Validasi: Sering Dilupakan oleh Masyarakat Masa Kini

Penyampaian informasi merupakan hal yang lumrah dilakukan pada zaman sekarang. Berkat kemajuan teknologi, masyarakat dapat menerima berita atau informasi dengan mudah.

Masyarakat Indonesia yang bersifat heterogen hampir setiap hari mengonsumsi informasi dari beragam medium penyampai informasi. Medium yang digunakan bisa melalui media sosial, orang ke orang, rumah ke rumah, dan lainnya. Namun, penyebaran informasi yang mudah seperti itu dapat menimbulkan berbagai dilema dan konflik. Permasalahan mulai bermunculan dan ditambah dengan masih rendahnya pemahaman validasi di sebagian besar kalangan masyarakat. Akibatnya, muncul masalah seperti hoaks, misinformasi, penipuan lewat SMS, dan sebagainya.

Kasus yang sering terjadi di masa pandemi ini adalah informasi seputar Covid-19. Dilansir dari situs resmi Ditjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kominfo, Tim AIS Ditjen Aptika Kominfo, menemukan 1.028 hoaks terkait Covid-19 dari akhir minggu keempat Januari hingga 10 agustus 2020. Selain itu, terdapat juga kasus penipuan yang marak terjadi di Twitter dan media sosial lain dengan kedok meminta pertolongan atau kedok lain yang terbilang “kreatif”.

Selain faktor intelektualitas masyarakat, penyampaian informasi tanpa validasi sebenarnya dapat dipicu oleh beberapa faktor. 

Pertama, keterbukaan prinsip informasi yang tidak terbatas. Hal ini menyebabkan timbulnya berbagai opini publik dan tersebarnya informasi yang tidak valid.

Kedua, munculnya berita yang tidak disusun berdasarkan fakta dan mengabaikan prinsip jurnalistik. Hal ini juga dapat menimbulkan opini publik yang negatif serta merugikan masyarakat. 

Berita yang mencirikan dua faktor ini menyebabkan polemik opini “liar” berkembang lewat berbagai informasi dengan sudut pandang saling bersinggungan di kalangan masyarakat.

Ketiga, perkembangan dalam bidang teknologi informasi mengarahkan masyarakat untuk menggunakan media komunikasi yang lebih bersifat pribadi, efektif, dan efisien bagi penggunanya. Kondisi ini mengarahkan masyarakat kepada daya pikat komunikasi melalui internet.

Keempat, pemahaman dan intelektualitas masyarakat yang masih kurang dalam menghadapi banyak informasi dan misinformasi. Hal ini tentunya menjadi masalah yang krusial karena masyarakat berperan sebagai subjek dalam menyampaikan informasi dan juga objek dalam menerima informasi.

Pemahaman yang diterima masyarakat dalam bidang validasi pun masih terbilang rendah. Mudahnya informasi masuk ke media sosial yang dikonsumsi masyarakat membuat sebagian besar dari mereka menyebarkan informasi tanpa mengecek kebenarannya. Sebagai contoh, yakni utas di Twitter yang meminta bantuan warganet dengan jargon “Twitter do your magic”. Utas ini kemudian terungkap sebagai penipuan berkedok meminta tolong.

Hal ini juga terjadi kepada masyarakat yang sudah memasuki usia nonproduktif. Gaptek-nya netizen Indonesia membuat mereka menyebarkan informasi yang belum divalidasi karena mudah terpengaruh kata-kata persuasif melalui informasi dalam berbagai bentuk. Berkaitan dengan hal ini, anak-anak muda usia produktif harus memahami validasi untuk mencegah hal-hal pemicu hoaks tersebar di masyarakat, terutama dalam keluarga mereka sendiri.

Terdapat beberapa cara validasi yang bisa dilakukan oleh berbagai kalangan untuk memastikan kebenaran suatu informasi, salah satunya adalah menguji data.

Menguji data pada informasi dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu observasi, kesaksian, dan otoritas. Observasi dilakukan dengan meninjau langsung bukti yang diketahui untuk memastikan kredibilitas fakta. Berikutnya, kesaksian bisa dilakukan dengan bertanya kepada seseorang yang terlibat dalam bukti, seperti orang yang melihat atau menyelidiki bukti tersebut. Sedangkan otoritas dilakukan dengan meminta pendapat para ahli terhadap bukti tersebut untuk menguji faktanya. Otoritas juga bisa dibilang merupakan kesaksian ahli yang diberikan oleh seseorang, sebuah komisi, atau badan yang berwenang.

Menilai otoritas sebagai pihak yang dimintai keterangan dalam pengujian data dapat dilakukan melalui empat cara. Keempat cara tersebut yakni, tidak mengandung prasangka, pengalaman dan pendidikan otoritas, kemasyhuran dan prestise, serta koherensi dengan kemajuan.

Pengujian fakta juga dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu konsistensi dan koherensi. Konsistensi merujuk pada argumentasi kuat dan persuasif terhadap bukti-bukti yang bersifat konsisten serta tidak ada bukti lain yang dapat melemahkan atau menjatuhkan bukti tersebut. Tahap koherensi yang dimaksud dalam pengujian ini adalah bukti-bukti harus bertolak baik dari pengalaman manusia yang sesuai dengan pandangan ataupun sikap yang berlaku sehingga keabsahan bukti tersebut tidak diragukan lagi.

Dalam menguji data, pendapat otoritas harus murni dari yang bersangkutan dan tidak mengandung prasangka. Lalu, penting untuk melihat latar belakang pendidikan serta pengalaman otoritas dalam bidangnya. Adapun pengujian data dilakukan dengan meminta pendapat otoritas yang masyhur bukan sebatas mereka yang memiliki prestise belaka. Selain itu, pendapat yang diberikan oleh otoritas harus koheren atau sesuai dengan kemajuan zaman, sehingga pengujian fakta sesuai perkembangan zaman sekarang.

Validasi merupakan salah satu cara untuk mencegah tersebarnya hoaks. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tentunya harus diiringi dengan pemahaman validasi informasi. Masyarakat pun memegang peran krusial dan masif dalam proses ini.

Validasi memang hal yang retorik, tetapi manfaat dan akibatnya akan dirasakan sendiri oleh masyarakat. Oleh karena itu, pada era digital ini validasi harus dipahami dan mulai dilakukan seluruh anggota masyarakat.

Penulis: Nizar/Adichandra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *