Refleksi Pemilu 2019: Teropong Pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2024 di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengimplementasikan sistem politik demokrasi dalam menjalankan roda pemerintahan. Demokrasi merupakan bentuk sistem politik yang di era kontemporer saat ini banyak digunakan oleh sebagian besar negara di dunia. Sebagai salah satu bentuk ciri dari negara demokrasi adalah dengan menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) secara demokratis.

Tujuan dari pelaksanaan Pemilu adalah untuk menciptakan distribusi sumber daya politik yang merata. Adanya rotasi kepemimpinan politik secara demokratis dapat menciptakan dinamika elit politik yang demokratis. Tentu diselenggarakannya Pemilu adalah untuk menciptakan kepemimpinan politik atau publik yang didasarkan atas pilihan rakyat, sesuai dengan konsep demokrasi yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. 

Indonesia menyelenggarakan Pemilu secara serentak pada tahun 2019. Pemilu Serentak tersebut merupakan sejarah terhadap proses politik di Indonesia karena pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2019. Diselenggarakannya Pemilu Serentak di Indonesia bertujuan untuk mengefisienkan segala bentuk sumber daya yang diperlukan dalam pelaksanaan Pemilu. Pada awalnya, pelaksanaan Pemilu Serentak akan diselenggarakan pada tahun 2014, namun batal dilaksanakan akibat analisa para pengamat politik. Mereka menilai bahwa pelaksanaan Pemilu serentak 2014 masih belum matang, sehingga perlu adanya pengunduran waktu pelaksanaan. 

Maka dari itu, terlaksananya Pemilu serentak 2019 sebagai salah satu agenda politik yang paling utama. Dalam sejarah politik di Indonesia, untuk pertama kalinya bahwa pemilihan anggota Legislatif diselenggarakan secara serentak bersamaan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, tujuan pelaksanaan Pemilu serentak yang dapat menghemat dan mengefisienkan sumber daya pelaksanaan Pemilu, justru tercatat sebagai Pemilu yang paling buruk dalam sejarah politik bangsa Indonesia.

Terdapat berbagai isu dan wacana politik yang mewarnai permasalahan pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Hal demikian terbukti dengan banyak korban jiwa yang meninggal dunia dari panitia pelaksanaan Pemilu 2019. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang mencatat bahwa anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) telah memakan korban jiwa meninggal sebanyak 527 orang dan korban sakit mencapai 11. 239 orang akibat kelelahan. 

Tidak hanya itu, pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 diwarnai dengan penggunaan politik identitas yang tidak sesuai dengan takaran. Pemilu Serentak 2019 juga menghidupkan partisipasi pemilih yang tidak rasional dalam memilih calon representatif mereka di parlemen dan pemimpin politik mereka secara nasional. Dalam demokrasi, proses partisipasi pemilihan anggota parlemen maupun pemimpin politik tentu harus didasarkan pada rasionalitas pemilih untuk dapat menciptakan rotasi kepemimpinan politik yang benar-benar diinginkan oleh rakyat. Namun, politik identitas yang sangat mendominasi dalam proses Pemilu tahun itu membuat partisipasi pemilih tidak lagi didasarkan atas rasionalitas, namun didasarkan atas persamaan dan kesamaan kelompok identitasnya terlepas mampu atau tidak untuk berkontribusi sebagai pejabat politik. 

Pelaksanaan Pemilu serentak di Indonesia justru akan diselenggarakan kembali pada tahun 2024 dengan tidak hanya pelaksanaan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, namun dengan diikutsertakannya pemilihan Kepala Daerah secara serentak. Hal demikian tentu akan dapat menimbulkan dan menciptakan polemik baru dalam perpolitikan di Indonesia, setelah buruknya penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 yang memakan banyak korban dan pelaksanaan Pemilu yang tidak terukur.

