Minimnya Edukasi Mahasiswa Terhadap Kucing di Unpad

Djatinangor, Bandung – Pulang berkegiatan di sore hari, Shafira berjalan menyusuri jalanan di pinggiran Arboretum, Unpad. Tiba-tiba, Ia melihat seseorang melemparkan seekor kucing begitu saja ke dalam Danau Arboretum. Dengan segera ia selamatkan kucing tersebut dan untungnya nyawa kucing masih dapat diselamatkan.

Leader Komunitas Sastranekochan, Shafira Ananda masih ingat betul kejadian nahas itu. Ia menduga jika oknum yang melempar kucing tersebut ialah mahasiswa karena merangkul totebag dan buku. Lalu, dengan bantuan alat-alat seadanya, Ia mampu membantu kucing itu keluar dari danau akibat kegilaan sikap seorang manusia.  

Melihat minimnya edukasi terhadap kucing, ia dengan getar mengatakan bahwa perlu adanya edukasi untuk mahasiswa menyikapi kucing-kucing yang ada di Unpad, Jatinangor.  Ia juga menekankan bahwa kucing makhluk yang tidak seharusnya didiskriminasi.

“Jadi saya juga mau memberi edukasi gitu, bukan sekitar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) saja kalau kucing itu bukan benda najis  dan gak seharusnya kalian buang ke Arboretum. Kalau gak suka sama kucing ya udah gitu jangan berbuat jahat,” ujar Shafira dalam wawancaranya dengan pihak Djatinangor.

Sastranekochan sendiri merupakan gerakan yang bentuknya komunitas, khususnya dibuat untuk lingkungan FIB Unpad. Komunitas ini juga terikat dan terlatih bersama dengan akun kucing yang lain sama seperti Kucing ITB dan Kucing Kitty Nangor.

Mahasiswa Sastra Jepang, Kevin Ezra Alsyafa turut mendukung keberadaan Sastranekochan di Fakultasnya. Dengan adanya komunitas ini ia mengaku jika akun sosial medianya dapat melepas penat sehabis mengikuti perkuliahan. Ia juga mendukung komunitas ini karena dapat menambah wawasan baru mengenai kucing di kampus.

“Karena saya suka kucing dan kebetulan akun Sastranekochan itu fokus terhadap kucing-kucing yg berada di Fakultas saya. Jadi bisa lihat dan tau kucing yang ada di Fakultas,” jawab Kevin.

Selain itu, Shafira juga menjelaskan jika Sastranekochan memiliki grup besar komunitas kucing seluruh Indonesia, tetapi berskala kampus saja. “Walaupun cuman universitas ajah, kita juga suka bantu komunitas kucing-kucing lain kayak cat lovers Jakarta ataupun Bandung. Lalu, ruang cakupan kita tuh luas dan suka ngasih bantuan lain yang memang lebih penting,” tambahnya.

Namun, permasalahan tak kunjung berhenti pada individu yang minim edukasi. Adapula larangan memelihara kucing di kampus yang berlaku di kampus ITB dan ITS. Melansir dari Genecapos, petugas keamanan kampus melaporkan perintah langsung dari Direktur Sarana dan Prasarana Herto Dwi, Ariesyady terkait larangan pemberian makan kucing agar hewan tersebut keluar dari kampus dan mencari makan di luar, karena dinilai membawa penyakit.

Menanggapi hal tersebut, Shafira merespons dengan jawaban yang netral. Ada dua sisi kemungkinan, yaitu baik dan buruknya. Ia berujar bahwa kampus mengeluarkan kebijakan tersebut karena ingin menyelamatkan kucing berkeliaran, tetapi di lain sisi ia menganggap kalau ada alternatif lain yang dapat dilakukan kampus selain melakukan kebijakan tersebut.

“Mungkin kampusnya ingin bersih dari kucing. Saya juga ga tau tujuan awalnya apa. Kalau pembersihan kucing dari kampusnya mungkin itu kebijakan dari kampusnya sendiri yang ingin mengurangi kecelakaan kucing. Misalnya, seperti yang suka ditabrak atau mengurangi bulu rontok tersebar, tapi sebenarnya kalau kita rawat terus ya nggak akan rontok,” tanggapnya.

Hambatan dari kampus pun diterima oleh Ketua Komunitas Kucing Universitas  Gadjah Mada (UGM), Damar paramananda yang mengalami kebijakan pembersihan kucing di UGM. Ia pun menyebut beberapa fakultas yang menurutnya kurang ramah kucing.

“Kalau dari UGM sendiri ada beberapa Fakultas seperti di sekolah Vokasi Dekannya kurang ramah dengan kucing dan ingin kampus itu bebas dari kucing. Jadi solusinya beberapa kucing dipindahkan ke Fakultas sebelah. Dulu juga ada di Fakultas Teknologi Pertanian itu pun Dekannya gak setuju kalau kampusnya ada kucing atau kata lainnya ingin bersih dari kucing,”

Dari laporannya, Ia juga menyayangkan sistem civitas akademikanya yang kurang ramah dengan keberadaan kucing karena sering mengganggu orang makan. Sehubung dengan itu, Damar mengaku bahwa keberadaan Kucing Kampus UGM memberikan dampak yang setidaknya baik untuk mahasiswa.

“Lama kelamaan semenjak ada gerakan dari kami, sebelum jadi komunitas itu banyak mahasiswa di UGM yang belum mengerti menjadi teredukasi karena gerakan kami seperti terhadap kucing liar itu. Kami juga rutin dan yang penting konsisten, hasilnya pun orang orang jadi penasaran, terus mereka juga terdorong untuk jadi lebih peduli dengan keberadaan kucing-kucing yang ada di kampus,” jelas Damar.

Awalnya, komunitas ini dibuat oleh mahasiswa dari Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun 2017. Damar lalu ikut aktif dalam keanggotaan dan kegiatan tersebut. Ia lalu menjelaskan lebih detail perihal apa saja rutinitas yang dilakukan dalam komunitas ini.

“Nah, terus saya berinisiatif untuk bergabung bersama mereka dan mengajak berkegiatan bersama mereka seperti: melakukan street feeding, sterilisasi dan rescue. Pada saat itu kan kondisi-kondisi di kampus ada beberapa yang kurus dan penyakitan,” tutur Damar.

Malangnya, rutinitas tersebut tidak dapat berjalan lurus sesuai rencana. Damar perlu memutar otak agar dapat beradaptasi dengan peraturan yang berlaku di saat pandemi Covid-19. Gerak-gerik Kucing Kampus UGM pun tentunya terkena dampak dan hambatan seperti rutinitas memberikan makan dan lain halnya.

“Kendala yang dirasakan saat ini kan akses masuk kampus dibatasi juga kan untuk UGM itu sendiri dan kami hanya bisa melakukan street feeding itu sendiri setiap sebulan sekali sebelum corona, tapi sekarang juga sama cuman pada hari biasa kan mahasiswa yang bukan anggota atau yang ingin sekadar memberi makan kucing itu gak ada. Jadi kalau sekarang hanya bisa menitipkan ke satpam-satpam di setiap Fakultas,” ujarnya.

Hal serupa juga dirasakan oleh Sastranekochan yang perlu beradaptasi ketika pandemi. Meskipun banyak hal yang perlu dilakukan, namun menurut Shafira rutinitas cukup berjalan baik.

“Kalau offline sama online yang sama paling ngasih makan kucing sih, untuk yang berbeda paling pas offline itu saya suka mandiin kucing kalau memang kotor seminggu sekali satu-satu mandinya di Fakultas kadang juga di kosan saya sendiri. Kalau di Fakultas, sih, airnya juga terbatas dan untuk di Sastra Jepang sendiri toiletnya cuman sampai sore saja,” ujar Shafira.

Kembali ke permasalahan edukasi kucing, Shafira berharap ada suatu dorongan bagi mahasiswa Unpad agar memiliki rasa kemanusiaan terhadap kucing di Unpad baik itu masa pandemi ataupun tidak.

“Sebenarnya gini, baik itu online atau offline kita mengedukasi pasti basisnya media sosial karena media sosial pun dilihatnya sama umum gitu. Tapi, kalau offline pun saya pasti langsung menegur di tempat. Misalnya ada yang memukul atau menendang kucing, saya sering menasehati langsung kalau itu sama-sama mahkluk hidup jangan gitu lah, kita juga sama sama hidup di sini,” ujar Shafira.

Penulis: Fathur Rachman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *