjadjaran Melawan’ melakukan long march dari titik awal Gedung TVRI menuju lokasi utama aksi.
Riuh tepuk tangan berhasil didapat kala para mahasiswa Unpad berjalan berbondong-bondong sambil menggemakan ‘Halo-Halo Bandung’ sebagai gambaran perjuangan mereka.
“Sekarang telah menjadi lautan aksi, mari bung rebut kembali!”
Puncak Kerusuhan
Sekitar pukul 16.03 WIB, situasi semakin memanas. Ketegangan antara mahasiswa dan kepolisian terus meningkat. Massa aksi pun akhirnya memaksa membobol masuk ke dalam halaman Kompleks Parlemen DPR RI.
Pada 16.12, bentrokan besar terjadi. Aparat yang berjaga dengan perlengkapan penuh mencoba memukul mundur mahasiswa yang memaksa masuk ke halaman Gedung DPR.
Pemukulan dan penculikan sejumlah mahasiswa bermula dari momen kerusuhan ini. Namun, mahasiswa pun akhirnya berhasil mengambil alih halaman Gedung DPR dari kepolisian.
Sekitar pukul 17.00 WIB, aparat mulai kehabisan cara untuk memukul mundur massa aksi. Pelatuk senjata gas air mata ditarik untuk pertama kalinya.
Tak hanya itu, gas air mata juga disemprot ke massa aksi menggunakan sejumlah pesawat nirawak alias drone yang diterbangkan tepat di atas para demonstran.
Mahasiswa pun berhamburan, berlarian hilir mudik mencari bantuan. Ada yang kebingungan mencari masker dan kacamata untuk mengamankan diri. Ada yang terkejut merasakan pertama kalinya terkena gas air mata.
“Woi, nunduk semuanya!”
“Siapa butuh air?!”
“Ada yang bawa odol, nggak?!”
Sebagian mulai merasa sesak nafas, bahkan ada yang menahan perihnya mata yang sudah sangat merah di tengah tugasnya menjaga barisan sebagai barikade.
Barisan massa perempuan dijaga ketat sambil dibawa mundur menjauh dari lokasi kerusuhan. Mereka berhasil menjauh dari pusat aksi, tapi efeknya tak kunjung hilang.
Sengatan gas air mata menusuk dalam ke hidung, perihnya mata serasa tak tertahan. Sebagian mahasiswa dilanda kepanikan, mobil-mobil ambulans darurat pun perlahan semakin penuh terisi.
Mahasiswa Universitas Padjadjaran pun menarik seluruh massa aksi dari lokasi kericuhan. Beberapa mengalami luka akibat bentrokan dengan aparat, sisanya terkena efek gas air mata.
Asap dari aksi bakar ban mewarnai kerusuhan di sore hari. Tindakan represif dari aparat berupa pemukulan hingga penculikan terjadi paling banyak di titik ini. Termasuk, momen penarikan paksa salah satu mahasiswa dengan almamater biru muda yang viral di X.
Pukul 18.09 WIB, para pelajar berseragam putih abu-abu mulai merapatkan barisan dan memasuki titik aksi, bergabung dengan beberapa mahasiswa yang masih bertahan. Sebagian pelajar yang datang turut membawa bambu yang cukup panjang.
Gelombang pembubaran massa kemudian muncul lagi sekitar pukul 18.32 WIB. Anggota Brimob memberondong massa aksi dengan mesin pelontar gas air mata dan water cannon.
Aparat yang berjaga lengkap dengan helm, masker, tameng, dan pemukul kompak berbaris mendorong massa yang masih berkumpul di depan gerbang. Awak media pun turut berhamburan menghindari titik utama tersebarnya gas air mata.
Beberapa orang yang terjebak di tengah jalan tol terpantau menjadi kelompok yang paling banyak diincar kepolisian untuk direpresi. Ditarik, diancam, dipukul, bahkan mahasiswa yang terjatuh hampir dilindas menggunakan sepeda motor.
Tepat pukul 18.53 WIB, aparat belum puas dengan memukul mundur massa aksi dari depan Gerbang DPR RI. Gerombolan polisi berbaris rapi, masih lengkap dengan tongkat dan tameng, kemudian berlari mengejar para pelajar.
Reporter dJatinangor menjadi salah satu target pengejaran saat merekam situasi tersebut. Polisi memaksa agar massa maupun awak media mundur karena area DPR RI akan segera dibuat steril.
Massa aksi pun digiring dari Jalan Gatot Subroto hingga ke Jalan Tentara Pelajar, Slipi. Para pelajar lari tunggang langgang dari kejaran polisi. Terpantau ada beberapa motor yang masih terparkir di tengah jalan berujung dihancurkan polisi.
Tindakan represif aparat kepolisian sangatlah nyata dan terlihat jelas dari berbagai rekaman dan bukti yang tersebar di media sosial. Kondisi tersebut pun semakin memperbesar tanda tanya akan demokrasi Indonesia.
Aksi Peringatan Darurat yang digelar oleh berbagai elemen masyarakat sipil selama kurang lebih sepuluh jam di depan Gedung DPR RI berakhir menjadi sebuah malam yang mencekam. Begitu banyak pasang mata menjadi saksi kebrutalan aparat menghakimi massa aksi.
