[Resensi] Menapaki Per-jalan-an Tak Ada Ujung Mochtar

Judul buku: Jalan Tak Ada Ujung
Penulis: Mochtar Lubis
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun terbit: 2019 (cetakan kesembilan)
Tebal: 163 halaman
ISBN: 978-979-461-980-3

“Saya sudah tahu—semenjak mula—bahwa jalan yang kutempuh ini adalah jalan tak ada ujung. … Perjuangan ini, meskipun kita sudah merdeka, belum juga sampai ke ujungnya. Dimana ada ujung jalan perjuangan dan perburuan manusia mencari bahagia?” (Lubis, 2019: 49).

Novel ini mengisahkan tentang ketakutan dan perjuangan yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalamnya. Berlatarkan pada masa pasca-kemerdekaan yakni 1946-1947, dimana Indonesia masih dipenuhi bayang-bayang serdadu Belanda yakni Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Isa, seorang guru Sekolah Dasar, menjadi tokoh utama yang dikarakterisasi oleh Mochtar sebagai seseorang yang memiliki kepekaan batin yang dalam dan lemah lembut.

Novel ini diawali dengan memperkenalkan tokoh-tokoh yang terlibat. Isa, sebagai tokoh utama, sehari-harinya adalah menjadi seorang Guru SD dan anggota dari sebuah organisasi revolusi yang memperjuangkan kemerdekaan. Dalam organisasi tersebut, Isa berperan sebagai kurir pengantar senjata dan surat-menyurat di kampungnya. Hubungan dengan istrinya, yakni Fatimah, itu kurang baik, setelah diketahui bahwa Isa mengidap impotensi. Setelah itu, akhirnya mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang anak bernama Salim. 

Hazil, sahabat terdekat Isa adalah seorang pemuda yang mempunyai semangat menggebu untuk menghadapi peperangan melawan para penjajah. Dia adalah teman Isa yang sering berkunjung ke rumahnya untuk urusan organisasi dan bermain biola. 

Suatu ketika, Isa, Hazil, dan Rakhmat (teman Isa di organisasi) meluncurkan rencana untuk menghancurkan bioskop menggunakan granat yang berisi banyak serdadu Belanda. Seminggu setelah kejadian Isa membaca koran di warung Gang Karsa, berita tersebut berisi informasi bahwa seorang pelempar granat sudah tertangkap. Isa tidak mengetahui yang ditangkap itu adalah Rakhmat atau Hazil? 

Tak lama dari itu Isa pun dijemput polisi di kediaman rumahnya. Dia diinterogasi di penjara dan dipukuli hingga pingsan. Setelah itu, Isa terbangun dalam kamar berjeruji besi dan mengetahui bahwa temannya yang tertangkap polisi adalah Hazil.

Dinamika Keberanian dan Ketakutan dalam Jalan Tak Ada Ujung

Mochtar, penulis fiksi sekaligus seorang jurnalis ternama di Indonesia, menyusun novel ini dengan apik. Dia dapat memberikan gambaran latar suasana dan kondisi ekonomi, sosial, serta politik yang pas dengan latar yang dipakai yakni Jakarta pada tahun 1946-1947. Masa dimana NICA ingin kembali menguasai Indonesia setelah Indonesia merdeka, sebelum agresi militer II Belanda.

Tokoh-tokoh yang terlibat pun memiliki karakter yang khas dan realistis; penuh dinamika dan konflik batin yang dialami. Isa berhasil dikarakterisasi dengan baik: seseorang yang mengalami konflik batin antara ketakutan dan keberanian dalam menjalani hidup. Semangat muda untuk melakukan revolusi tergambarkan dalam diri Hazil dan teman-teman organisasinya. Namun, keberanian kaum muda itu, khususnya Hazil, ternyata hanya keberanian semu.

Meskipun tidak memiliki peran yang sangat penting, beberapa tokoh lainnya, seperti Salim, guru SD, tetangga, dan masyarakat seperti pedagang pun memiliki karakter yang pas. Semuanya mengalami konflik batin antara ketakutan yang membayangi dan keberanian dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Mochtar, dengan kepandaian yang dimilikinya, cukup berhasil dalam menciptakan cerita yang menyasar unsur mendasar dalam hidup yakni dinamika antara ketakutan dan keberanian. Apalagi di masa-masa menegangkan, ketakutan dan keberanian menjadi unsur hidup yang sangat kontras. Sentuhan sastrawi yang men-detail pun menjadi unsur penguat dalam menciptakan kompleksitas cerita ini.

Selain itu, akhir cerita yang disusun Mochtar sangat patut diapresiasi. Isa, seonggok daging yang hidup dengan keberanian semu saat siang hari serta saat malam tiba, alih-alih bersenggama dengan istrinya, Isa malah tidur dalam dekapan hantu bernama ketakutan. Hingga akhirnya mencapai titik orgasmenya pada akhir cerita yakni menemukan keberanian yang sejati.

“Dia telah menguasai dirinya sendiri. Tiada benar dia tidak merasa takut lagi. Tetapi, dia telah damai dengan takutnya. Telah belajar bagaimana harus hidup dengan takutnya. … Dia tahu teror mereka tidak akan bisa menyentuhnya lagi. Dia telah bebas.” (Lubis, 2019: 163).

Jalan Tak Ada Ujung tiada lain adalah hidup yang harus dijalani terus-menerus dengan ketakutan yang membayangi dan keberanian untuk mendamaikannya.

Penulis: Yoga Firman
Editor: Ridho Danu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *