Tiga nama calon rektor Universitas Padjadjaran resmi diumumkan Senin (17/9) lalu. Salah satu dari tiga nama tersebut ialah Obsatar Sinaga. Guru Besar Hubungan Internasional FISIP Unpad ini terpilih sebagai calon rektor dengan suara terbanyak, 13 suara dari keseluruhan jumlah anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Unpad. Praktis, pria berdarah Batak ini pun menjadi calon dengan kemungkinan terbesar untuk menjadi rektor.
Tim dJATINANGOR pun memutuskan untuk bertemu dengan pria yang akrab disapa Obi ini. Bertempat di Gedung Yayasan Universitas Widyatama, wawancara dilangsungkan pada Kamis (20/9) lalu. Memang, selain aktif di Universitas Padjadjaran, ia pun aktif di Universitas Widyatama sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana. Kepada dJATINANGOR, Obi menjelaskan visi-misinya sekaligus membahas program-program yang sudah berlangsung dalam kepemimpinan Rektor Tri Hanggono.
Program apa yang akan Anda bawa sebagai calon rektor?
Visi-misi saya dibuat atas dasar masih banyaknya permasalahan internal yang ada di Unpad. Contohnya, tenaga pendidik yang ada saat ini tidak memiliki karir yang pasti karena jabatannya sudah tidak ada–paling tinggi sebagai sekretaris direktur. Selain itu, ada juga masalah di akademik kita seperti masih sedikitnya profesor Unpad yang melakukan penelitian di luar. Kita juga masih punya masalah seperti dari 174 program studi yang ada saat ini, hanya 3 yang berstandar internasional.
Maka dari itu, saya berencana mengembangkan Unpad dengan konsep Smart University. Konsep ini selaras dengan renstra (rencana strategis) Unpad yang menargetkan World Class University.
Sebenarnya, hal-hal apa saja yang menentukan tercapainya World Class University?
Untuk program studi, kalau tidak salah, perlu setidaknya 30% program studi berstandar internasional dari total program studi. Selain itu, penelitian yang kita buat perlu lebih banyak disitasi oleh penelitian lain juga. Pembiayaan penelitian pun seharusnya tidak hanya dibiayai oleh internal saja tetapi juga bekerja sama dengan pihak luar, misalnya, stakeholder dalam bidang industri. Kemudian kita juga perlu sedikit (kurang lebih) 30% dari jumlah profesor kita diundang ke (universitas) luar negeri. Standar di renstra kita, kan, seharusnya sudah ada 227 profesor di tahun 2018. Namun, kenyataannya sekarang baru 130-an yang diangkat jadi profesor.
Selama lima tahun terakhir, banyak masalah pendanaan di Unpad yang terjadi karena manajemen keuangan yang disentralisasi (diatur oleh Rektorat). Bagaimana pandangan Anda tentang ini?
Menurut saya, (sentralisasi) memandulkan fakultas. Fakultas jadi tidak kreatif karena tidak memegang dana apapun. Dana operasional yang dipegang fakultas tidak akan cukup. Kemudian, jika misalnya ada lab di fakultas yang lampunya mati, itu laporannya lama (ditindak). Bisa memakan waktu yang berbulan untuk mengganti satu lampu. Sentralisasi dalam posisi ini jadi memperlambat proses pengerjaan. Hal-hal kecil (seperti penggantian lampu) oleh universitas akan sulit ditangani.
Namun, secara pelaporan keuangan memang lebih cepat. Jika semuanya (inventaris) dibeli oleh tingkat pusat, laporannya, kan, hanya di tingkat pusat. Jadi, gak perlu menunggu laporan penggunaan dana dari bawah (fakultas).
Apakah hal ini berarti jika Anda terpilih, pendanaan akan didesentralisasi?
Desentralisasi. Mungkin akan diatur nanti, mana yang seharusnya diurus oleh fakultas dan mana yang harus diurus oleh pusat.
Sejak Tahap Persiapan Bersama (TPB) diberlakukan mulai tahun 2016, dua tahun berturut-turut selalu menuai permasalahan yang merugikan para mahasiswa baru. Melihat ini, apakah Anda tetap akan melanjutkan TPB?
TPB itu sama (seperti pendanaan) bermasalah karena disentralisasi juga, kan. Saya rasa TPB bermasalah karena ada entitas tertentu yang dipaksakan untuk masuk sehingga semua disentralisasi. TPB seharusnya, kan, tidak bermasalah jika diserahkan kembali ke fakultas masing-masing. Cara sentralisasi bermasalah karena pelaksanaannya masif dan kurang ini, kurang itu. Menurut saya, harus disederhanakan. TPB, kan, seharusnya agar tiap mahasiswa punya kemampuan yang setara ketika masuk. Jika tujuannya hanya itu, tidak usah harus masuk jadi kurikulum yang pasti. Hanya akan masuk sebagai muatan tertentu saja. Itu bisa diatur oleh fakultas masing-masing.
Saya sendiri belum tahu persis masalahnya apa. Nah, jika nanti Allah menghendaki saya memimpin Unpad, baru akan saya evaluasi mengenai kendala apa yang selama ini menjadi persoalan dari TPB itu. Kalau dia satu program yang wajib, maka kita harus ejawantahkan dalam bentuk yang lebih bisa manusiawi. Yang penting, kan, sekarang tujuan tercapai dengan baik, kemudian proses itu bisa diterima oleh mahasiswa dan tidak merepotkan serta menimbulkan masalah lain. Seperti tidak lulus kelas, misalnya. Itu jika ada yang tidak lulus kelas begitu banyak, yang salah siapa? Ya, dosennya.
Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) di Pangandaran dan Garut pun banyak bermasalah dari awal pembentukannya, seperti gedung kuliah yang tidak siap dipakai, mobilisasi dosen, dan lainnya. Apakah Anda punya solusi untuk mengatasi ini?
Soal PSDKU harus kembali lagi ke tujuannya, kita ingin membuat Unpad itu unggul. PSDKU yang ada sekarang harus kita rasiokan jumlah mahasiswa dan dosennya. Apakah kemudian bisa dibuat lebih sederhana dengan sistem kuliah online? Misalnya lebih sederhana dengan cara begitu, kan, dosennya jadi tidak perlu ke sana. Pemerintah di tingkat Kemenristekdikti sudah memperbolehkan (dibukanya kelas online). Kuliah dengan dosen yang harus ke sana itu, kan, kuliah yang sistem konvensional.
Kedua, mungkin sudah waktunya, kan, (program PSDKU) dievaluasi. Program sudah dua tahun berlangsung. Kita evaluasi, apakah masih diperlukan atau tidak PSDKU itu? Atau misalnya dilihat manfaatnya bagi Universitas Padjadjaran. Kalau kita mau jujur, apakah itu (PSDKU) akan bisa membuat pertahanan kita terhadap quality assurance (kualitas pendidikan Unpad) tetap baik? Jangan-jangan dengan begitu (mempertahankan PSDKU) membuat kualitas Unpad (di akreditasi BAN-PT) menurun.
Soal kuliah online, bukankah hal tersebut juga dapat memengaruhi akreditasi Unpad oleh BAN-PT?
Kan, ada standar. Pemerintah pusat (Kemenristekdikti) itu membuat standar. Universitas swasta, kan, sudah banyak yang punya kelas online. Di Universitas Mercubuana, (sampai) 30.000 yang kuliah online. Itu standar kualitasnya sudah bagus, kok. Ya, seperti kita belanja online, lah. Awalnya, kan, kita mikir, itu nanti kalau ketipu gimana? Tapi semakin ke sini, orang semakin belanja online sekarang setelah dibikin mekanisme agar jangan sampai ketipu.
Apakah ini berarti Unpad nantinya akan menjamin infrastruktur di Garut dan Pangandaran untuk menunjang kelas online tersebut?
Soal itu sendiri saya perlu mendalami dulu masalahnya PSDKU itu sampai di mana. Sehingga perlu dilakukan kajian. Atau tidak, karena sudah dua tahun, ya, itu dievaluasi. Karena walau bagaimana pun idealnya adalah Unpad di sini (Jatinangor) harus bagus dulu (tanpa masalah) baru kita ekspansi ke luar. Kalau di dalam saja belum bagus dan kita ekspansi, nanti malah di sana tidak terurus, di sininya kedodoran.
Terakhir, bagaimana rencana Anda menyikapi interaksi dengan mahasiswa nantinya?
Menurut saya, mahasiswa ketemu rektor, ya, setiap hari saja. Kalau perlu, misalnya, saya buka saja sarapan pagi di rumah saya. Gapapa untuk mahasiswa! Menurut saya, semua universitas di Indonesia ada untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan bangsa itu maksudnya siapa? Ya, mahasiswa! Jika mahasiswanya tidak didengar, bagaimana mereka mau cerdas? Kapan saja saya bisa (ditemui) jika tidak ada kegiatan yang harus saya prioritaskan. Tidak perlu ada protokoler, lah. Jika ingin bertemu, kalau perlu cegat mobil saya pagi-pagi, ya, temui saja.
(Muhammad Refi Sandi | Reza Pahlevi | Selma Kirana)
Editor: Ananda Putri