Maklumat Makalangan: Alasan Terbit Hingga Pertanyaan Pahit

“Negara memang selalu menciptakan pola: kita versus mereka. Tahun ‘98 adalah pribumi versus Cina. Itu adalah produk dari propaganda-propaganda yang dikeluarkan oleh negara. Padahal, sebenarnya musuh sejati kita adalah negara itu sendiri. 

“Dalam artian, yang kita kritik, yang kita kritisi, kemudian yang kita komentari kebijakan-kebijakannya adalah kebijakan negara. Tetapi, untuk mengalihkan fokus, pandangan, kritis, daya kritis dari masyarakat terhadap negara, maka mereka bukan melawan atau membungkam kritik tersebut secara langsung, tapi mereka mengalihkan tersebut ke musuh-musuh imajiner, ke musuh-musuh semu yang mereka ciptakan sendiri,” kata Aryo, Ketua BEM FH Unpad.

Pernyataan Aryo ini hadir di tengah tensi politik yang kian memanas. Situasi yang sejalan juga mendorong kampus untuk merespons melalui Maklumat Makalangan pada Kamis (4/9), yang dibacakan oleh Ketua BEM Kema Unpad, Vincent Thomas. Dalam maklumat itu, Unpad menyerukan lima poin utama:

1) menghentikan intimidasi dan kekerasan, 

2) mengusut pelanggaran HAM, 

3) memulihkan ruang demokrasi, 

4) mereformasi kebijakan publik, dan 

5) memperkuat tata kelola penegakan hukum.

Maklumat ini juga menjadi respons atas tindakan represif aparat yang menimpa masyarakat dan bahkan beberapa anggota civitas akademika Unpad, termasuk penjemputan paksa seorang mahasiswa Unpad di kontrakannya tanpa surat penangkapan.

“Penangkapan paksa, penjemputan paksa, yang terjadi kepada salah satu mahasiswa merupakan hal yang sangat kami sayangkan dan tentu membuat kami marah—tidak hanya mahasiswa, tapi juga rektorat,” kata Ezra, Wakil Ketua BEM Kema Unpad.

Rektor Unpad, Arif Sjamsulaksan Kartasasmita, turut menyampaikan sendiri duka cita mendalam atas jatuhnya korban jiwa dan luka-luka dalam demonstrasi yang berlangsung sejak Kamis (28/8). Kampus juga mengecam tindakan represif dan berharap agar wilayah kampus tetap menjadi ruang aman dari segala bentuk intimidasi. 

Senada, Guru Besar Unpad Susi Dwi Harijanto menegaskan, ancaman terhadap kebebasan civitas akademika sama saja dengan mengancam kebebasan akademik itu sendiri. 

“Ancaman terhadap kebebasan sivitas akademika adalah ancaman terhadap kebebasan akademik itu sendiri,” kata Susi.

Lalu, Ketua Senat Ganjar Kurnia menyatakan, segala bentuk ancaman terhadap salah satu anggota civitas adalah ancaman bagi seluruh Unpad. 

“Unpad akan berdiri bersama, mengambil langkah hukum, advokasi dan dukungan penuh bagi korban. Solidaritas akademik kami adalah komitmen moral untuk menjaga martabat kemanusiaan, ruang ilmu, nalar kritis, dan marwah pendidikan tinggi Indonesia,” ujar Ganjar.

Aktor di Balik Provokator

Sebagaimana, poin pertama di maklumat, provokator yang melakukan tindak kekerasan maka harus dihentikan. Mencuatnya isu provokator inilah yang menjadi sorotan dalam gelombang demonstrasi, terutama yang memicu kerusuhan dan perusakan fasilitas umum.

Dadang, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad sekaligus pengamat komunikasi politik, melihat fenomena “dalang provokator” ini sebagai bagian dari pola “stimulus dan respons” dalam komunikasi politik, yang sering kali sulit dibedakan mana yang menjadi pemicu dan mana yang menjadi reaksi. 

“Memang kadang-kadang, kita tidak tahu mana yang stimulusnya, mana yang responnya. Apakah yang disarankan oleh pemerintah, gitu ya, itu merupakan respons? Stimulusnya yang mana? Nah, stimulusnya adalah sebuah sebuah aksi demonstrasi, aksi-aksi masa yang lainnya. Tapi juga sebetulnya itu bisa jadi sebetulnya respons juga atas sebuah situasi yang lain. Misalnya tadi, kondisi di DPR gitu kan, ya, kondisi di kondisi di realitas sosial yang lainnya. Jadi antara stimulus dan respon itu menjadi berkaitan.”

Ia menekankan, pemerintah harus melakukan identifikasi yang jelas agar tidak menimbulkan miskonsepsi atau mispersepsi di masyarakat. 

Wacana provokator ini juga diperkuat dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut bagian dari aksi demonstrasi sebagai makar. Sementara, di perbincangan Rakyat Bersuara iNews, tendensi narasi merujuk pada buzer Gibran—misalnya dalam video bertagar BubarkanDPR yang isinya meluhurkan Wapres.

Aryo melihat fenomena tersebut sebagai sesuatu yang patut diwaspadai.

Aryo, Ketua BEM FH Unpad 2025, buka suara tentang tensi politik yang kian memanas. (dJ/AlyaChaerani)

“Bagi saya, sebenarnya terkait dengan dalang dari provokator ini adalah satu mastermind yang mungkin sulit untuk dibuktikan. Kalau kita lihat gerakan demonstrasi 25 Agustus 2025 dengan #BubarkanDPR itu ada ribuan akun yang menyebarkan poster dengan elemen serupa. Akun-akun tersebut tidak punya rekam jejak panjang seperti akun hidup, tapi lebih menyerupai akun ternakan atau akun bodong.”

Lalu terkait makar, ia berpendapat bahwa tuduhan ini mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya—alih-alih meredam situasi, label makar justru dapat menciptakan musuh imajiner yang mengalihkan kritik publik dari negara.

“Ada salah satu istilah yang menyatakan bahwa ini berakar dari false flag operation, di mana, pertama, gerakan rakyat dicap sebagai gerakan yang tidak murni; yang kedua, pelaku dari gerakan yang tidak murni ini bertujuan untuk melakukan makar dan juga terorisme; sehingga yang ketiga, output-nya adalah terciptanya us versus them.”

Senada dengan Aryo, Riko dan Jek—keduanya bukan nama sebenarnya—mahasiswa FH Unpad, menilai pola “musuh bersama” ini sudah digunakan pemerintah sejak tahun 1965 dengan label “komunis” dan “PKI”. Kini, label tersebut bergeser menjadi “anarko” yang kerap disalahartikan sebagai tindakan anarkis. Padahal, menurutnya anarkisme sendiri adalah sebuah ideologi yang jauh lebih holistik daripada sekadar merusak fasilitas umum.

Riko dan Jek menegaskan, perusakan fasilitas umum yang sering dikaitkan dengan provokator justru merupakan puncak akumulasi kemarahan rakyat atas kebijakan yang tidak pro-rakyat. 

Mereka mencontohkan beberapa kasus: tunjangan DPR yang naik di tengah program efisiensi, polemik dana KIP-K yang membuat ratusan mahasiswa terancam berhenti kuliah, dan pengesahan UU TNI yang mengancam supremasi sipil.

Tuntutan Reformasi Menyeluruh

Reformasi kebijakan publik menjadi salah satu poin utama yang disuarakan dalam Maklumat Makalangan. 

Menurut Dadang, reformasi harus dilakukan pada trias politika, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, reformasi ini tidak akan optimal jika tidak ada perbaikan pada akar masalahnya, yaitu partai politik. 

Ia menyoroti bagaimana anggota DPR-RI masih terlalu bergantung pada ketua umum partai politik—sebagaimana kasus Bambang Pacul dengan perampasan aset—dan kurang membuka diri untuk merekrut kader berkualitas dari publik.“Nah, itu mungkin yang harus dikontrol, harus direformasi, harus direstrukturisasi, bagaimana mulai dari rekrutmen resource dari partai itu sendiri yang akan didorong ke legislatif, eksekutif, dan sebagainya.

“Tanpa itu, maka kualitas dan efektivitas dari trias politika itu tidak akan optimal. Apalagi, misalnya keterlibatan masyarakat, keterlibatan publik, atau orang-orang yang punya kualitas tertentu tapi tidak masuk ke dalam radarnya partai, ya tentu, itu menjadi sulit.

“Oleh karena itu, misalnya ada sistem yang harus dibuka, tidak hanya kader partai saja tapi kader-kader dari publik itu justru tugas partai untuk mencari kader-kader yang tidak hanya berasal dari internalnya saja,” kata Dadang.

Selain reformasi kendaraan politik tersebut, Riko menyoroti perlunya reformasi pada lembaga kepolisian, yang dianggap bermasalah dengan sistemnya. Ia mencontohkan Polsek Jatinangor.

“Keresahan kita gitu banyak banget. Misal, motor di sini yang tidak ditindaklanjuti banyak banget, misal pencurian dompet, maling. Bahkan, kekerasan seksual mungkin yang tidak ditanggapi gitu oleh Polsek. Yang mana, alasan selalu sama: ‘SDM kurang, SDM kurang.’ Berarti kan di sini kan ada kejanggalan sistem, gitu, kejanggalan dari sistem kepolisian,” katanya.

Ia menggambarkan reformasi radikal di Georgia tahun 2004: kantor polisi dibuat dari kaca agar transparan dan sistem rekrutmen diubah total. 

“Pada saat presiden yang baru terpilih, dia tuh punya keresahan, kan: ‘Oh, polisi ini banyak yang korup nih.’ Dia tuh akhirnya mengubah habis-habisan sistem rekrutmen anggota baru polisi Georgia. Dan akhirnya mengubah kantor polisi itu jadi kaca semua. 

“Jadi, orang di luar itu bisa ngelihat ke dalam: ‘Apa, sih, yang sebenarnya dilakukan polisi ini?’ Dan sebenarnya kita enggak pernah punya dan kita enggak pernah tahu langkah-langkah radikal seperti itu yang dilakukan di kepolisian kita,” kata Riko.

Jek lalu menambahkan contoh sistem keamanan pada kepolisian Amerika. 

“Kalau di Amerika, pakai kamera nih di dadanya. Dan kalau dimatiin itu kena sanksi orangnya. Jadi, selain dari pabrik produksinya, polisi tersebut harus juga ada keamanan-keamanan yang tetap memastikan polisi ini ngebuat pelanggaran lebih juga kayak tadi yang dibilang kantornya itu terbuat dari kaca, orang-orang bisa ngelihat. 

“Banyak-banyak juga kan akhirnya polisi-polisi yang nangkap orang cuman misal buat melakukan KS ke orangnya nih, ketahuan juga karena kerekam sama kamera semua.”

Menurut Riko dan Jek bahkan usulan terkait syarat pendidikan S-1 untuk polisi tidak akan efektif jika sistem dan “pabrik produksinya” masih bermasalah.

Persis dengan kenyataannya, Aryo turut memberi contoh di lapangan yang membuktikan represivitas aparat kian bermasalah. Menurutnya, kasus meninggalnya Affan, yang kuat indikasinya akibat pelindasan sengaja oleh rantis Brimob, serta tembakan puluhan selongsong gas air mata di lingkungan Unisba dan Unpas oleh aparat menjadi alarm keras.

Lebih dekat dengan Makalangan, intimidasi dan kekerasan juga turut dialami civitas akademika Unpad. Meski tindakan aparat seringkali beralasan “mengamankan” situasi, Dadang menilai tindakan ini seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang lebih persuasif dan humanis. 

“Saya paham juga bahwa ada hal-hal yang harus diselesaikan oleh para aparat itu. Tapi penyelesaiannya itu barangkali masih belum bisa diterima oleh semua pihak. Mereka punya kewajiban, tapi kewajiban itu bagaimana mesti dilaksanakan saya kira masih bisa dilakukan pendekatan-pendekatan yang lebih persuasif lebih humanis.”

Riko dan Jek juga sepakat, tindakan intimidasi dan sweeping yang terjadi, seperti di Jatinangor, membuat situasi mencekam. Namun demikian, mereka berpendapat bahwa rasa takut adalah pilihan dan perjuangan harus terus dilanjutkan demi perubahan. Mereka juga menilai bisa jadi intimidasi-intimidasi ini hanyalah bentuk fear mongering yang bertujuan untuk membungkam pergerakan. 

“Kalau suasana mencekam, ya, gua juga ngerasain mencekam. Cuman kan takut atau enggak itu pilihan: lu mau takut atau enggak. Kalau takut, ya, kapan kita berubahnya gitu, loh. Entar gini aja terus polanya: kita nuntut reformasi, ditakut-takutin, diam lagi. Dibiarin terus dibiarin terus,” kata Jek.

“Sebenarnya gua takutnya ini bentuk fear mongering. Jadi, kita takut gerak segala macam dan akhirnya kan ujung-ujungnya matiin pergerakan juga. Selama kita enggak ngelakuin tindak kejahatan, ya, buat apa kita ngerasa salah gitu ya. Stecu aja lagi,” tambahnya.

Kemenangan akan Kebenaran

Nyala lilin dari civitas Unpad jadi simbol keprihatinan kondisi bangsa. (dJ/RaffaelNadhef)

Meski Maklumat Makalangan tidak secara langsung memberikan tekanan kepada pemerintah, Vincent meyakini bahwa langkah ini adalah bentuk kemenangan kecil ketika masyarakat sadar, bangkit, dan berhenti hidup dalam ketakutan. 

“Kami selalu yakin dan percaya kemenangan terkecil adalah ketika dua tiga orang di samping kiri kanan kita itu sadar, bangun, dan berhenti untuk hidup dalam ketakutan.”

Ezra lalu menambahkan, Maklumat ini merupakan simbol bahwa Unpad siap menyuarakan kebenaran dan perlawanan. 

Dadang juga turut menegaskan, langkah ini dapat menjadi momentum perbaikan bangsa agar tidak hilang begitu saja, karena “yang meninggal” terlalu mahal untuk dilupakan.

Penulis: dJ/RaffaelNadhef

Editor: dJ/DelindaAlifia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *