[Resensi] Memaknai Puasa dari Kacamata Al-Ghazali

Judul: Rahasia Puasa & Zakat (terjemahan dari Asrar Ash-Shaum dan Asrar Az-Zakat)
Penerjemah: Muhammad Al-Baqir
Penulis: Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali
Penerbit: Penerbit Mizan, Jakarta Selatan
Berat: 160 Gram
Tebal Buku: 192 Halaman
Harga : 15.000 – 30.000

Ghazali meyakini bahwa tiap-tiap ibadah mempunyai aspek dhahir dan batin, termasuk ibadah puasa. Ghazali menjelaskan tentang ibadah puasa dalam masterpiece-nya yaitu Ihya Ulumuddin, khususnya pada bagian Asrar Ash-shaum. Muhammad Al-Baqir membagi Asrar Ash-Shaum menjadi tiga bab. Dalam tiga bab tersebut, Al-Ghazali menjelaskan ibadah puasa dari aspek lahiriah dan batiniahnya.

Maqam Puasa

Pada bagian awal, Ghazali menjelaskan tentang kedudukan puasa dalam Islam. Dia menyimpulkan bahwa puasa merupakan seperempat dari iman seorang muslim. Kesimpulan itu dia dapatkan dari dua hadis Nabi Muhammad. Pertama, hadis “Puasa adalah setengah dari sabar”. Kedua, hadis “Sabar adalah setengah dari iman”. Dari dua hadis tersebut, maka Ghazali menyimpulkan bahwa kedudukan puasa adalah seperempat dari iman.

Jadi, puasa, sabar dan iman itu tidak bisa dipisahkan, ketiganya saling berkaitan. Orang yang berpuasa mensyaratkan kesabaran dan keimanan. Orang yang sabar pasti melakukan puasa dan beriman. Begitu juga dengan orang yang beriman, pasti mempunyai sifat sabar dan bersedia untuk berpuasa. Sehingga kedudukan puasa adalah seperempat dari iman karena orang yang berpuasa pasti (harus) orang yang sabar dan beriman.

Keistimewaan Ibadah Puasa

Selanjutnya, Ghazali menjelaskan tentang keistimewaan ibadah puasa dibandingkan dengan ibadah lainnya. Dalam menjelaskan hal tersebut, dia memakai perumpamaan Ka’bah dan tempat lainnya. Ka’bah secara langsung diberi gelar oleh Allah sebagai rumah-Nya, meskipun pada hakikatnya seluruh permukaan bumi milik-Nya pula. Begitu juga dengan ibadah puasa dan ibadah yang lainnya. “Meskipun dapat dikatakan bahwa, pada hakikatnya semua ibadah milik Allah”, tapi setidaknya ada dua variabel maknawi yang membedakan antara puasa dan ibadah lainnya, yaitu:

Pertama, puasa adalah satu-satunya ibadah yang verifikasi pastinya itu hanya yang melakukan dan Allah yang tahu. Tidak ada orang lain yang mengetahui secara pasti bahwa seseorang itu sedang berpuasa atau tidak. Misal, bisa saja orang yang tidak berpuasa tetap ikut berbuka dan sahur bersama orang lain sehingga dianggap sedang berpuasa dan tidak diketahui orang lain bahwa dia sebenarnya tidak berpuasa. Sehingga ibadah puasa itu sifatnya sangat subjektif, orang lain tidak bisa menilai secara pasti.

Makna kedua, puasa adalah ibadah yang terang-terangan atau secara jelas melawan setan, menyisihkan hawa nafsu keduniawian, dan hasrat jasmaniah yang dangkal. Puasa hanya satu-satunya yang secara eksplisit melawan hawa nafsu, melenyapkan dimensi setan yang ada dalam diri manusia. Istilah populer bahwa pada saat bulan Ramadan itu semua setan terbelenggu, sebenarnya adalah isyarat bahwa ketika orang berpuasa maka otomatis setan (hawa nafsu) akan terbelenggu.

Klasifikasi Tipe Orang yang Berpuasa

Pada bab ketiga, Ghazali mengklasifikasikan tipe orang yang berpuasa menjadi tiga, yaitu puasa orang awam (umum), orang khusus, dan orang khusus dari yang khusus (khowasul khowas).

Puasa orang awam adalah orang yang mencegah perut dan kemaluan dari memenuhi keinginannya. Maksudnya, orang yang tidak makan, minum dan melakukan hubungan seksual. Puasa orang awam hanya berhenti pada dimensi fisik saja. Kekurangannya mereka hanya mendapatkan lapar dan haus dalam berpuasanya. Mereka tidak mendapatkan manfaat atau hikmah dari puasa.

Puasa orang khusus adalah orang yang tidak hanya mencegah perut dan kemaluan saja, tapi ditambah dengan mencegah mata, mulut, tangan ataupun anggota badan yang lainnya. Misalnya, tidak membicarakan sesuatu yang jelek seperti menggunjing atau tidak mendengarkan sesuatu yang tidak penting seperti mendengarkan gosip. Ini juga hanya berhenti pada dimensi fisik saja, meskipun ada nilai tambah yaitu menjaga anggota badan secara keseluruhan dari melakukan sesuatu yang buruk atau tidak penting.

Puasa orang khowasul khowas adalah orang yang berpuasa hatinya dari keinginan yang hina, bersifat keduniawian ataupun yang lainnya yang selain Allah. Mereka tidak berhenti pada dimensi fisiknya, tapi juga berpuasa dalam dimensi batiniahnya. Mereka tidak hanya menahan lapar, haus, atau menjaga anggota badannya, tapi juga menjaga hatinya dari niat yang buruk. Orang yang bisa mencapai derajat ini adalah para Nabi, para Shadiqqin, dan para auliyaallah atau orang-orang yang dekat dengan Allah.

Bagi Ghazali, puasa itu tidak hanya pada dimensi lahiriah saja tapi yang lebih hakiki adalah dimensi batiniahnya. Orang yang berpuasa secara serius parameternya adalah pengendalian hawa nafsu yang baik, mempersempit hasrat keduniawian semata dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Namun, bukan berarti dimensi fisik ditinggalkan tapi tidak berhenti disana. Tidak berhenti pada kulitnya saja, tapi juga masuk ke dalam isinya. Disisi lain, untuk masuk pada dimensi isi, pastinya harus melewati kulitnya terlebih dahulu.

Sebagaimana yang diingatkan Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan Imam Nasa’i dan Ibnu Majah: “Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Penulis: Yoga Firman Firdaus
Editor: Ridho Danu Prasetyo

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *