Lebih dari Sekadar Apa yang Ada di Balik Celana

“Kamu ini laki-laki atau perempuan sih?”

“Ah, ribet! Di balik celanamu ada ‘pisang’ atau ‘apem’?”

Pertanyaan itu jadi makanan sehari-hari ‘Alex’ (bukan nama sebenarnya). Setiap hari hidupnya dikelilingi oleh lontaran pertanyaan dari manusia penasaran. Alex mendapatkannya di mana saja; di sekolah, mall, pesta. Pasang wajah mondar-mandir menelaah apa yang salah. Alex seperti bukan bagian dari keduanya—lelaki bukan, apalagi wanita. Tubuhnya tidak besar jangkung dan tak punya jakun tapi rambutnya pendek. Laki-laki apa yang seperti ini? Tak jarang ia terasa begitu asing bagai habis ditendang dari planet Mars.

“Apa yang dilakukan seseorang yang hanya baca satu buku saat melihat alien? Mereka memodifikasi diri mereka agar tampak seperti manusia pada umumnya. Mengubah mata besarnya agar tak terlihat,” ujarnya.

Begitulah yang orang terdekatnya lakukan pada Alex. Mereka mendadaninya dengan make up dan tudung kepala agar nampak seperti perempuan. Saat pertemuan makan malam, ibunya memaksa agar ia menyilangkan kakinya rapat-rapat dan bersikap anggun demi tak mengundang bisikan tamu yang datang. Alex dipaksa nampak biasa.

Tapi apa yang tak biasa darinya? Dia hanya manusia yang terjebak. Selama 19 tahun, Alex lahir pada tubuh yang bukan semestinya—setidaknya itu yang ia pikirkan.

Berbeda kisahnya dengan ‘Jane’ (bukan nama sebenarnya), kedua orang tuanya mungkin tidak seratus persen menyokong pilihan Jane sebagai transpuan. Tetapi saran dan nasihat yang ia dapatkan tak terkesan mengekang. Orang tua Jane juga tetap menyayangi putri mereka sebagaimana mestinya. Jane merasa sangat bersyukur dan merasa ini adalah sebuah privilese yang jarang didapatkan oleh banyak teman seperjuangannya.

Meski begitu, ternyata kehidupannya di luar rumah Jane bagai dunia lain. Penampilan Jane yang tampak ‘berbeda’ dari rambut hingga ujung kaki membuatnya jadi sasaran empuk perundungan. Kalimat seperti ‘banci’ atau ‘lekong’ sudah tak asing terdengar. Kata-kata tersebut tentu menyakitkan, terlebih jika seseorang meneriakkannya di depan umum.

Namun, hati Jane begitu kuat dan yakin dengan apa yang ia mau. Jane sudah berada di titik di mana ia tak buta soal penemuan jati dirinya. Menutup telinga kuat-kuat jadi solusi. Bukan berarti ia menormalisasikan tindakan perundungan. Tetapi bagi Jane perkataan orang yang tak berarti justru akan membuatnya takut dan enggan berkembang.

Bullying tidak akan membuatku enggan menunjukkan jati diri aku yang sebenarnya. Aku sudah paham soal diriku sendiri dan perjuangannya untuk menggapai diriku yang sekarang,” ucap Jane.

Ada Hubungannya dengan Edukasi Seks

Terkadang mereka yang bertanya atau mencemooh berasal dari rasa penasaran yang tak dikomunikasikan dengan baik. Alhasil, jangankan simpati bahkan hanya untuk sekadar mengerti saja enggan. Tak jarang anggota komunitas transgender ditanya mengenai ‘apa yang di bawah sana’ dan pertanyaan lain yang seharusnya tidak dilontarkan sama sekali. Selain tidak sopan karna sudah melanggar privasi, pertanyaan tersebut juga dapat menyinggung.

Rasa penasaran pada kaum gender minoritas dapat disebabkan oleh minimnya edukasi yang menyinggung hal tersebut. Studi yang dilakukan oleh New York Civil Liberties Union (NYCLU) menunjukkan bahwa 83 persen distrik di Amerika tidak mengajarkan murid

mereka tentang identitas gender ataupun transgender di kelas edukasi seksual.1 Bisa dikatakan, negara maju seperti Amerika saja masih mengabaikan keberadaan gender minoritas dalam edukasi seks mereka.

Indonesia sendiri sudah mulai ‘melek’ soal edukasi seks. Beberapa akun Instagram yang kerap membahas edukasi seks mulai bermunculan. Meski tetap banyak dari mereka yang ditolak mentah-mentah oleh masyarakat dengan alasan mempromosikan seks bebas, tujuan mereka sudah baik dalam mengedukasi masyarakat. Tetapi apa sudah setara?

