Foto: Fariza Rizky
Pertengahan April lalu, mugshot challenge sempat menjadi tren di beberapa platform media sosial. Secara harfiah, mugshot ialah foto tampak depan dan samping yang diambil oleh kepolisian untuk proses identifikasi. Oleh karena itu, sebenarnya, mugshot challenge merupakan tantangan untuk berfoto layaknya kriminal.
Awalnya, tantangan ini berkembang di aplikasi Tiktok dengan sebatas riasan maskara luntur dan rambut berantakan. Namun, seiring menyebarnya tantangan ini ke berbagai media sosial, salah satunya Instagram, riasan pada wajah menjadi lebih beragam. Banyak tambahan riasan sebagai bentuk kreatifitas seperti efek lebam, berdarah, dan robek menyerupai orang yang mengalami kekerasan.
“Pertama kali lihat video Tiktok orang di Twitter. Booming habis James Charles ikutan challenge-nya. Awalnya, aku nggak begitu tertarik buat ikutan, tapi karena ada di all over Tiktok dan diajakin bikin jadi yaudah deh,” ungkap Naya saat ditanyai soal keikutsertaannya dalam tantangan ini pada Jumat (17/4).
Tantangan yang kian memenuhi berbagai platform media sosial ini, pada akhirnya memunculkan keresahan bagi sebagian orang. Keresahan dimulai dari anggapan, kalau mugshot challenge merupakan bentuk romantisasi, normalisasi, hingga glorifikasi tindak kekerasan, serta rasa tidak sensitif terhadap korban.
Beberapa orang beranggapan, tantangan ini adalah bentuk kreatifitas semata dalam merias wajah dan tidak ada maksud untuk melanggengkan tindak kekerasan. Sebenarnya, apa alasan mugshot challenge ini dianggap bermasalah?
“Foto mereka babak belur, berdarah-darah, itu bisa ngetrigger korban kekerasan. Gue sebagai korban juga pernah mengalami masa-masa trauma seperti itu,” jelas Nita pada Selasa (28/4) via Whatsapp.
Menurut Tri Iswardani Sadatun, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Presiden EMDR Asia, tantangan ini bermasalah karena skalanya yang kemudian membesar. Hal itu diukur dari berbagai platform media sosial yang sempat dipenuhi oleh foto mugshot challenge.
Keresahan sebagian orang yang menganggap tantangan ini tidak sensitif terhadap korban kekerasan, dibenarkan oleh Dani. Ditinjau dari sisi psikologis, korban kekerasan cenderung memiliki trauma terhadap pengalamannya.
“Trauma itu seperti kondisi when the past becomes the present, itu harus diingat,” ungkap Dani pada Jumat (17/4).
Dani menjelaskan, when the past becomes the present memiliki arti jika korban terpicu (triggered), orang yang memiliki trauma akan merasakan ketakutan yang sama seperti dia baru mengalami kejadian tersebut, walaupun telah terjadi bertahun-tahun yang lalu.
“Trauma itu bisa dipicu sama apa saja yang dianggap memiliki kemiripan yang will remind the victim dengan pengalaman buruknya”, ungkap Dani.
Hal yang dapat memicu trauma bisa berupa apa saja, jelas Dani, mulai dari bau-bauan, tempat kejadian, perilaku seseorang, perkataan tertentu, hingga musik sekalipun, dan tidak terkecuali mugshot challenge.
Riasan lebam, berdarah, dan robek memperlihatkan seolah-olah mereka habis mengalami tindak kekerasan. Hal itu tidak menutup kemungkinan bagi korban kekerasan yang memiliki trauma untuk terpicu kembali ingatannya. Kemungkinan terpicunya, dapat berupa kemiripan luka kekerasan hingga darah sekalipun.
Foto mugshot challenge yang masif beredar di berbagai media sosial, memberikan peluang yang lebih besar untuk memicu ingatan korban kekerasan dengan melihat foto-foto tersebut.
In conclusion, mugshot challenge started turning into a problem since it went viral and was followed by many people.
Editor: Muhamad Arfan Septiawan
Penulis: Putri Indy Shafarina