Bagi beberapa orang, kamar merupakan tempat paling aman yang ada di dunia. Aku adalah salah satu dari beberapa orang itu. Bagiku, kamar ibarat tempat di mana aku bisa melepas penat dari berbagai kepura-puraan yang aku lakukan dan hadapi di luar sana. Ruangan yang terkadang berbentuk persegi panjang atau segi empat ini seringkali menjadi satu-satunya tempat di mana aku bisa menjadi diri sendiri, karena setidaknya di sini aku mendapatkan privasi yang sudah direngut oleh segala hal yang dilakukan di luar sana.
Kamar mana pun, sebenarnya bisa jadi ‘emergency room’ yang aman bagi kita yang butuh tempat persembunyian. Namun menurutku, kamar kost berukuran 4×3 meter yang bertembok putih dan terletak di lantai dua sebuah rumah kost itu adalah kamar ‘teraman’ yang pernah ada di dunia.
Ia bagaikan saksi bagaimana kehidupan awal kuliahku yang begitu bising dengan segala ajang menata diri agar dianggap sebagai seorang mahasiswa yang ‘branded’. Ia juga jadi saksi malam-malam di mana aku terjaga karena tugas-tugas sialan yang mau tak mau harus dikerjakan demi mendapat gelar dan membanggakan keluarga di tempat asal.
Sayangnya, sudah hampir setahun ini, kamar itu tak tersentuh tangan manusia. Isinya hanya beberapa barang yang sengaja ditinggal di sana. Hal ini dikarenakan oleh pandemi yang melanda sehingga aku harus kembali terlebih dahulu ke kamar asal. Entah bagaimana kabarnya saat ini, apalagi buku-buku yang lupa (ini murni aku lupa) tak terbawa. Semoga saja tidak termakan jamur karena sayang uang jatuhnya. Maklum, aku harus menabung beberapa bulan untuk membeli buku-buku itu.
Kalau dipikir-pikir, kamar ku saat ini yang merupakan kamar asalku rasanya jauh berbeda dengan kamar kost-ku di sana. Di sini, aku merasa seperti sedang singgah di tempat pemberhentian. Kamar ini juga tidak terlalu memberikan kenyamanan yang sama seperti kamar kost-ku karena entitas kamar ini melekat dengan sebuah bangunan yang disebut ‘rumah’, menjadikan ia tidak terlalu mempunyai privasi karena katanya tak harus ada sekat dalam keluarga. Setahun ini rasanya berdiam diri di kamar tak memberi efek yang aman bagiku si penganut keyakinan ‘kamar adalah tempat teraman di dunia’. Ingin diri ini untuk ‘pulang’ sebentar saja ke kamar kost itu, sayangnya ibunda tak mengizinkan karena riskan. Iya juga sih, lagi pandemi gini ingin keluar kota. Duh, Ann!
Tapi ya bagaimana, aku tergugah. Melihat teman-teman yang lain dengan mudahnya (kelihatannya) dapat berkunjung ke tempat kost tercinta mereka dan menjalani hari sebagai seorang mahasiswa biasa dengan uang pas-pasan. Aku jadi rindu masa-masa itu. Karena kamar kost-ku memberikanku ruang untuk mengatur segala perihal kehidupan Nangorku dalam berbagai aspek. Mau makan di mana dan bagaimana, jadwal mencuci baju kapan, berapa takaran beras yang musti dimasak, mie apa saja yang musti di stok di dalam kostan, bagaimana alokasi uang untuk berbagai hal, dan lainnya yang bisa aku atur sendiri tanpa intervensi berlebih dari orang lain. Memiliki kamar kost menjadi sebuah ajang bagiku untuk mengatur dan mengendalikan hidupku sepenuhnya yang pertama kali dalam hidupku. Mengetahui bahwa kita mempunyai kendali penuh atas diri ini, meskipun hanya perihal mengatur tata kehidupan sehari-hari, merupakan hal ternyaman yang ada dalam hidupku selama 18 tahun lamanya. Kemudian, hal itu memberi kata ‘aman’ tersendiri.
Memang, tak bisa kita menutup mata bahwa menjadi anak kost itu ribet, apa-apa harus bisa sendiri. Belum lagi kalau semisal uang kita habis di tengah jalan dan kita susah mendapatkan uang tambahan, perlu pandai-pandai kita dalam menghadapi krisis seperti ini. Ini menjadi salah satu pertimbanganku jika aku ingin memaksakan diri untuk kembali menempati tempat kost-ku di tengah pandemi ini. Bukan karena aspek Kesehatan saja yang aku timbang, namun ekonomi keluarga pun harus masuk di dalamnya sebab berkat pandemi ini bisa dibilang ekonomi keluarga sedang pas-pasan. Akhirnya, meskipun keinginanku untuk kembali ke tempat aman itu sangat besar, namun hal itu harus ku tahan karena ada hal yang lebih penting yang musti diprioritaskan. Tidak setiap saat ego kita musti selalu diwujudkan, Ann.
Namun, kostan yang saat ini mungkin sudah berdebu dan lembab itu tetap akan menjadi tempat teraman yang ada di dunia. Atau mungkin bagiku, tempat teraman di dunia adalah kamar-kamar yang tak terlalu terikat dengan entitas lain sehingga aku benar-benar bisa mengatur sendiri bagaimana letaknya. Untuk saat ini, kamar kostan-ku lah jawabannya. Yang dulu memberikan kehangatan dan kenyamanan selepas kuliah, dan aku rindu akan rasanya melepas penat yang benar-benar lepas. Untuk saat ini, musti bersyukur dulu dengan hal yang ada. Semoga pandemi ini segera berakhir dan kita dapat kembali ke kamar kostan kecil kita masing-masing lagi, dan mengakhiri ketidaknyamanan yang mengukung diri selama berada di satu tempat yang orang bilang ‘rumah’. Amin.
Ditulis oleh: Andien Destiani R.