Hari Jumat dibalut hujan, Saya mendatangi perpustakaan kecil di Jatinangor yang menurut utas dari @kaleanderr adalah sebuah Hidden Gem bernama Batoe Api. Meski Hujan, perjalanan terbayarkan lunas setelah menemukan sekumpulan buku yang jarang ditemuka di toko buku konvensional. Akhirnya, saya pun mencoba bertanya-tanya perihal tempat ini langsung kepada Pendiri Batoe Api, Anton Solihin atau yang dikenal “Bang Anton”.
Tidak ada yang spesial dari asal-usul terciptanya nama Batoe Api. Ia memilih nama perpustakaannya ini agar berbeda dengan warug tegal di Jatinangor. Ia juga mengaku jika sering membuat narasi acak kepada pengunjung jika ada yang menanyakan makna dari nama Batoe Api.
“Kadang orang suka saya bohongin narasi tentang makna Batoe Api ini, misal Raja Abraha dari Ethiopia menyerang Mekkah, terus Allah mendatangkan burung ababil dan mengeluarkan Batoe Api. Mungkin teu nyambung, tapi saya suka melakukan itu,” ujar Anton pada Jumat (18/31/2021)
Pengunjung yang datang pun datang dari berbagai latar belakang, mulai dari SMP sampai SMA. Tak heran juga didominasi oleh mahasiswa humaniora yang ingin meminta rekomendasi tugas kepada Anton. Namun disayangkan, Ia merasakan bahwa masyarakat Jatinangor selain mahasiswa itu jarang datang ke Batoe Api. Maka dari itu, ia berusaha keras untuk menaikan minat baca masyarakat lokal.
“Kalau dibilang begitu coba bayangin saya sudah 21 tahun di sini. Berarti saya pun udah die hard atau kerja keras untuk menaikan minat baca. Dulu pernah anak Jurnalistik bikin acara yang berfokus pada Radio. Saya diundang bicara untuk hari buku dan sejak saat itu pula saya baru tau ada hari buku. Padahal, setiap hari saya menulis dan menyimpan buku,” tambahnya.
Namun di balik itu, Ia menegaskan terlebih dahulu bahwa alasan Ia mendirikan Batoe Api selain menaikan minat baca masyarakat, melainkan agar orang-orang menemukan jodohnya dan dapat berpacaran di tempatnya.
“Sebenarnya selama bertahun-tahun saya malah selalu menyuruh orang di sini untuk pacaran dan ada pamfletnya. Saya gak tertarik menyuruh orang untuk membaca buku,” katanya
Dalam menekankan pentingnya membaca, Anton mengatakan akan tetap fokus mempertahankan Batoe Api di daerah Jatinangor. Selain minat baca, Ia mempertahankan tempat ini karena sudah menjadi situs tersendiri. Melihat sekeliling pun sudah para pemodal dan kapitalis semua. Ia juga tidak terpikir untuk membuka cabang di daerah lain sebagai strategi lainnya. Pasalnya, manusia hanya memiliki dua tangan dan itupun jika tak memilih untuk memiliki pegawai.
“Kalau orang menanyakan buku segala macam masalahnya yang tahu saya doang di sini. Jadi saya gak ada pegawai. Dari mulai ngepel sampai tugas memperbaiki buku dan administrasi hanya saya dan istri saja berdua. Makanya aneh juga kalau di Jatinangor Batoe Api sudah seperti artefak, biara, atau seperti toko obat cina lama,” katanya
Historis penyelamatan buku
Tidak mudah memang menjalankan realisasi tersebut, Ia perlu mengoleksi buku dari berbagai tempat demi menambah genre buku bacaan dan menyelamatkan buku tersebut dari orang yang salah. Fakta uniknya juga dikatakan oleh Anton bahwa kebanyakan buku yang dicari adalah tema-tema yang ia sukai saja. Perihal ingin dipinjam atau tidaknya itu perkara lain.
“Kayak kemarin ada penyelanggaran biara Katolik di Bandung, tuh, dia ngabarin kalau ada dua dus buku gede. Saya datang ke sana untuk ambil, memang pas dibuka buku-buku babon tapi tentang kedokteran gigi. Kan saya juga gak ngerti tentang gigi, yasudah waktu itu saya sumbangkan. Jadi memang saya mencari yang disuka. Kedokteran gigi juga jika satu rak penuh ya pake yang lain saja, misalnya buku tetang farmasi, kedokteran.” Jelas Anton.
Adapula pengalaman dalam penemuan buku yang masih diingat Anton hingga saat ini. Misalnya untuk mendapatkan buku seperti Madilog harus berjuang habis-habisan. Ada juga bukunya Hitler yang Mein Kampf atau ketika mendapatkan buku tentang Bandung tahun’30 kan sangat susah didapatkannya. Menurutnya pun ada hal yang susah ditebak dalam penemuan buku tersebut.
“Susahnya seperti ketika tiba-tiba sedang main ke Palasari Bandung gak peranh dapat apa-apa, tapi tiba-tiba sekali dapat banyak duitnya gak punya. Jadi memang biasanya suka ada kasus kayak begitu. Kadang juga saya selalu ngutang dulu. Kadang kalau ada duit tapi barangnya terlalu mahal juga pilihan saya, ya, hanya pasarah saja,” tutur Anton mengisahkan susahnya menyelamatkan buku.
Sistem peminjaman buku di Batoe Api terbilang mudah sekaligus murah. Hingga tulisan ini ditulis, Anton tetap memeberikan tarif 3000 rupiah per satu buku peminjaman. Ditambah, pengunjung bisa memperpanjang peminjaman melalui chat atau datang langsung. Di sisi lain, ada juga pengunjung yang dalam satu kasus lupa atau tidak membayar tarif peminjaman. Denda pun tentunya diberikan, apabila lewat satu hari terkena denda 1000 rupiah.
“Kayak kemarin ada yang misalnya hilang buku dari Pramoedya Ananta Noer yang diambil dosennya di kampus. Terus pas dia mau beli lagi harganya satu juta rupiah. Ya, saya kompromi saja karena gak tega juga dan jadi setengahnya. Berarti Cuma 500 ribu. Kompromi segitu juga itu saya suruh cicil berbulan-bulan,” ujar Anton.
Ritual pembakaran buku
Demi melihat kilas balik Batoe Api sebelum menjadi tempat singgah untuk membaca dan meminjam. Ada satu kasus yang mungkin dapat mendefinisikan arti Batoe Api yang berapi-api, yaitu ritual pembakaran buku.
Acara ini Ia adakan dengan anak Jurnalistik di lapangan Fikom Unpad. Kala Jatinangor masih sepi, Ia jalan kaki membawa karung berisikan buku layaknya Sinter Claus dari Batoe Api ke Fikom. Di momen pembakaran, mereka memakai topeng dan jubah gitu. Anton sendiri mengaku mengawasi dari jauh.
“Latar belakang pembakaran buku ini karena waktu itu anak Jurnal bikin acara dan saya ikut. Saat itu, buku yang saya bakar dulu itu komik Jepang, Kahlil Gibran, dan Chicken Soup. Terus juga ada anak sebelah ada yang kasih kaset lagu Dewa 19. Yaudah kita bawa dan bakar semuanya,” Anton menceritakan pengalamannya.
Pasca dua minggu setelahnya, Ia mendapatkan kabar kalau acara tersebut ada yang mengetahui. Beritanya naik di media zaman dulu bernama milis. Lalu, ia membaut konferensi pers depan Batoe Api demi mengklarifikasi mengenai acara pembakaran buku tersebut.
“Sampai saat itu saya buat konferensi pers di Batoe Api. Wartawannya pun berbicara karena tau informasi dari rapat kabinet dan lain-lain. Sampai waktu itu Goenawan Muhamad Nelpon ke Unpad lalu ditampik informasinya oleh Rektorat. Padahal sudah jelas-jelas fotonya sudah terpampang di Fikom,” tambahnya.
Peradaban film dan Apresiasi
Selain itu, Batoe Api juga pernah memiliki rutinitas Nonton Bareng alias Nobar dari tahun 2001 sampai kemarin berhenti di tahun 2018.. Hal tersebut Anton lakukan demi masyarakat memahami ke dunia supaya Jatinangor yang katanya kawasan pendidikan terdapat tontonan yang beradab yang masuk akal dan apresiatif.
“Di sebelah ada Bioskop 21 yang kebanyakan juga film Amerika. Saya cuma ngasih informasi kalau di Jatinangor ada peradaban nonton yang bener versi saya,” katanya.
Hal lainnya yang membuat Anton serius dengan kegiatan Nobar ini karena ia lebih tertarik beginian (Musik, film, buku). Ia juga kecewa karena peradaban film di kuliahan pun masih ada yang dikontruksi oleh selera para dosen dan lainnya. Maka dari itu Ia menekankan pentingnya pemahaman tentang film karena untuk nonton film bagus harus nonton film jelek dulu.
“Misalnya di anak Sastra Indonesia ada mata kuliah film Indonesia. Kan kalau pemahaman film gak ujug-ujug turun dari langit, harusnya ada pemahaman tentang film global dulu kayak apa. Misalnya ada ekspresi-ekspresi di film Jerman, ada realisme di Italia, pemahaman film avant-garde, dan novel-novel Prancis,” saranya.
Penulis: Fathur Rachman