Taylor & Keeter (2010) mendefinisikan generasi Z sebagai orang-orang yang lahir dari tahun 1993-2005. Dari lima kelompok generasi lainnya, yaitu silent generation, baby boomers, generation X, dan millennials, generasi Z merupakan golongan termuda. Menurut Prensky (2001), generasi Z merupakan satu-satunya generasi di mana sejak usia sangat muda, mereka bisa bersentuhan akrab dengan teknologi. Inilah dasar anggapan maupun perkataan banyak pihak bahwa generasi muda sekarang sangatlah akrab dengan teknologi. Hal itu juga sering digadang-gadang jadi penyebab mengapa banyak anak muda kecanduan bermain gadget. Terbukti, The Rideout, Foehr, and Roberts untuk Kaiser Family Foundation (2010) melaporkan bahwa dalam sehari, generasi Z menghabiskan hampir 8 jam untuk beraktivitas dengan perangkat multimedia elektronik.
Berbanding terbalik dengan anggapan yang banyak diperbincangkan bahwa semakin muda seseorang semakin sedikit pula tekanan hidup yang dimiliki, menurut penelitian American Psychological Association (APA) tahun 2018 berjudul “Stress in America Generation Z”, yang melibatkan 3500 responden berumur 18 tahun ke atas, dan 300 responden berusia 15 sampai 17 tahun. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa generasi Z adalah generasi dengan kesehatan mental paling buruk dari pada generasi-generasi lainnya. Penelitian tersebut
Dalam berbagai aspek, generasi termuda ini merasakan lebih banyak stress ketimbang orang-orang yang lebih tua. Sebanyak 27 persen responden peneleitian tersebut mengaku kondisi kesehatan mentalnya ada dalam kondisi yang parah. Hal itu dibuktikan 91 persen generasi Z mengaku mempunyai gejala fisik maupun emosional, seperti depresi dan gangguan kecemasan yang disebabkan oleh stress.
Keakraban generasi Z dengan teknologi bukan semata-mata gambaran dari kemajuan zaman. Menurut Toronto (2009), terdapat kecenderungan generasi Z memanfaatkan tekonologi untuk menghindari perjuangan di kehidupan offline mereka dan untuk menemukan kenyamanan (berbaur) dengan melarikan diri dan berfantasi untuk mengisi waktu maupun kekosongan emosional. Implikasi lainnya terdapat pada tingginya motivasi untuk bunuh diri, melukai diri sendiri (self harm), dan perundungan siber (cyberbullying).
Akrabnya generasi Z dengan teknologi yang didukung oleh banyaknya waktu yang dihabiskan untuk mengakses internet, memacu mereka untuk mendapatkan beragam informasi dari berbagai sumber. Menurut Anthony (2015) dalam artikel berjudul Generation Z: Technology and Social Interest, di internet terdapat banyak situs yang menampilkan self-harm dan mengajarkan orang untuk membuat senjata. Situs-situs tersebut dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja. Hal itu bisa mendorong anak muda membentuk perilaku sesuai apa yang ia simak di internet. Tak heran, banyak anak muda yang melukai diri sendiri hingga melakukan percobaan bunuh diri.
Tingkat stress tinggi yang dibarengi dengan mudahnya akses terhadap informasi self harm, memperbesar kemungkinan anak-anak muda generasi Z mempunyai kondisi kesehatan mental yang buruk. Setelah tekanan kehidupan maupun tekanan terhadap isu-isu yang berkembang di sekitarnya, generasi Z juga merasakan stress akibat informasi-informasi tak terbendung yang beredar di sekitarnya. Dari hasil penelitian APA, pemberitaan di media massa juga turut berkontribusi dalam stress yang dialami generasi Z. beberapa contohnya adalah peningkatan angka bunuh diri, kekerasan dan pelecehan seksual, perpisahan dalam keluarga imigran dan deportasi, hingga perubahan iklim dan pemanasan global. Fenomena generasi Z dan teknologi merupakan perwujudan betapa besarnya dampak dari akses informasi terhadap individu.
Karakteristik lain adalah maraknya terdapat kasus perundungan siber (cyberbullying) yang melibatkan generasi Z. Dalam hal ini, mencakup baik generasi Z yang menjadi korban maupun menjadi pelakunya (Steyer, 2012). Kasus perundungan siber bukan baru meluas pada keterlibatan generasi ini. Sejak generasi-generasi pendahulunya, perundungan siber telah menjadi isu yang sulit dihindarkan. Perbedaan perundungan siber generasi Z dan generasi-generasi lainnya terletak pada semakin berkembangnya akses teknologi. Implikasinya ialah pada generasi Z yang tidak lagi melihat adanya konsekuensi nyata dari perundungan siber akibat kenyataan bahwa internet melindungi anonimitas. Hal itu memperbesar kemungkinan generasi ini mendapatkan lebih banyak tekanan melalui berbagai medium.
Pemaparan-pemaparan tersebut menunjukkan bahwa generasi Z tak hanya dekat dengan teknologi, melainkan juga dekat dengan kondisi kesehatan mental yang buruk. Berbagai kemudahan akses informasi, teknologi, hingga cara-cara berkomunikasi justru mempunyai efek samping yang merugikan. Mengikuti komunitas/support group, hingga mengambil langkah pengobatan pada ahli merupakan upaya-upaya yang bisa dilakukan generasi Z, baik sebagai langkah pencegahan dini, maupun pengobatan kondisi mental yang buruk. Kemudahan akses informasi yang dipunyai generasi Z juga harus dimanfaatkan untuk mencari informasi-informasi substansial yang bermanfaat untuk ia dan kehidupannya.
Selma Kirana H
Editor : Tamimah Ashilah