Polemik Aturan Keanggotaan di Penghujung Kepengurusan BEM Kema

Hitungan bulan menuju akhir masa kepengurusannya, satu polemik mencuat dari BEM Kema Unpad. Polemik itu bermula dari program kerja (proker) Departemen Hubungan Eksternal, yakni studi banding ke Universitas Brawijaya dan Institut Teknologi Sepuluh November yang dilaksanakan pada 23 Agustus 2019. Proker itu mengikutsertakan tiga pengurus BEM Kema Unpad yang dinyatakan telah lulus. Mereka adalah Akbar Gumilar, saat itu berstatus Kepala Departemen Media Kreatif (Medkraf); Sabda Falah, Kepala Bidang Komunikasi dan Informasi (Kominfo); dan Sylvi Noor Alifah, Kepala Bidang Pelayanan Sosial.

Biasnya Aturan Keanggotaan

Belum adanya aturan rinci tentang status keanggotaan kema menjadi pangkal dari polemik ini. Imam Syahid, Ketua BEM Kema Unpad, mengatakan ada yang bias dari aturan keanggotaan dalam Peraturan Dasar Keluarga Mahasiswa (Perdas Kema) Unpad.

“Waktu itu sempat mempertanyakan ke MM (Mahkamah Mahasiswa) dan BPM (Badan Pengawas Mahasiswa) soal aturan terkait waktu selesainya studi. Apakah wisuda, setelah sidang akhir, atau yang lain? Dan kalau sidang akhir apakah setelah ada keputusan lulus atau gimana? Kalau ternyata sidang akhir dan dinyatakan tidak lulus gimana?” ujar Imam saat kami wawancarai pada Sabtu (19/10/2019).

Hal ini membuat BEM bersama BPM membawa perkara status keanggotaan ke MM pada Juli lalu. Putusan dari MM dianggap vital karena memegang fungsi yudikatif dalam lingkup Kema Unpad.
Pada 9 Agustus 2019, atau dua minggu sebelum studi banding dilaksanakan, putusan MM keluar. Hasilnya, status keanggotaan BEM dianggap akan berakhir manakala yang bersangkutan dinyatakan telah mengikuti sidang akhir. Merujuk pada putusan tersebut, status keanggotaan Akbar, Sabda, dan Sylvi pun telah luntur.

Putusan MM direspons BEM Kema dengan mengeluarkan SK No. 087/A-b/KABEM/BEM-KMUP/VIII/2019 yang berisi pemberhentian Sylvi. Ada pula SK No. 088/A-b/KABEM/BEM-KMUP/VIII/2019 berisi pemberhentian Sabda. Sedangkan Akbar diberhentikan lewat SK No. 089/A-b/KABEM/BEM-KMUP/VIII/2019. SK pemberhentian Sylvi ditandatangani pada 13 Agustus 2019, sedangkan SK pemberhentian Sabda dan Akbar ditandatangani pada 14 Agustus 2019. Sekitar delapan dan sembilan hari sebelum tanggal keberangkatan studi banding.

Meski begitu, ketiga pengurus BEM Kema tersebut tetap ikut serta.

Alasan Tetap Ikut Serta

Dalam kasus Akbar, dirinya mengaku mengikuti sidang akhir pada 13 Agustus 2019, kurang dari dua minggu sebelum pelaksanaan studi banding. Ia berdalih surat kelulusan yang belum diterbitkan menjadi alasannya ikut serta.

“Pada saat itu status kelulusan saya belum sepenuhnya lulus karena salah satu nilai mata kuliah belum keluar. Lalu, surat kelulusan terbit setelah studi banding, jadi masih ngambang, dan studi banding ini sudah mulai direncanakan pada Juni. Jadi, saya yang masih statusnya Kadep memang berencana ikut,” kata Akbar saat dihubungi, Minggu (20/10/2019).

Selain itu, Akbar juga telah membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk semester ganjil tahun ajaran 2019. Hal itu pula yang ia anggap melegitimasi statusnya sebagai mahasiswa aktif.
Sylvi, dalam kesempatan lain, juga mengatakan studi banding yang sudah direncanakan sejak lama menjadi salah satu alasannya ikut serta.

“Sekitar sebulan sebelumnya itu ditetapkan siapa saja yang ikut, karena setiap departemen dan biro itu cuma bisa dua orang yang ikut. Terus pimkab-pimkab (pimpinan kabinet) juga ikut. Saat itu aku masih jadi pimkab, masih jadi Kabid secara struktural,” ujar Sylvi ketika dihubungi pada Minggu (10/11/2019), “Jadi, secara rencana memang masih bisa berangkat,”

Sylvi juga mengatakan, ia memiliki tanggungjawab untuk hadir dan mendampingi anggota Bidang Pelayanan Sosial dalam proker tersebut. Ia pun tidak menduga bisa melaksanakan sidang akhir pada 12 Agustus 2019 atau sekitar sepuluh hari sebelum studi banding.

Sabda Falah, di lain sisi, memilih tidak berkomentar dan menolak untuk kami wawancarai.

BPM: Sudah Bukan Kewenangan

Meski putusan MM telah direspons dengan keluarnya surat pemberhentian, Akbar justru mengaku tidak tahu tentang putusan MM. Ia menganggap MM kurang mensosialisasikan hasil putusannya.

Ketidaktahuan Akbar soal putusan MM ditanggapi berbeda oleh Ketua BPM, Sidhig Aryanto. Menurut Sidhig, MM telah menyebarkan putusan itu lewat akun resmi MM di OA Line. Maka, Sidhig pun menilai telah ada fiksi hukum. Artinya, suatu putusan dianggap diketahui oleh semua pihak terkait bila pihak yang mengeluarkan keputusan telah menyebarkan informasi tersebut. Dengan kata lain, ketidaktahuan Akbar soal putusan MM dianggap bukan pembenaran dirinya dapat mengikuti studi banding.

“Saat teman-teman BEM tidak baca soal putusan itu, ya, nggak bisa menyalahkan bahwa informasi itu nggak nyampe. Hal itu karena seharusnya putusan itu sudah sampai ke seluruh anggota BEM,” kata Sidhig (20/09/2019).

Sidhig juga memaparkan keikutsertaan pengurus yang telah lulus sebagai abuse of power atau penyalahgunaan wewenang. Mereka yang telah luntur status keanggotaannya justru mengikuti program kerja yang ditujukan untuk anggota aktif BEM. Sementara itu, membayar UKT juga tidak dapat menjadi patokan status keanggotaan, mengingat putusan MM menyatakan sidang akhir adalah batas status keanggotaan.

“Keikutsertaan mereka itu memang sudah bukan kewenangannya lagi. Karena kema itu bukan cuma status, bukan cuma nama yang disematkan, tapi kema itu di belakangnya ada hak dan kewajiban. Jadi, kalau sudah lulus, ya, itu berarti dia sudah tidak punya hak dan kewajibannya,” pungkas Sidhig. Ia juga menyayangkan sikap BEM yang tidak segera melapor pasca ada anggotanya yang melaksanakan sidang akhir. Akbar sendiri baru melaporkan kelulusannya setelah pelaksanaan studi banding.

Terkait studi banding, BPM rupanya sempat meminta proposal dan notulensi dari BEM. Namun, hingga hari keberangkatan, pihak BPM tidak kunjung menerima daftar nama anggota yang mengikuti studi banding. Sidhig pun baru mengetahui keikutsertaan tiga anggota BEM yang telah lulus dari unggahan seorang anggota BEM di media sosial.

Segera setelah pelaksanaan studi banding, Imam mendapat peringatan dan teguran dari BPM. Dari pandangan Imam, keberadaan Sabda sejatinya diperlukan karena program kerja ini ada di bawah Departemen Hubungan Eksternal, departemen yang diawasi Sabda sebagai Kepala Bidang Kominfo. Meski begitu, Imam juga menyatakan pihaknya bersalah karena tidak mengindahkan keputusan MM.

Setelah teguran BPM, Imam pun memberhentikan anggota terkait. Pihaknya juga akui akan melakukan evaluasi terutama soal aturan keanggotaan.

“Kami sudah melakukan evaluasi dan mengganti pengurus terkait. Kami juga memberhentikan secara administratif sebagaimana yang diminta BPM. Kami juga sudah berbicara dengan BPM untuk melakukan evaluasi bersama dan membuat aturan yang lebih detail soal ini (keanggotaan),” pungkas Imam (19/10).

M. Arfan Septiawan

Editor: Ananda Putri

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *