Fikom Unpad Menuju Zero Food Waste: Jadikan Budidaya Maggot Sebagai Solusi

maggot

Budidaya Maggot alias Black Soldier Fly (BSF) di Belakang Gedung 2 Fikom. (dJ/Namira Wahyudia)

djatinangor.com – Pada proses di balik perubahan besar, seringkali ada kebiasaan kecil yang berubah. Begitu juga perihal sampah yang sering kali dianggap sepele. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa 40% komposisi sampah nasional adalah sampah organik, terutama sisa makanan (food waste). Pada tantangan tersebut, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) mencoba melakukan perubahan proses pengolahan sampah di lingkungan terdekatnya.

Saat ini proses pengolahan sampah di lingkungan Fikom telah berubah, khususnya di area kantin. Sebelumnya tumpukan sampah langsung dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Unpad, tetapi sejak 17 Februari 2025 sudah berubah, Fikom Unpad menginisiasi budidaya maggot alias Black Soldier Fly (BSF) sebagai metode pengolahan sampah organik.

Program ini merupakan kerjasama Fikom Unpad dengan Paguyuban Pegiat Maggot Indonesia (PPMI). Realisasi budidaya Maggot diawali dengan pelatihan intensif 

“Jadi awalnya saya kasih training, terus ya kasih hal-hal yang filosofis gitu ya. Kalau sampah organik itu bagian yang paling besar, terus dia kalau gak diurus bau jadi penyakit. Saya sampaikan itu teoritis, terus praktik deh. Nah sampai sekarang (praktik) nih sudah mau 3 bulan, ” jelas Ketua PPMI, Ardi dalam wawancaranya bersama tim redaksi dJatinangor pada 28/04/2025.

Menurutnya, realisasi budidaya maggot adalah bentuk  kepedulian, upaya edukasi, dan solusi atas permasalahan penumpukan sampah organik di lingkungan kita. Sehingga saat ini sampah organik dari kantin Fikom tidak lagi berakhir di TPA, tetapi dimanfaatkan untuk pakan maggot yang mampu mengurai limbah dalam waktu singkat.

“Belum zero-zero banget, tapi 80% sudahlah. Kalau 80% kita bisa beresin persoalan persampahannya, sebelumnya sudah bagus banget,” jelas Ardi.

Awal Mula Pemanfaatan Maggot di Fikom

Budidaya maggot ini dipelopori oleh Herlina Agustin, Dosen sekaligus peneliti  Komunikasi Lingkungan. Perubahan ini dimulai dari keresahannya pada prosedur pengelolaan sampah di lingkungan Unpad. 

“Awalnya saya merasa resah dengan kondisi sampah di Unpad bukan hanya di Fikom tapi sampah Unpad. Terus ini gimana sih kok Unpad ngelola sampahnya seperti ini ya? Semuanya dikumpulin langsung buang ke TPS tapi udah kayak TPA. Jadi, saya resah gitu,”  tutur Herlina dalam wawancaranya pada 29/04/2025.

Herlina memutuskan untuk memulai perubahan dari lingkungan terdekatnya, yaitu Fikom. 

Udah lah kalo memang ternyata dari universitas belum dibenerin cara pengelolaan sampahnya, saya ngurus sampah saya sendiri aja,” jelasnya. 

Selama ini, upaya yang dilakukan baru sebatas mengangkut sampah ke TPA, belum menyentuh aspek edukasi tentang pemilahan dan perubahan perilaku

“Saya lagi mengukur jika mereka melihat bahwa (proses pengolahan) sampah dari hulu ke hilir ternyata ada manfaatnya, apakah mereka berubah atau masih cuek dalam memilah sampah?,” ujar Herlina. 

Lalu mengapa justru Fikom menjadi pionir budidaya maggot dibandingkan fakultas yang lebih relevan seperti Pertanian dan Peternakan? Herlina juga menjelaskan bahwa tidak ada kendala yang berarti dari pihak Fikom, meskipun sebagian besar dana operasional berasal dari kantong pribadinya. Pada realisasinya Fikom Unpad memberikan dukungan berupa ruangan khusus pengolahan maggot, tepatnya di samping Gedung 2 Fikom Unpad. 

Herlina juga menegaskan bahwa tujuan utamanya adalah mengurangi ketergantungan pada TPA dengan mengelola sampah organik secara mandiri. 

“Kebetulan saya ada di sini. Saya ajukan proposal ke fakultas dan mereka mendukung. Jadi jalan,” ucapnya. 

Herlina menjelaskan bahwa tantangan awal dari pengelolaan sampah adalah proses pemilahan. Meskipun mahasiswa sudah mulai membuang sampah pada tempatnya, perubahan yang lebih dalam tetap diperlukan, terutama dalam mengubah pola pikir dan kebiasaan lama. 

Awalnya ia mendatangi kantin Fikom dan Dapur di setiap kantor Prodi yang ada di Fikom untuk melakukan sosialisasi pengumpulan sampah organik dalam satu wadah lalu dijadikan makanan untuk maggot. Kini, setiap hari ada setoran sampah dari kantin dan dapur setiap prodi.

Menurutnya budidaya maggot bukan hanya mengelola sampah, tetapi untuk mengukur sejauh mana terjadi perubahan perilaku. Sebagai peneliti komunikasi lingkungan, baginya penting untuk memahami apakah pesan yang ingin disampaikan benar-benar sampai dan mampu menggerakan perubahan. 

