Realitas Semu dari Stereotip Antar Fakultas di Unpad

Pernahkah kamu membaca meme pertanyaan mengenai jurusan yang diambil mahasiswa baru di universitas? Mungkin salah satu contohnya seperti ini: 

A: Kamu jurusan apa?

B: Jurusan psikologi kak

A: Wah bisa baca pikiran dong?!

Percakapan yang dibuatkan meme seperti di atas dianggap menjengkelkan oleh beberapa mahasiswa psikologi. Karena pada kenyataanya dalam ilmu psikologi membaca pikiran sendiri merupakan hal yang dipelajari bukan pada tingkat sarjana namun pendidikan lebih lanjut.. Artinya masyarakat kita memiliki persepsi tertentu yang menyamaratakan satu hal untuk berlaku di seluruh kelompok.

Manusia sebagai makhluk sosial kerap memiliki persepsi atau pandangan tertentu terhadap manusia lain. Sifat manusia yang cenderung tidak menyukai ambiguitas membuat manusia akan mengategorikan hal-hal di sekelilingnya sesuai dengan pengetahuan, pendapat, atau pengalamannya di masa lampau.  Hal tersebut mempengaruhi manusia dalam berpersepsi dan membuat stereotip terhadap individu atau kelompok tertentu.

Salah seorang guru besar Fakultas Ilmu Komunikasi, Deddy Mulyana, melalui bukunya mendefinisikan stereotip sebagai tindakan menggeneralisasi orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok . 

Stereotip merupakan hal yang selalu berdampingan dengan manusia. Bagaikan jarak antara diri kita dan urat nadi kita sendiri, bahkan tanpa sadar manusia memiliki pandangan terhadap sesuatu yang sudah atau bahkan belum dikenalnya.

Tak terkecuali bagi para mahasiswa dari berbagai fakultas dan program studi di Universitas Padjadjaran (Unpad). Perguruan tinggi negeri yang menaungi 16 fakultas program sarjana ini sarat akan keberagaman yang membuat stereotip menjadi suatu hal yang tidak terhindarkan, salah satunya adalah stereotip mengenai fakultas-fakultas yang ada di sana.

Setiap fakultas dan jurusan memang telah memiliki stereotip masing-masing dalam persepsi masyarakat umum. Begitu juga pada kalangan mahasiswa dalam lingkup universitas mereka sendiri dengan stereotip masing-masing yang berlaku di kalangan mahasiswa universitasnya.

Beberapa stereotip ini contohnya, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) merupakan anak-anak yang rajin belajar karena gazebo-gazebo di sana selalu penuh akan anak-anak yang mengerjakan tugas atau membuka buku tebal. 

Anak Fakultas Hukum Unpad terkenal dengan stereotip  gaya hidup hedonis-materialistis karena lapangan parkirnya yang luas selalu penuh akan mobil-mobil mahasiswa yang terparkir. FH juga beda dari fakultas lain, FH punya ‘cafe’ bukan kantin dan itu dikatakan elit. Lain halnya dengan anak Fakultas Teknik Geologi dengan stereotip orientasi mahasiswanya yang keras dan berat.

Terdapat pula stereotip yang memang sudah terkenal dari zaman baheula bahwa mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) tentu saja merupakan orang-orang yang jago ngomong. Tak hanya itu, stereotip yang berkembang seperti fashionable dan cakep juga kerap dikaitkan dengan para mahasiswa di Fikom Unpad.

Tapi apakah itu semua kenyataan? Atau hanya penilaian tak seimbang? Bisa jadi, pandangan ini lahir setelah adanya pengalaman mengunjungi fakultas tertentu, melihat dan menilai (judge by it’s cover). Bisa juga lahir karena memaknai secara mandiri arti dari fakultas masing-masing. Namun, penyetaraan satu asumsi dan persepsi untuk berlaku keseluruhan bukanlah keputusan yang bijak.

Meskipun tampaknya stereotip-stereotip tersebut tidak selalu berkonotasi negatif, tetapi tidak lantas hal itu menjadi pembenaran terhadap tidak stereotip. Contohnya stereotip jago ngomong yang melekat pada mahasiswa Fikom. Kenyataannya tidak semua mahasiswa Fikom nyaman dengan label tersebut karena memang tidak semua orang memiliki keahlian yang sama dalam hal berbicara di depan umum. Stereotip yang kesannya positif sekalipun berpotensi menimbulkan rasa jengkel atas sebutan tersebut. Terlebih, label-label tersebut bukan tidak mungkin menjadi beban yang seakan harus ditanggung oleh para mahasiswa.

Lantas, bagaimana cara mengurangi kecenderungan stereotip di kehidupan sehari-hari?

Dalam berinteraksi dengan individu atau kelompok lain, penting bagi kita untuk tidak memandang segala sesuatu hanya dari satu sisi berdasarkan stereotip yang terbentuk. Jangan sampai kita mengabaikan sisi dan nilai lain dari seseorang sehingga dengan seenaknya menggeneralisasikannya berdasarkan kategori tertentu.

Pada akhirnya, baik stereotip positif dan negatif, dapat menimbulkan konflik di masyarakat. Kebiasaan melakukan stereotip terhadap individu atau kelompok tertentu dapat mempersempit cara pandang dan persepsi kita terhadap dunia, seakan dunia hanya terdiri dari kategori-kategori dalam kepala kita. Terlebih, hal ini dapat menyederhanakan bahkan mendiskreditkan nilai seseorang menjadi hanya sebatas stereotip yang melekat pada dirinya. 

Cara lain yang menyenangkan untuk mengurangi stereotip, yaitu mencoba berbaur dengan kelompok yang distereotipkan. Selain menambah teman, kemungkinan pikiran terbuka pun akan meningkat. Hal yang biasanya terjadi saat seseorang memasuki lingkup yang biasa distereotipkan adalah terkejut atau jika dijelaskan dengan sedikit drama, mereka mengalami plot twist. ‘Oh, ternyata mereka begini’. 

Proses dari stereotip yang kemudian membuat kita membuktikan dan menyadari realitas bukankah terdengar menyenangkan dan menantang?

Selain itu, bukankah sangat disayangkan jika menyamakan jutaan manusia yang beragam dengan satu asumsi yang hanya merupakan kebenaran semu tanpa tahu kenyataan?

Penulis: Sarah/Tasya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *