Poster bergambar burung garuda berwarna biru bertuliskan ‘Peringatan Darurat’ sebagai simbol perlawanan dan seruan aksi beredar di media sosial Indonesia. (Istimewa)
dJatinangor.com – Jagat media sosial Indonesia seketika dipenuhi gambar Garuda Biru bertuliskan ‘Peringatan Darurat’ usai Badan Legislasi DPR RI menganulir putusan Mahkamah Konstitusi terkait Revisi Undang-undang (RUU) Pilkada.
Lantas, ada apa sebenarnya di balik gejolak politik yang tengah terjadi? Simak cerita singkat ini untuk memahaminya.
Kericuhan yang terjadi bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi yang tengah mengadili gugatan terhadap syarat pencalonan diri Calon Kepala Daerah (Cakada) di gelaran Pilkada 2024.
Ada dua gugatan krusial yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu perihal syarat batas usia calon kepala daerah dan syarat minimal ambang batas (threshold) parlemen bagi partai untuk bisa mengusung calon di Pilkada.
Polemik Syarat Batas Minimal Usia
Dalam peraturan yang berlaku di Peraturan Komisi Pemilihan Umum alias PKPU, calon kepala daerah memiliki syarat minimal usia yaitu 30 tahun sejak pendaftaran dan penetapan sebagai calon.
Peraturan terkait syarat usia menjadi perbincangan karena munculnya kabar putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep yang akan diusung untuk maju di Pilkada Jawa Tengah. Padahal, Kaesang masih berusia 29 tahun dan baru berulang tahun ke-30 pada Desember mendatang.
Sementara, Pilkada akan digelar pada November 2024. Kisah cerita ini mirip dengan perubahan syarat pendaftaran Pilpres yang meloloskan kakak bungsu Kaesang, Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres.
Mahkamah Agung (MA) pun pada Juni 2024 lalu pun melakukan uji materiil terhadap PKPU tersebut dan menghasilkan putusan yang mengubah syarat batas minimal usia Cakada adalah 30 tahun terhitung “sejak saat pelantikan pasangan calon terpilih”.
Di sisi lain, pada Selasa (20/8) lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menolak gugatan untuk mengubah aturan syarat batas usia calon kepala daerah.
MK secara tegas menyatakan bahwa usia minimal 30 tahun dihitung saat “pendaftaran calon kepala daerah”.
Alasannya, MK menilai usia merupakan syarat pendaftaran bagi para calon, sehingga harus dilengkapi dan dipenuhi pada saat mendaftar, bukan saat dilantik.
Publik pun mendapat angin segar. Putusan MK kali ini ternyata tegas dan menutup jalur kotor keluarga Jokowi lainnya yaitu Kaesang yang ingin menjadi kepala daerah dengan cara yang sama seperti Gibran, yaitu mengubah Undang-undang.
Berdasarkan putusan MK, Kaesang kehilangan kesempatannya untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah karena usia yang belum cukup. Padahal, Kaesang sudah diusung oleh Partai NasDem untuk maju di Pilkada Jawa Tengah pada Senin (19/8).
Namun, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI kemudian menyelenggarakan rapat kerja secara mendadak pada Rabu (21/8) pagi.
Rapat kilat yang berlangsung hanya kurang dari satu jam tersebut menghasilkan penolakan terhadap putusan MK soal syarat usia Cakada. Baleg menganulir putusan MK dan secara sepihak menafsirkan peraturan yang benar adalah yang diputus oleh MA.
Hasil rapat Baleg pun akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk menjadi RUU Pilkada. Apabila disahkan, Kaesang pun kembali mendapat jalan tol untuk bisa melaju di Pilkada 2024.
Polemik Ambang Batas Parlemen
Tak berhenti di syarat usia, Baleg DPR RI juga turut menganulir putusan MK mengenai perubahan ambang batas parlemen.
Sebelumnya, aturan main Pilkada mewajibkan partai politik atau koalisi partai memiliki minimal 20% dari jumlah kursi di DPRD untuk bisa mencalonkan pasangannya di Pilkada daerah tersebut.
Namun, MK menilai aturan tersebut bertentangan dengan Undang-undang, lalu mengubah syarat ambang batas minimal dari 20% menjadi 6,5% hingga 10% tergantung pada jumlah penduduk di wilayah tersebut.
Sebagai contoh, DKI Jakarta yang memiliki penduduk sekitar 10,5 juta, maka partai pengusung wajib memiliki 7,5% kursi di DPRD.
Sebagai konteks, hampir seluruh partai politik yang memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta sudah diambil oleh Koalisi Indonesia Maju yang mendukung Jokowi dan Prabowo. Satu-satunya partai yang belum mengusung calon adalah PDI Perjuangan yang memiliki kursi sejumlah 14%.
Jika merujuk aturan minimal kursi 20%, PDIP tak akan bisa lagi mengikuti Pilkada di DKI Jakarta untuk menandingi koalisi pemerintah. Namun, perubahan aturan menjadi 7,5% memungkinkan PDIP untuk tetap mengusung calonnya sendirian.
Namun, Baleg DPR juga turut menganulir putusan MK tersebut dan mengembalikan aturan ambang batas kursi parlemen menjadi 20% seperti sedia kala. Kesepakatan tersebut pun membuat koalisi pemerintahan semakin kokoh untuk menguasai ibu kota Jakarta.
Skenario tersebut sejalan dengan rumor yang beredar mengenai strategi koalisi pemerintahan yang ingin maju dan berkuasa di Jakarta tanpa adanya perlawanan dari partai politik lain.
Setidaknya, dua poin krusial dari konflik antara Mahkamah Konstitusi dan Badan Legislasi tersebut adalah beberapa pemantik yang membuat masyarakat kini mulai bergerak. Pasalnya, tindakan DPR RI yang melangkahi MK dinilai mencederai marwah demokrasi dengan menafsirkan hukum secara sepihak dan mengabaikan putusan MK, terutama dengan status MK sebagai ‘Guardian of Democracy’.
#KawalPutusanMK
Penulis: Ridho Danu Prasetyo