Pelaksanaan Pemilu serentak 2024 tentu akan jauh berbeda mengenai permasalahan dan tantangan dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilu serentak 2019. Perlu dilakukannya inovasi dan pembaharuan mengenai teknis, aturan dan mekanisme pelaksanaan Pemilu yang dilakukan oleh KPU melalui revisi Undang-undang Pemilu. Sebab, legitimasi yang substansial adalah bahwa beberapa pelaksanaannya sudah ditentukan dalam Undang-undang Pemilu. Sehingga diperlukan adanya revisi terhadap Undang-undang Tentang Pemilu dengan melakukan penyederhanaan terhadap desain surat suara. 

Pemilu Serentak 2024 akan menjadi Pemilu yang rumit bagi Indonesia. Apabila Undang-undang Pemilu tidak direvisi, maka pelaksanaan Pemilu serentak 2024 akan semakin rumit dan mungkin akan menciptakan sejarah lebih buruk dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 yang terjadi sebelumnya. Seperti yang dikemukakan oleh Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini yang mengatakan bahwa pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 akan menjadi Pemilu yang paling rumit di dunia karena dilaksanakan secara serentak dengan sistem yang sentralistik. Hal demikian dikarenakan pelaksanaan Pemilu serentak 2024 tidak hanya menyelenggarakan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, namun dengan melibatkan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak diseluruh Indonesia. Sehingga, hal demikian akan menjadi legitimasi bahwa Pemilu Serentak 2024 akan semakin sulit dan rumit di dunia karena pelaksanaan Pemilu terbesar yang diselenggarakan hanya satu hari. 

Proses Pemilu Serentak 2024 yang diselenggarakan secara serentak akan menciptakan problematika baru lebih besar dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Hal demikian dikarenakan Indonesia merupakan negara dengan proses rekapitulasi suara dalam Pemilu paling lama di dunia dan database yang sifatnya sentralistik. Sehingga, diperlukan sumber daya manusia lebih banyak dan siap lagi dengan keterbatasan fasilitas yang ada untuk dapat menekan tingkat kematian korban jiwa yang ada seperti dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 justru bukan untuk mengefisienkan waktu dan menghemat anggaran, tetapi malah memperbesar anggaran.

Pada dasarnya, Pemilu di Indonesia merupakan Pemilu yang paling mahal di dunia. Biaya politik dalam pelaksanaan Pemilu yang tidak dibatas, yaitu Rp2,5 miliar per individu dan Rp25 miliar per badan hukum swasta. Hal demikian justru hanya akan menciptakan kekhawatiran terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, biaya politik yang harus dikeluarkan dalam pelaksanaan Pemilu serentak 2024 sangatlah besar, sehingga pelaksanaan Pemilu serentak 2024 cenderung akan meningkatkan aktivitas politik uang yang berorientasi terhadap perilaku korupsi pada nantinya yang justru akan melukai demokrasi itu sendiri. 

Kebutuhan anggaran yang lebih besar pun menjadi konsekuensi khusus dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2024. Dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR pada 15 Maret 2021, bahwa KPU mengusulkan anggaran sebesar Rp86,2 Triliun untuk pelaksanaan Pemilu Serentak 2024. Angka yang fantastis tersebut justru naik tiga kali lipat dari anggaran pada pelaksaan Pemilu Serentak 2019 yang hanya Rp25,59 Triliun. Angka tersebut hanya sebagai sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan KPU saja, belum termasuk Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dan badan-badan lainnya yang perlu dilibatkan dalam penyelenggaraan Pemilu. Pelaksanaan Pemilu serentak 2019 dan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 perlu dijadikan pembelajaran terhadap proses pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Banyak korban jiwa yang berjatuhan, pelaksanaan Pemilu yang tidak demokratis, keterbatasan anggaran, keterlambatan logistik pelaksanaan Pemilu tentu akan menjadi permasalahan baru yang mungkin lebih besar dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.

Miqyas Robbany – Ilmu Politik 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *