Ilustrasi mahalnya pendidikan tinggi di Indonesia yang kini hanya menjadi sebatas komoditas yang diperjualbelikan. (Ilustrasi/Canva)
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie menanggapi isu biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi yang semakin mahal dengan menyebut perguruan tinggi adalah kebutuhan tersier atau pilihan yang tidak masuk ke dalam wajib belajar 12 tahun.
Pernyataan tersebut disampaikan Tjitjik dalam acara ‘Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di Lingkungan Perguruan Tinggi’ di Kantor Kemendikbudristek, Jakarta pada Rabu (15/5) lalu. Berdasar pantauan pada Kamis (23/5) siang, rekaman acara tersebut yang sebelumnya dirilis melalui kanal YouTube Ditjen Diktiristek telah dihapus dan tidak bisa ditemukan.
“Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK, itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib,” ucap Tjitjik.
Ia menyebut pemerintah berfokus pada pendanaan wajib belajar yang meliputi pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMA. Sementara, pendidikan tinggi tidak termasuk prioritas karena tergolong pendidikan tersier dan hanya disokong melalui bantuan biaya operasional perguruan tinggi.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo dalam Konvensi XXIX dan Temu Tahunan XXV Forum Rektor Indonesia di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) justru menyatakan kaget rasio penduduk Indonesia berpendidikan S2 dan S3 rendah dibandingkan dengan negara tetangga.
Dikutip dari detik.com, Jokowi meminta para institusi mengoptimalkan pembiayaan pendidikan dan riset tidak hanya dari APBN dan APBD, melainkan juga dari dana abadi yang dimiliki termasuk menghubungkan industri dengan industri melalui matching fund.
Tertiary Education
Menurut The World Bank, Tertiary Education mengacu pada semua pendidikan formal pasca sekolah menengah, termasuk universitas negeri dan swasta, perguruan tinggi, lembaga pelatihan teknis, dan sekolah kejuruan. Pendidikan tinggi disebut berperan penting dalam mendorong pertumbuhan, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan bersama.
The World Bank menyatakan syarat bagi inovasi dan perkembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dapat dicapai melalui tenaga kerja dengan keterampilan tinggi, yang memiliki akses terhadap pendidikan pasca-sekolah menegah.
“Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan dan produktif, memperoleh upah lebih tinggi, dan mengatasi guncangan ekonomi dengan lebih baik,” demikian analisis The World Bank terhadap kebutuhan pendidikan tinggi.
Selaras dengan itu, UNESCO mendefinisikan Tertiary Education sebagai pendidikan yang dibangun di atas pendidikan menengah untuk menyediakan kegiatan pembelajaran di bidang pendidikan khusus. Hal ini ditujukan untuk memperoleh kemampuan spesialisasi yang tinggi yang juga mencakup pendidikan profesional.
Berdasar pada kedua definisi yang disebutkan, tidak ada sama sekali yang mendefinisikan tertiary education sebagai pendidikan yang bersifat pilihan. Alih-alih, kesimpulan yang bisa diambil adalah Tertiary Education dapat memberikan peluang bagi masyarakat untuk mendapat pekerjaan yang lebih produktif dan perekonomian yang lebih baik.
Kesalahan Tjitjik dalam mereferensikan pendidikan tinggi sebagai tertiary education menunjukkan tak selarasnya definisi yang dimaksud oleh para pejabat Kemendikbudristek dengan definisi sebenarnya, seperti yang dirujuk UNESCO maupun The World Bank. Kesalahan pemikiran tersebut lantas menjadi akar buramnya solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah biaya pendidikan tinggi di Indonesia yang semakin melesat.
Realitas Dunia Kerja Indonesia
Tak hanya pernyataan Tjitjik berbanding terbalik dengan definisi sebenarnya, pernyataan tersebut juga jelas menunjukkan minimnya kesadaran para pejabat Kemendikbudristek terhadap realitas dunia pekerjaan di Indonesia saat ini.
Padahal, saat ini mayoritas perusahaan menerapkan syarat minimal jenjang pendidikan Vokasi ataupun Sarjana dalam lowongan pekerjaan. Bahkan, menjadi rahasia umum bahwa lulusan sarjana pun seringkali dihadapkan dengan tantangan serupa, yaitu kesulitan mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Terlebih, jika memperhatikan standar kelayakan upah bagi para pekerja di Indonesia.
Tangkapan layar beberapa lowongan kerja Indonesia yang membutuhkan syarat gelar Sarjana.
Badan Pusat Statistik juga merilis data yang menunjukkan bahwa angka pengangguran terbuka di Indonesia bagi angkatan kerja di level pendidikan Sarjana lebih jauh lebih rendah dibanding level pendidikan sekolah menengah.
(Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia)
Data di atas mengindikasikan kurangnya penyerapan dan penawaran tenaga kerja pada lulusan pendidikan tingkat menengah. Terlihat lulusan SMA Umum dan Kejuruan selalu menempati dua peringkat teratas kelompok dengan tingkat pengangguran tertinggi.
Data tersebut menggambarkan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi setelah menempuh pendidikan menengah dapat memberikan kesempatan kerja yang lebih maksimal bagi angkatan kerja di Indonesia, terutama generasi muda.
Tingkat Pendidikan Indonesia di Dunia
Pernyataan bahwa pendidikan tinggi hanya bersifat pilihan pun menggambarkan kepasrahan Kementerian yang menyandang kata ‘Pendidikan’ dalam namanya. Klaim ini memperjelas posisi para pejabat yang secara nyata tak benar-benar memperjuangkan pemerataan pendidikan tinggi di Indonesia.
Padahal, masalah Indonesia saat ini bukan hanya pada kualitas institusi pendidikan tingginya, melainkan pada pemerataan dan aksesibilitas perguruan tinggi yang masih sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
Berdasarkan data worldtop20.org, tingkat pendidikan Indonesia 2024 berada pada posisi ke 67 dari 203 negara. Worldtop20.org adalah situs yang rutin membagikan peringkat pendidikan di berbagai negara. Salah satunya proyeknya adalah The World Top 20 Education Poll yang memberikan peringkat internasional tahunan dari 20 sistem pendidikan terbaik di 209 negara. Data diambil dari organisasi internasional di antaranya the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Programme for International Student Assessment (PISA), the United Nation’s Economic and Social Council (UNESCO), The Economist Intelligence Unit (EIU), the Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) and Progress in International Reading Study (PIRLS).
Penilaian diambil dari lima tingkatan pendidikan, yaitu Tingkat pendaftaran sekolah anak usia dini, tingkat penyelesaian Sekolah Dasar, tingkat penyelesaian Sekolah Menengah, tingkat kelulusan SMA dan tingkat kelulusan Perguruan Tinggi. Hasilnya, Indonesia masih jauh di bawah 20 besar dengan pendidikan terbaik di dunia.
(Sumber: worldtop20.org)
Kewajiban pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi pendidikan pun telah tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Artinya, warga negara memiliki hak yang penuh untuk menagih kewajiban tersebut. Jika perguruan tinggi adalah kebutuhan tersier, maka pendidikan tidak lagi menjadi hak bagi seluruh warga negara Indonesia, melainkan ditujukan pada “konsumen” tertentu.
Kini, klaim Kemendikbudristek semakin melanggengkan anggapan bahwa pendidikan kian diperjualbelikan dan menjadi urusan pasar. Hanya mereka yang mampu yang berhak mendapatkannya dan pendidikan bukan lagi hak warga negara yang dijamin oleh negara, melainkan sebatas komoditas yang diperjualbelikan.
Redaksi