Sehingga banyak aspek yang bisa dievaluasi dari sisi komunikasi termasuk efektivitas penyampaian pesan. Ia mencoba membuktikan bahwa sampah sebenarnya memiliki nilai ekonomi. 

“Kalau sampah bisa dibuktikan punya nilai ekonomi, maka pemikiran itu bisa ditularkan. Tapi tantangannya adalah bagaimana pesan tersebut dapat benar-benar sampai,” jelas Herlina.

Sampah Organik Dapur (SOD) yang Dimakan Larva (Maggot). (dJ/Namira Wahyudia)

Budidaya Maggot

Sistem budidaya maggot dimulai dengan pengumpulan sampah organik yang berasal dari kantin Fikom, setiap harinya 5kg sampah organis terkumpul untuk dikonsumsi maggot. Maggot merupakan jenis lalat Black Soldier Fly (BSF) memiliki siklus hidup pendek sekitar satu minggu. 

Fase hidup lalat terbagi menjadi tiga, diantaranya: setelah menetas dari kepompong, lalat ini menyesuaikan diri selama 2-3 hari, kemudian memasuki fase dewasa yaitu lalat jantan akan mati setelah kawin dan lalat betina akan mati setelah bertelur. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa tidak perlu khawatir akan terjadinya over populasi lalat BSF karena daur hidupnya yang terbilang singkat.

Lalu, telur-telur dari lalat BSF itu akan menetas dalam tiga hari dan menjadi larva yang biasa disebut sebagai maggot. Semua larva memiliki penanda tanggal agar dapat lebih mudah dipantau pertumbuhannya. Lokasi penetasan harus diperhatikan karena faktor cahaya matahari sangat berpengaruh terhadap hasil.

Ardi (Ketua PPMI) menyangrai Maggot. (dJ/NamiraWahyudia)

Selain itu, Ardi  juga menyampaikan bahwa maggot mengandung 48% protein, 30% lemak, serta berbagai kandungan lainnya sebagai sumber nutrisi yang cukup lengkap. Lalat BSF memiliki ciri yang berbeda dari lalat pada umumnya karena lebih jinak, tidak agresif, dan tidak membawa penyakit. 

Terdapat perbedaan warna antara larva muda dan larva tua, menunjukan bahwa larva yang sudah tua akan mengurangi konsumsi makanannya yakni dari SOD. Hasil budidaya maggot sendiri dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan maggot agar lebih awet dikeringkan dengan metode sangrai yang dapat dijadikan umpan lele atau burung sehingga tidak selalu bergantung pada pelet.

Rencana Pengembangan Budidaya Maggot

Keberadaan program budidaya maggot di Fikom Unpad masih belum banyak terdengar di kalangan mahasiswa.  Tidak semua sivitas Fikom menyadari adanya keberadaannya atau mencium bau dari aktivitas tersebut. 

“Tidak tahu, tidak pernah dengar lagi tentang maggot di sekitar Fikom ataupun dari orang lain dan juga selama saya memutari Fikom itu tidak pernah mencium bau menyengat hingga mengganggu aktivitas perkuliahan saya,” jelas Ratu, Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2023. 

Hal ini terjadi bukan tanpa alasan, Herlina selaku penggagas program memang belum aktif melakukan sosialisasi kepada mahasiswa. 

Nah dengan adanya maggot disini, sebetulnya itu memang saya belum sosialisasikan. Karena ini masih (tahap) percobaan. Saya masih belum ngurus yang anorganiknya, baru yang organiknya di maggot,” ujar Herlina.

Kurangnya informasi yang beredar menjadi tantangan awal dalam mengenalkan inisiatif ini ke lingkungan kampus. Meski demikian, kedepannya Fikom Unpad akan meningkatkan pemahaman dan partisipasi mahasiswa, yang akan dimulai melalui kegiatan sosialisasi pada Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) mendatang.  

“Tapi nanti akan ada program sosialisasi untuk memilah sampah. Nah, jadi saya mau minta bantuan teman-teman BEM untuk bantu sosialisasikan bahwa sampah organik yang mereka buang itu nanti akan dikelola jadi pakan maggot loh. Dan dari maggot itu bisa jadi pakan lele loh,” ungkap Herlina. 

Kedepannya program ini akan dikembangkan dengan rencana pembuatan aplikasi yang terintegrasi sistem pengelolaan sampah. Sehingga stakeholder Fikom Unpad dapat memilah sampah dengan benar dan mendapatkan poin yang bisa ditukar dengan hasil produk budidaya, seperti ikan lele atau telur. 

Rencana ini bertujuan untuk membangun kebiasaan baru sekaligus menciptakan ekosistem yang melibatkan stakeholder Fikom Unpad secara aktif. Meski semua ini masih tahap perencanaan, ia menegaskan bahwa nilai-nilai utama yang ingin ditanamkan tetap berlandaskan pada prinsip 3R: reduce, reuse, recycle. 

Herlina berharap langkah ini mampu membuka jalan bagi perubahan besar dalam budaya pengelolaan sampah dan menjadi model replikasi di seluruh lingkungan kampus. Ia juga mengimbau kepada seluruh sivitas untuk mulai bijak memilah sampah. Jika ada kesulitan dalam membuang sampah organik, maka dapat mengumpulkan ke lokasi budidaya maggot di samping Gedung 2 Fikom Unpad.

Penulis: Namira Wahyudia
Editor: Fatihah N

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *