Masyarakat Jatinangor yang Dibodohi di Kawasan Pendidikan

Kecamatan Jatinangor dikenal sebagai kawasan pendidikan karena terdapat banyak perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang dibangun di wilayah yang masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Sumedang ini.

Kecamatan Jatinangor berbatasan langsung dengan Kota Bandung, karena pesatnya perkembangan dan peningkatan jumlah mahasiswa dari seluruh penjuru negeri yang sudah tidak dapat ditampung oleh Kota Bandung karena keterbatasan lahan, menyebabkan pemerintah daerah mengambil kebijakan untuk memindahkan sebagian aktivitas perguruan tinggi ke pinggiran kota Bandung.

Sesuai dengan rencana jangka panjang pemerintah Jawa Barat dipilihlah Jatinangor sebagai kota satelit kawasan pendidikan tinggi di Jawa Barat. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No.583/SK-PIK/1989 tentang penetapan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi.

Setelah ada kebijakan tersebut maka empat perguruan tinggi dari Bandung dipindahkan ke kawasan Jatinangor yaitu : Universitas Padjadjaran (UNPAD) di Desa Hegarmanah dan Desa Cikeruh, Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) yang sekarang menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Desa Cibeusi, Akademi Koperasi (AKOP) yang sekarang menjadi Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN) di Desa Cibeusi, dan Institut Teknologi Bandung (ITB) di Desa Sayang. Sebelumnya kompleks kampus ITB Jatinangor merupakan kompleks kampus Universitas Winaya Mukti (UNWIM).

Pada awal tahun 1980an secara tiba-tiba banyak warga lokal yang menjual tanahnya kepada para pebisnis dan pejabat dari luar daerah dengan harga yang cukup tinggi untuk harga pasaran saat itu. Tentu saja masyarakat tergiur untuk menjualnya karena tawaran harga yang tinggi.

Masyarakat sebenarnya tidak banyak mengetahui apa yang akan direncanakan oleh pemerintah berkaitan dengan wilayah di Jatinangor, masyarakat hanya menyangka akan ada perluasan lahan perkebunan karet yang menurut mereka memang sudah tidak produktif lagi.

Namun ternyata wilayah Jatinangor hari ini bukanlah sebagaimana yang mereka bayangkan puluhan tahun lalu. Perkebunan pohon karet dan tembakau yang dahulu memenuhi wilayah ini kini berubah menjadi hutan beton di mana banyak bangunan-bangunan tinggi seperti kampus, apartemen, aparkost, mall dan ruko-ruko dengan berbagai macamnya.

Data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang tahun 2016 menyebutkan bahwa, “Terjadi penurunan jumlah petani dan buruh tani di Desa Cibeusi. Pada tahun 1991 petani dan buruh tani di Desa Cibeusi berjumlah 541, namun pada saat tahun 2015 menjadi 157”. Itu menunjukkan adanya perubahan perilaku atau mata pencaharian dari warga asli jatinangor, pasca penetapan wilayah Jatinangor sebagai kawasan pendidikan.

Jika diperhatikan secara kasar, tentu hal ini dapat menguntungkan bagi masyarakat sekitar, dari mulai adanya akses sarana-prasarana yang dibangun ini tentu memudahkan masyarakat dalam kegiatan sehari-hari, seperti akses jalan raya, jalan tol, pusat perbelanjaan dan sarana kesehatan. Bahkan hadirnya beberapa kampus di Jatinangor juga dapat menambah lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal.

Unpad contohnya, sebagian besar petugas keamanan, kebersihan dan pegawai teknis non akademik banyak berasal dari warga sekitar jatinangor. Tidak sedikit warga merasa diuntungkan dengan perubahan yang terjadi di Jatinangor dalam 50 tahun terakhir.

Namun manfaat-manfaat ini sayangnya tidak dirasakan oleh seluruh masyarakat, ada beberapa kalangan yang justru merasa dirugikan, misalnya buruh-buruh tani yang tidak memiliki kompetensi lain selain bertani. Mereka kehilangan lapangan pekerjaan karena lahan garapan milik tuan-tuan tanah kini sudah berubah menjadi bangunan-bangunan bukan lagi lahan sawah dan perkebunan.

Pembangunan sarana dan prasarana yang secara manfaat sangat dibutuhkan untuk kepentingan umum juga terkadang menyisakan dampak buruk yang dirasakan oleh warga sekitar.

Misalnya warga Cilayung di sekitar Gerbang Tol Jatinangor, menurut pengakuan salah satu warga, selama pembangunan jalan tol banyak kendaraan-kendaraan berat yang berlalu lalang untuk mengangkut material dan merusak jalan desa yang digunakan oleh masyarakat lokal setiap harinya. Sampai akhirnya proyek jalan tol selesai, kerusakan akibat pembangunan jalan tol masih belum diperbaiki.

Belum lagi pembangunan yang dilakukan oleh pihak swasta, misalnya warga Desa Caringin di sekitar lokasi pembangunan salah satu Apartemen yang kini mengeluhkan cuaca di sekitar menjadi panas akibat adanya pembangunan apartemen tersebut. “Uang gandeng” yang dijanjikan oleh pengelola kepada warga sekitar ketika mengurusi perizinan awal pembangunan tidak sampai kepada warga hingga hari ini.

Apalagi untuk apartemen yang menggunakan lahan pertanian dulunya, masyarakat kerap kali mengeluhkan berkurangnya pasokan air, akibat penggunaan sumur bor oleh apartemen yang menyebabkan sirkulasi air ke rumah-rumah warga menjadi terganggu.

Menyikapi hal ini, perlu adanya upaya pencerdasan guna meningkatkan kualitas SDM di kalangan masyarakat agar mampu memahami setiap rencana pembangunan yang ada beserta dampak yang mungkin didapat. Masyarakat juga sebaiknya tidak mudah tergiur dengan iming-iming atau kompensasi yang dijanjikan dari pihak yang melakukan pembangunan.

Selain itu, masyarakat juga perlu menjalin komunikasi, konsolidasi, dan perbincangan terkait masalah izin pembangunan yang berjalan secara transparan dan jujur. Hal ini sebenarnya perlu dilakukan pihak masyarakat dan pihak pelaku pembangunan. Hal ini juga bisa terwujud jika adanya sosialisasi dari pihak bersangkutan yang berjalan baik.

Masyarakat juga perlu mendapat sosialisasi AMDAL serta hal-hal terkait dampak dan risiko yang mungkin dihadapi terutama bagi lingkungan di Jatinangor sewaktu pembangunan terjadi. Saat ini, masyarakat mulai jarang mendapatkan hal tersebut.

Sejauh ini, selama penulis berkeliling dan mewawancarai warga lokal di berbagai wilayah di Jatinangor, masih banyak masyarakat yang tidak mengerti apa itu Amdal dan apa rencana pemerintah terkait pembangunan jangka pendek maupun jangka panjang di Jatinangor.

Hal ini tentu sangat disesali oleh penulis, warga yang tinggal di kawasan pendidikan, di mana bukan sembarang perguruan tinggi tetapi perguruan tinggi-perguruan tinggi ternama dan menghasilkan banyak lulusan terbaik yang kini menjadi orang-orang terpandang di Indonesia tetapi kehidupan warga di sekitar kampusnya tidak menjadi perhatian.

Tahun ini Jatinangor kembali kedatangan tamu, yaitu mahasiswa-mahasiswa baru dari berbagai penjuru negeri. Kehadirannya harus dibersamai sejak awal dengan semangat pembangunan dan perbaikan.

Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang masih memercayai mahasiswa sebagai tonggak perubahan dan menjadi sosok-sosok yang dianggap mampu memperjuangkan hak-hak masyarakat.

Namun, ironisnya banyak dari mahasiswa hari ini yang mulai kehilangan daya kritisnya dan sibuk dengan gaya hidup hedonis, sehingga kepeduliannya terhadap masyarakat berkurang. Jangankan memperjuangkan, mendengar aspirasi dengan cara sekadar berbaur dengan masyarakat saja sudah jarang.

Saya teringat dengan salah satu pernyataan dari Presiden Soekarno, “Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang memikirkan diri sendiri”.

Seandainya beliau masih hidup hari ini, mungkin beliau akan sangat kecewa melihat banyaknya mahasiswa yang semakin pintar tetapi hanya sedikit yang memiliki rasa kepedulian yang tinggi, karena kepintarannya hanya untuk kepentingan perutnya sendiri.

Sebagai salah satu mahasiswa yang juga berkuliah di salah satu kampus di wilayah tersebut penulis berharap adanya kepekaan dan kesadaran dari para mahasiswa yang berada di sekitar Jatinangor untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak menjadi korban dari setiap pembangunan maupun kebijakan yang dapat merugikan mereka.

Selain daripada sosialisasi, mahasiswa juga dapat menjadi penyambung lidah dan membantu mengadvokasikan keluhan-keluhan yang ada di masyarakat dan membersamai masyarakat dalam mencari keadilan dan jalan keluarnya.

Jangan sampai, wilayah yang menjadi kawah candradimuka, menjadi kawasan yang menghasilkan intelektual-intelektual yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi tetapi warga sekitarnya justru tidak menikmati itu, bahkan dengan mudahnya dibodohi oleh pihak-pihak yang mampu mengintervensi dan mengeksploitasi kawasan tersebut.

Ditulis Oleh : Yaser Fahrizal Damar Utama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *