Unpad Keluarkan Surat Edaran sebagai Respons terhadap Demonstrasi Agustus: Melindungi atau Membatasi?

Unpad

Foto bangunan rektorat Universitas Padjadjaran. (dJ/Alya Chaerani)

“Bikin aturan kok hobinya pake kata-kata yang rancu, mendesaknya juga subjektif,” respons Doni (bukan nama sebenarnya), bagian Kema Unpad terkait isi surat edaran terbaru rektorat, Minggu (31/8). Baginya, istilah itu terlalu kabur. “Nongkrong, kamisan, Perpusjal, konsol, rapat, pasti masuk kategori gak mendesak buat mereka,” lanjutnya.

Kekhawatiran soal tafsir sepihak itu mencuat setelah Rektorat Universitas Padjadjaran (Unpad) resmi merilis Surat Edaran Nomor 3214/UN6.WR1/PK.01.00/2025. Surat tersebut menyatakan perkuliahan dilaksanakan daring pada Senin (1/9). Seluruh aktivitas akademik serta non-akademik di kampus juga dibatasi hingga pukul 16.00 WIB. Lalu poin kelimalah yang menjadi sorotan: 

“Pihak keamanan kampus tetap akan menerima sivitas akademika yang memiliki kegiatan mendesak di atas pukul 16.00 WIB, sepanjang mendapat persetujuan Pimpinan Fakultas/Sekolah atau unit terkait.”

Pihak kampus menyebut kebijakan ini sebagai langkah menjaga keamanan di tengah memanasnya situasi sosial di Jatinangor, Bandung, dan sekitarnya.

Namun, antara keamanan dan pembatasan, ini menimbulkan dilema besar di kalangan mahasiswa: apakah kampus masih menjadi ruang aman bagi mahasiswa, atau justru menjadi tempat yang membatasi pergerakan saat kondisi di luar semakin genting?

Asal-Usul Gejolak

Sebelum surat edaran itu terbit, tensi politik di luar kampus sudah lebih dulu mendidih. Gejolak aksi mahasiswa dan masyarakat pecah setelah kemarahan publik meluas terhadap DPR RI—mulai dari tunjangan fantastis, kinerja legislasi yang jauh dari target, hingga pernyataan elite politik yang memperlihatkan watak oligarkis. 

Puncaknya, insiden tragis menimpa Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob di tengah demonstrasi di Jakarta pada Kamis (28/8).

Kematian Affan turut memicu gejolak solidaritas Keluarga Mahasiswa (Kema) Unpad.

Sedikit berbeda dengan hasil konsolidasi Rabu (27/8) yang bersepakat tidak turun aksi pada hari esok, Kamis (28/9) malam itu Kema Unpad melakukan konsolidasi darurat di Bale Santika. Kema Unpad menyepakati akan melakukan aksi simbolik malam itu juga ke plang Brimob Polda Jabar di Jl. Sayang. Selain itu, mereka juga bersepakat akan turun aksi pada Jumat (29/9) ke Polda Jabar dan DPRD Jabar. 

Kema Unpad bersiap melanjutkan long march di tengah Tugu Makalangan.

Aksi tersebut diawali dengan long march dari Bale Santika menuju Jl. Kolonel Achmad Syam, Cikeruh. Berbagai aksi simbolik dilakukan: berorasi, menyalakan lilin, hingga mengheningkan cipta. 

“Negara kita semakin menunjukkan represivitasnya kepada rakyat. Keadilan bukan untuk rakyat, tapi untuk elite-elite yang ada di sana. Dan polisi hanyalah alatnya,” tegas Ezra Al Barra, Wakil Ketua BEM Unpad pada orasinya.

“Hari ini, kawan-kawan kita ada yang dibunuh di Jakarta. Kawan-kawan kita di Bandung masih ada yang ditangkap dan tidak jelas nasibnya. Untuk itu, saya ingin mengajak kita semua malam hari ini untuk mengheningkan cipta selama satu menit, memberikan hormat kepada kawan-kawan kita yang telah gugur,” lanjutnya.

Belum sampai 24 jam, Kema Unpad, para Ojol, dan mahasiswa lain dari berbagai kampus di Bandung menggeruduk Polda Jabar dan DPRD Jabar. Namun, belum sampai satu jam aksi berlangsung, gas air mata sudah diluncurkan di depan pagar DPRD. 

Massa aksi berlarian menjauh, sebagian ke arah restoran Sambara. Teriakan bersahutan, meminta tolong, sebab gasnya membuat sesak napas, panas tenggorokan, hingga mata perih.

Lalu seusai kepulangan Kema Unpad, sekitar pukul 11 malam, persoalan sweeping aparat beredar luas di grup-grup percakapan mahasiswa. Mulai dari intel yang menyamar di tempat nongkrong, aparat berlalu-lalang sembari menanyakan sipil hendak ke mana, hingga kabar mengenai diizinkannya penggunaan peluru karet oleh Kapolri jika markas polisi digeruduk. 

Keesokannya, Sabtu (30/8), Kepolisian Daerah Jawa Barat bahkan menetapkan Jawa Barat berstatus siaga 1. Situasi yang mencekam ini membuat mahasiswa resah, termasuk Jatinangor—sebagai kawasan mahasiswa—yang ikut dipenuhi aparat.

Kondisi inilah yang kemudian menjadi latar belakang keluarnya Surat Edaran Unpad.

Tangkapan layar surat edaran yang terbit pada Kamis, 31 Agustus 2025 oleh rektorat.

Gelisah di Ruang Akademia

Kritik terhadap frasa “kegiatan mendesak” dan “mendapat persetujuan fakultas/sekolah” bukan hanya datang dari Doni. Jevera, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB), juga menilai aturan itu berpotensi membungkam ruang ekspresi mahasiswa.

“Disitu poin paling rancunya. Banyak hal yang saya yakin pihak kampus nganggep itu gak mendesak, dan gak bakal dikasih izin,” tulisnya, melalui WhatsApp, Senin (1/9). 

“Kebijakan yang ngebatesin akses dan jam ini justru malah bikin kampus kesannya jadi lepas tanggung jawab ketika mahasiswanya butuh tempat aman,” tambahnya.

Padahal, menurut Jevera, di kampus ada ruang-ruang aman untuk mahasiswa bersuara saat maraknya represi aparat, contohnya melalui Kamisan dan Perpusjal.

“Mungkin mereka menilainya tidak sekrusial urusan akademik atau administrasi, padahal bagi banyak mahasiswa, ruang-ruang itu adalah tempat bernafas, berdialog, dan melindungi diri di tengah situasi yang menekan,” jelasnya.

Lalu menurutnya, sebagaimana ruang bernapas, hal tersebut seharusnya tidak perlu ada izin. 

Pandangan senada disampaikan Fani (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Fakultas Farmasi (FF). Menurutnya, keputusan kampus yang membatasi akses justru menihilkan ruang aman. 

“Kegiatan dibatasi sampai jam 4 justru dapat membuat mahasiswa kehilangan ‘tempat aman’ untuk belajar atau berkumpul, karena kemungkinan besar jika dilarang di atas jam 4 mahasiswa akan mencari tempat lain di Jatinangor yang mana tingkat keamanannya tentu tidak sekuat di kawasan kampus Unpad,” tulisnya, melalui WhatsApp, Rabu (3/9).

Sementara, Salsa, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB), lebih menekankan pada atmosfer mencekam di sekitar Jatinangor.

“Perasaan aku sih waswas yaa, takut adaa, karena kan aku dapet info kalo sweepingnya itu asal (ini asumsi aku sendiri yang aku simpulin dari info yg aku terima, kalo sweepingnya asal), yang ga salah juga kena sweeping, salah disini dalam artian orang yang anarkis yaa demonya, terus khawatir juga sama anak2 mahasiswa lainnya, takut jadi korban sweeping,” tulisnya, melalui WhatsApp, Kamis (4/9).

Di tengah keresahan itu, suara rektorat muncul. Inu Isnaini Sidiq, Direktur Kemahasiswaan Unpad, menegaskan, keputusan daring murni demi keamanan. 

“Menyikapi situasi dan kondisi di Jawa Barat termasuk Bandung dan Jatinangor khususnya eskalasi aksi dengan unsur dari berbagai elemen masyarakat dan adanya juga tindakan-tindakan anarkisme, kami memandang pembatasan mobilitas mahasiswa untuk mengikuti perkuliahan secara luring bisa memberikan jaminan keamanan dan juga meminimalisir kekhawatiran orang tua mahasiswa terhadap adanya ekses negatif aksi kepada anak-anaknya,” tulisnya, melalui WhatsApp, Rabu (3/9).

Mengenai frasa “kegiatan mendesak” yang dinilai rancu, ia menampik anggapan itu. 

“Tidak subjektif, karena kami akan menindaklanjuti izin tersebut secara objektif sesuai rekomendasi fakultas terkait substansi dan urgensi kegiatan,” tambahnya.

Lebih lanjut, Ketua BEM Kema Unpad, Vincent Thomas, menegaskan bahwa mahasiswa tidak bisa tinggal diam, pada Kamis (4/9). Ia juga kemudian menilai, SE memang bertujuan meminimalisasi mobilisasi di tengah lalu lalang aparat.

“Mengingat sepanjang perjalanan, khususnya waktu itu di—kalau enggak salah—hari Senin atau di hari Selasa, itu banyak banget lalu lalang Brimob, intel, ataupun segala aparat-aparat yang rasa-rasanya cukup mengancam. Makanya, mobilisasi yang harapannya itu kemudian dikurangi, akhirnya juga disertakan dari surat edaran tersebut untuk meminimalisir kegiatan.”

“Tapi soal akhirnya kampus dibuka sebebas-bebasnya, untuk kawan-kawan mahasiswa yang akhirnya merasa terintimidasi, ketakutan, untuk benar-benar bisa stay safe di kampus, kami sudah memastikan ke pihak rektor dan itu selalu dibuka dan akan selalu diberikan ruang aman untuk teman-teman mahasiswa,” lanjutnya.

Ezra menambahkan, sejumlah fakultas sudah menyiapkan “safe zone” bagi mahasiswa yang merasa tertekan. Tindakan ini dilakukan setelah beberapa mahasiswa Unpad ditangkap polisi dan menjadi korban represivitas aparat.

“Selang 8 jam setelah Aliansi BEM Se-Unpad merilis pernyataan sikap, tepat setelah kami mengungkapkan bahwa Farhan menjadi korban represi aparat, kawan-kawan seperjuangan kami kembali disergap oleh 7-10 personil aparat tak berseragam tanpa prosedur. Mereka menginterogasi di dalam kontrakannya, dan membawa paksa salah satu Kema Unpad tanpa ada surat penangkapan,” tulis akun Instagram @bem.unpad, Selasa (2/9).

Penangkapan paksa salah satu mahasiswa Unpad menjadi peristiwa yang disayangkan dan membuat sivitas akademika merasa marah. Sehingga, pihak BEM Kema Unpad dan rektorat bekerja sama untuk membebaskan mahasiswa yang ditangkap. 

“Proses advokasi dan pengawalan serta pembebasan saudara kawan kita semua itu dilakukan bersama dengan pihak rektorat juga. Kemarin, kami berkoordinasi langsung dengan WR (Wakil Rektor) 1 dan WR (Wakil Rektor) 4 juga yang langsung datang ke Polda untuk melakukan penjemputan,” kata Ezra.

Angin Kebijakan yang Berganti

Kini, beberapa hari berselang, Unpad akhirnya merilis Surat Edaran Nomor 3300/UN6.WR1/PK.01.00/2025 pada Sabtu (6/9). 

Tangkapan layar surat edaran yang terbit pada Sabtu (6/9) oleh rektorat.

Perkuliahan diputuskan kembali dilaksanakan secara luring mulai Senin (8/9), dengan penyesuaian: batas aktivitas kampus diperpanjang hingga pukul 17.00 WIB, sementara evaluasi kebijakan tetap dilakukan sesuai perkembangan situasi. Dengan batas waktu yang sama, sebagaimana dalam poin tiga, Kandaga, terkhususnya lt. 1, memundurkan jam operasinya yang semula hingga pukul 21.00.

Dan berdasarkan kabar terbaru (18/9), pihak kampus, melalui Direktur Pengelolaan Aset dan Sarana Prasarana Edward Henry, merasa keadaan sekarang telah berubah dan akan segera dibuatkan edaran baru.

“Edaran yg kemarin menyangkut eskalasi pergerakan mahasiswa. Sekarang sudah berubah keadaannya. Akan dibuatkan edaran baru. Tunggu saja,” tulisnya, melalui WhatsApp.

Pernyataan itu menunjukkan, dari rektorat akan kembali menyesuaikan kebijakan dengan kondisi terbaru. Di sisi lain, mahasiswa masih menunggu kepastian bagaimana kebijakan berikutnya akan menjamin ruang aman sekaligus kebebasan mereka di kampus.

Penulis: Raffael Nadhef
Editor: Fuza Nihayatul Chusna

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *