Tugu Pangeran Suria Kusumah Adinata, sebagai gerbang memasuki wilayah Jatinangor, Sumedang. Beberapa wilayah Jatinangor saat ini dilanda krisis air bersih akibat penurunan kualitas air. (Foto: Google Streetview)
Dalam catatan sejarah panjang, Jatinangor pada awalnya merupakan wilayah permukiman biasa yang tidak begitu padat. Wilayah Jatinangor sebagian besar merupakan perkebunan teh dan karet seluas kurang lebih 950 hektar yang dikuasai oleh korporasi asal Belanda, Maatschappij tot Exploitatie der Baud-Landen sejak tahun 1841.
Perkembangan Jatinangor sebagai salah satu pusat wilayah pendidikan dicetuskan oleh rektor keenam Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Hindersah Wiraatmadja, yang menggagas ide Kota Akademik Manglayang. Ide kota akademik ini terinspirasi dari Kota Akademik Tsukuba di Jepang. Ide ini dicetuskan untuk mengatasi permasalahan wilayah kampus Unpad yang tersebar di 13 titik lokasi berbeda sehingga membuat koordinasi dan pengembangan menjadi tidak strategis. Akhirnya, pada 1979 lahan bekas perkebunan di Jatinangor ditunjuk sebagai kawasan pendidikan Unpad seluas 175 hektar.
Fokus pengembangan kawasan pendidikan dimulai pada 1990, dengan kehadiran empat perguruan tinggi di dalamnya, yaitu Unpad, IPDN, IKOPIN, dan Universitas Winaya Mukti (saat ini ITB Jatinangor). Semenjak pengembangan intens tersebut, bermacam bentuk pembangunan berjalan sangat masif dan cepat untuk mengembangkan Jatinangor agar memenuhi kebutuhan fasilitas bagi mahasiswa.
Seiring dengan hadirnya kampus-kampus tersebut, Jatinangor tentunya mengalami perkembangan fisik dan sosial yang pesat. Sebagaimana halnya yang menimpa lahan pertanian lain di Pulau Jawa, banyak lahan pertanian di Jatinangor yang berubah fungsi menjadi rumah sewa untuk mahasiswa ataupun pusat perbelanjaan.
Dari hal tersebut, tentunya sangat terlihat perubahan yang sangat drastis di Jatinangor setelah dialihfungsikan menjadi kota Pendidikan sejak tahun 1980 sampai sekarang, yang memberikan dampak kepadatan penduduk di Jatinangor yang dari tahun ke tahun semakin membludak.
Asih Marini, seorang warga asli Jatinangor yang kurang lebih 15 tahun terakhir bekerja sebagai asisten kebersihan kos di Jatinangor menyatakan bahwa saat ini Jatinangor memang sangat terasa padat dan tidak lagi hijau.
“Dulu mah masih asri (lingkungannya). Sekarang semua gang udah padet sama kos-kosan, belum lagi apartemen, penuh banget. Sampai jadinya warga lokal tetangga-tetangga saya dulu juga harus pindah ke bawah,” ujarnya.
Tentunya dampak dari kepadatan penduduk dan pembangunan tanpa manajemen lingkungan sendiri telah dirasakan secara nyata oleh masyarakat Jatinangor. Sebab kepadatan penduduk dapat memberikan pengaruh kualitas hidup penduduknya. Pada daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, usaha peningkatan kualitas penduduk akan lebih sulit dilakukan. Hal ini menimbulkan permasalahan sosial ekonomi, kesejahteraan, keamanan, ketersediaan lahan, air bersih dan kebutuhan pangan.
Sehubungan dengan Jatinangor sebagai wilayah pendidikan, lahan hijau kini didominasi oleh bangunan berupa kos-kosan, apartemen, dan instansi pemerintah. Sayangnya, masifnya pembangunan ini tak dibersamai oleh manajemen dan tata kelola pembangunan yang baik dan memerhatikan lingkungan. Sehingga, akses terhadap air bersih pun menjadi masalah yang timbul di kemudian hari.
Asih bekerja di dua kos berbeda yang terletak di Jalan Sayang dan Jalan Ciseke. Ia menggambarkan bagaimana air bersih memang menjadi masalah nyata yang seringkali tak dapat diakses oleh beberapa rumah kos.
“Kalau di sini (Sayang) dan Ciseke kan bisa dibilang paling rame ya karena deket sama Unpad. Nah, emang sering banget di kos kalau siang atau malam itu air bersih cuma dikit, bahkan kadang mati,” ucap Asih menjelaskan.
Adanya wilayah instansi pemerintah di Jatinangor yang terdiri dari universitas dan sekolah, juga kantor pemerintahan menjadi wilayah dengan konsumsi air tertinggi. Kurang lebih 1000 kos-kosan mengisi hampir seluruh wilayah Jatinangor, disusul dengan banyaknya apartemen yang berdiri di bekas lahan hijau. Banyaknya kos-kosan dan apartemen tersebut kemudian berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan air masyarakat Jatinangor.
Meningkatnya kebutuhan penggunaan air yang tinggi mempengaruhi ketersediaan air bersih di Jatinangor. Hal inilah yang menyebabkan kualitas air bersih di Jatinangor menurun, karena lahan yang awalnya daerah resapan air berubah menjadi bangunan tempat tinggal untuk mahasiswa ataupun bangunan tempat usaha yang saling berdempetan.
Minimnya tata kelola ruang dan wilayah Jatinangor yang dibangun sebagai kawasan pendidikan selama kurang lebih 30 tahun terakhir adalah salah satu penyebab tidak teraturnya pembangunan dan kepadatan penduduk yang lepas kendali, juga alasan dari hilangnya RTH di Jatinangor.
Riset yang ditemukan terkait wilayah Jatinangor sendiri menyebut bahwa Ruang Terbuka Hijau yang hilang akan berdampak bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat Jatinangor secara langsung maupun tidak langsung. Tata kelola yang buruk menyebabkan kepadatan penduduk overload di beberapa titik tertentu dan bahkan memunculkan berbagai permasalahan baru, seperti sulitnya akses air bersih di hunian mahasiswa hingga sesaknya kehidupan yang terkungkung oleh beton-beton bangunan tanpa penghijauan.
Menurut riset yang dilakukan di Jatinangor pada tahun 2020 silam, jangkauan air bersih PDAM hanya mencapai angka 6,5% dari jumlah keseluruhan masyarakat yang tercatat di Jatinangor. Sementara, kualitas air tanah di beberapa wilayah telah mengalami penurunan kualitas akibat tercemar oleh pembangunan.
Kualitas air tanah di Desa Hegarmanah dan Cikeruh yang menjadi titik tengah wilayah pemukiman mahasiswa masuk dalam kategori terendah. Sementara, kualitas air Desa Cibeusi dan Sayang berada di kategori sedang.
Hafiz, seorang mahasiswa FIB Unpad yang tinggal di kos daerah Cikeruh, membenarkan temuan riset ini berdasarkan pengalamannya.
“Iya sih, emang waktu dulu survei kos di daerah sini (Cikeruh) banyak banget kos yang air nya nggak jernih, tapi berwarna agak kekuningan,” ujarnya.
Jatinangor yang kini pamornya semakin tinggi sebagai kawasan pendidikan tentunya akan mengalami perkembangan kedepannya. Pemindahan mahasiswa baru ITB dari Kampus Ganesha ke Kampus Jatinangor menggambarkan menjanjikannya perkembangan kawasan pendidikan Jatinangor.
Data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa setiap tahunnya Kecamatan Jatinangor selalu konsisten mengalami kenaikan jumlah penduduk, bahkan pada masa pandemi sekalipun. Kepadatan penduduk yang akan berujung pada alih fungsi lahan harus tetap memerhatikan kelestarian alam dan ketersediaan kebutuhan pokok manusia, yaitu air bersih.
Pada akhirnya, air bersih sebagai salah satu kebutuhan utama manusia bukanlah sebuah hal yang bisa disepelekan kehadirannya. Sebagai daerah pendidikan yang sudah terpandang, Jatinangor seharusnya mulai berbenah membereskan pekerjaan rumah yang terbengkalai, terutama terkait perencanaan pembangunan dan perhatian terhadap lingkungan yang selama 30 tahun ini luput dari perhatian pemerintah.
Penulis: Ridho Danu Prasetyo