Jika sekiranya kita membahas tentang hari anak sedunia, sebagian besar dari kita mungkin akan membayangkan sekelompok anak yang dengan begitu ceria tertawa riang bermain bersama teman sebayanya. Di lain sisi, ketika kita mendengar perihal Hari Anak Sedunia, pikiran kita mungkin akan malayang pada banyaknya kejutan serta hal-hal menyenangkan yang akan diberikan pada anak-anak.
Namun pernahkah terlintas di benak kita bahwa Hari Anak Sedunia tidak hanya diperuntukkan kepada anak-anak yang sering kita lihat mengenakan seragam merah putih sembari menyandang tas berisi seabrek buku dan tertawa begitu renyah di jalanan sepulang sekolah ?. Hal inilah yang harus menjadi perhatian besar masyarakat saat ini.
Tepat pada tanggal 20 November 2017, menambah umur Hari Anak Sedunia yang lebih dari setengah abad menjinjing hak-hak anak yang dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hak-hak tersebut diantaranya adalah hak untuk bermain, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan perlindungan, hak untuk mendapatkan nama (identitas), hak untuk mendapatkan status kebangsaan, hak untuk mendapatkan makanan, hak untuk mendapatkan akses kesehatan, hak untuk mendapatkan rekreasi, hak untuk mendapatkan kesamaan, serta hak untuk memiliki peran dalam pembangunan.
Salah satu hak anak-anak yang menjadi perhatian saat ini adalah hak untuk mendapatkan kesamaan. Kesamaan dalam hal ini meliputi kesamaan kedudukan sosial bermasyarakat, tanpa adanya aspek pembeda satu sama lain, dan tanpa adanya diskriminatif dalam hal apapun.
Berbicara tentang diskriminatif, kita mungkin sudah tidak awam dengan kalimat tersebut. Namun apakah penerapan anti diskriminasi ini sudah sepenuhnya direalisasikan pada anak-anak?. Dalam kehidupan sehari-hari keadaan ini belum sepenuhnya dapat diselesaikan. Hak anak dalam memperoleh kesamaan dalam kehidupan bermasyarakat belum seutuhnya terpenuhi. Hal ini umumnya terjadi pada anak dengan different ability (difabel). Difabel adalah adanya keterbatasan pada seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungannya karena kondisi tubuh ataupun intelektualnya yang berbeda atau secara umum dikatakan tidak berfungsi secara normal. Kemudian, lingkungan kehidupannya tidak menunjang kesetaraan dalam mengakses kebutuhan sehingga mereka merasa tertekan dalam menjalani kehidupan.
Menurut data PBB, jumlah penyandang difabel di seluruh dunia mencapai kira-kira 600 jiwa. Di Indonesia diasumsikan oleh World Health Organisation (WHO) untuk tahun 2011 mencapai 15%. Peringatan ini diadakan setiap tahun dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa ada yang dilahirkan atau hidup dalam keadaan kurang sempurna, tetapi mereka tetap mempunyai harkat dan martabat sama sebagai warga negara lainnya.
Faktor utama yang menyebabkan penyandang disabilitas terpinggirkan atau tertolak adalah faktor pendidikan (UNESCO, 1990) sehingga pendidikan menjadi isu utama untuk mengatasi masalah ini. Pendidikan yang dapat diterapkan pada anak difabel adalah pendidikan inklusif. Konsep pendidikan ini mempresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusif juga dapat dimaknai sebagai suatu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap antidiskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua, pendidikan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya mengubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus.
Di Indonesia sendiri, pendidikan inklusif secara resmi didefinisikan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian, baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik. Definisi ini menunjukkan bahwa sekalipun secara konseptual pendidikan inklusif mengikutkan semua anak berkebutuhan khusus, tetapi di Indonesia lebih banyak dipahami atau ditekankan sebagai upaya mengikutkan anak berkelainan dalam setting sekolah reguler.
Kehadiran konsep pendidikan inklusif seolah menjadi jawaban atas segala persoalan yang membelit anak berkebutuhan khusus karena kurang mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Anak berkebutuhan khusus mempunyai hak yang sama dalam mengeyam pendidikan tanpa harus ada pelabelan dan diskriminasi dalam dunia pendidikan formal terutama. Hal ini karena tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah untuk memanusiakan manusia sebagai bentuk perlawanan terhadap sikap diskriminatif terhadap lembaga sekolah yang menolak menampung anak berkebutuhan khusus.Di samping itu juga menekankan pada penanaman nilai anti diskriminatif dan memupuk rasa saling menghargai antar sesama. Sehingga anak berkebutuhan khusus juga dapat mengenyam pendidikan dengan nyaman tanpa adanya tekanan lingkungan.
Suci Wulandari Putri
Editor: Hilda Julaika