Seperti yang dilansir oleh Hipwee.com, berikut adalah empat akun Instagram di Indonesia yang menyajikan pendidikan edukasi seks, yaitu @tabu.id, @catwomanizer, @jennyjusuf, dan @zoyaamirin. Akun-akun tersebut jarang sekali nyaris tak pernah membawa mengenai seks pada gender minoritas. Terkecuali akun @zoyaamirin yang pernah menjadi pembicara mengenai eksplorasi gender dan seksualitas.

Tetapi bisa dipahami alasan mengapa banyak yang masih enggan membahas mengenai gender minoritas. Edukasi seks saja sudah tabu, apalagi jika ditambah persoalan gender minoritas?

Pendidikan Seks Tidak Inklusif

Berdasarkan data yang tim kumpulkan, 47 dari total 50 orang beridentitas queer merasa bahwa pendidikan seks yang mereka dapat di Indonesia hanya berpusat pada cisgender dan heteroseksualitas. Melansir dari Women’s Health, cisgender adalah kelompok individu yang mengidentifikasi identitas gendernya sesuai dengan jenis kelamin yang ia bawa sejak lahir. Sedangkan menurut KBBI, heteroseksualitas merupakan ketertarikan seksual terhadap orang yang berbeda jenis kelamin. Menandakan, pendidikan seks di Indonesia ini memberikan informasi yang tidak inklusif pada gender dan seksualitas tertentu.

Seorang ahli Gender, Puji Maharani, berpendapat bahwa pendidikan seks yang berpusat pada

cisgender dan heteroseksualitas ini adalah salah satu permasalahan ketidaksetaraan gender.

Pendidikan seks yang komprehensif dan inklusif dibutuhkan untuk memberikan perlindungan pada kelompok minoritas gender dan seksualitas.

“Pendidikan sex yang komprehensif dan inklusif penting untuk remaja queer. Tanpa hal ini, mereka bisa rentan dirundung, diserang, bahkan dilecehkan. Jangka panjangnya hal ini bisa menyebabkan masalah pada kesehatan mental mereka,” jelas Puji.

Melansir dari laman resmi United Nations Sexual and Reproductive Health Agency (UNFPA), comprehensive sex education sendiri merupakan pendidikan seks yang tak hanya mengajarkan fungsi seks dan kesehatan reproduksi. Namun, juga yang berbasis hak dan fokus pada gender; bagaimana keberagaman seksualitas, identitas gender, dan ekspresi gender.

Sayangnya, menurut Puji, pendidikan seks ini masih sulit untuk didapat di Indonesia karena pandangan tabu dan stereotip yang menyebut bahwa hal ini hanya akan mendorong anak- anak untuk berhubungan badan dan “melenceng” dari “kenormalan”.

Persis seperti yang dijelaskan oleh Puji, tak hanya menimbulkan masalah internal pada remaja queer seperti kesehatan mental karena merasa ditinggalkan. Permasalahan ini juga membuat mereka rentan menjadi korban perlakuan tidak baik secara oleh lingkungan mereka. Bahkan, dari data yang berhasil terkumpul, 32 dari 50 orang yang beridentitas queer mengaku pernah menjadi korban perundungan, misgendering, bahkan pelecehan akibat identitas maupun ekspresi gender mereka ketika berada di sekolah.

Menurut The Human Rights Campaign melalui situs resminya, pendidikan seks seharusnya dapat menjadi sumber yang dapat diandalkan perihal seksualitas bagi para remaja. Namun agar remaja queer dapat mendapatkan manfaat tersebut, pendidikan seks harus inklusif dan tidak hanya berpusat pada cisgender dan heteroseksualitas. Inklusivitas ini dapat membantu para remaja untuk mendapatkan informasi perihal identitas gender dan orientasi seksual yang sesuai usia dan akurat secara medis. Hal ini juga dapat menghapuskan mitos serta stereotip yang melekat pada minoritas gender dan seksualitas tertentu.

“Ini semua sangat penting untuk kesetaraan. Walaupun begitu, kita masih butuh perjalanan yang sangat jauh untuk mencapai idealitas seperti itu,” terang Puji menggambarkan pendidikan seks yang komprehensif tersebut.

Ia menambahkan, walaupun sistem pendidikan seks di sekolah sekarang masih sulit diandalkan, kita masih dapat memberikan pendidikan seks yang baik pada orang sekitar kita. “Bisa jadi sebagai seorang kakak, teman, saudara, paman, bibi, dan lain-lain. Ga harus punya otoritas kok untuk memberikan penjelasan tentang seks dan gender,” tambahnya.

Penulis: Ghina/Katami

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *