Andovi Da Lopez berorasi di depan Gedung DPR-RI, pada Jumat, 5 September 2025. (dJ/RaffaelNadhef)
“Gua bisa hafal semua karakter One Piece (yang jumlahnya lebih dari 1.000). Dan harusnya, gua bisa memakai kekuatan otak gua untuk hafal 580 anggota dewan,” teriak Andovi Da Lopez.
Melalui kelakarnya itu, ia menegaskan bahwa kekuatan rakyat ada pada suara. Bagi Andovi, sanksi terbesar bagi para legislator bukanlah hujatan di jalanan, melainkan ketika rakyat kompak tidak lagi memilih mereka pada Pemilu 2029.
Pernyataan Andovi, selaku pelopor tuntutan 17+8 tersebut menjadi salah satu pesan penting yang disampaikan dalam “Aksi Damai Piknik Nasional Rakyat: Menagih 17+8 Tuntutan Rakyat”, meski bukan sebagai inisiator aksi ini.
Aksi yang mengusung tema “piknik” ini merupakan bentuk reminder kepada para pemangku kebijakan akan jatuh temponya pemenuhan tuntutan pada hari itu.
Seruan aksi tersebut juga mengimbau massa untuk mengenakan pakaian berwarna-warni, khususnya warna hero green, brave pink, dan resistance blue, yang belakangan menjadi simbol gerakan rakyat di media sosial.
Rilis Pers: Lima Tuntutan Kritis dalam Aksi “Piknik Nasional Rakyat”

Vincent Thomas membacakan rilis pers, yang didampingi para mahasiswa, buruh, dan influencer. (dJ/RaffaelNadhef)
Rakyat Indonesia dari berbagai lapisan, termasuk mahasiswa, buruh, akademisi, dan masyarakat sipil, berkumpul di depan gedung DPR.
Dalam rilis pers yang dibacakan oleh Ketua BEM Kema Unpad, Vincent Thomas, dirumuskan lima tuntutan kritis untuk mengatasi krisis kemanusiaan, yang juga terkait 17+8 tuntutan rakyat.
Mengutip pepatah Sunda, “Mun kiruh ti girang komo ka hilirna,” aksi damai ini menjadi pesan tegas kepada pemerintah untuk bertindak segera.
Lima tuntutan tersebut adalah:
- Segera mengambil tindakan tegas untuk mengatasi krisis kemanusiaan. Hal ini termasuk membentuk tim ad hoc independen yang melibatkan rakyat untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap seluruh korban pelanggaran HAM oleh aparat negara.
- Menghentikan dan mencegah tindakan represif aparat penegak hukum yang dinilai hanya memperpanjang eskalasi konflik dan mengikis kepercayaan publik.
- Melakukan evaluasi total terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, seperti Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja yang justru dialokasikan pada pos-pos anggaran yang represif.
- Mereformasi proses legislasi oleh DPR-RI agar bebas dari segala bentuk konflik kepentingan dan memastikan kebijakan yang dibuat berpihak pada rakyat.
- Mewujudkan reformasi struktural dan kultural di tubuh institusi Kepolisian Republik Indonesia guna menjamin penegakan hukum yang bersih, profesional, humanis, dan berpihak pada rakyat.
Rilis pers tersebut juga menegaskan bahwa tuntutan ini selaras dengan 17+8 Tuntutan Rakyat yang lebih luas, seperti penarikan TNI dari peran sipil, pembatalan tunjangan mewah bagi anggota DPR, dan reformasi kelembagaan.
Ditegaskan pula bahwa aksi ini ditandai dengan semangat persatuan dan disiplin, serta menolak segala bentuk provokasi yang memecah belah.
Dari Orasi, Puisi, Hingga Seni
Berbagai orasi mahasiswa bergantian memenuhi panggung aksi.
Aryo, Ketua BEM FH Unpad, mengecam tindakan aparat yang dinilainya brutal.
“Bahkan di dalam aksi damai mereka mempersiapkan senjata yang begitu banyak, teman-teman. Siapa lagi yang ingin kau bunuh, Polisi?” serunya, lalu disambut pekikan massa: “Reformasi Polri!”
Sorakan serupa juga menggema ketika Ketua BEM KM UGM Tiyo Ardinto mengambil megafon. Ia mengungkapkan kekecewaannya karena banyak mahasiswa ditangkap dan ada korban jiwa.

Ketua BEM KM UGM berorasi di tengah massa aksi. (dJ/RaffaelNadhef)
“Lebih dari 3.000 kawan-kawan kita ditangkap oleh aparat,” ujarnya, “mereka itu bukan hanya angka. Mereka adalah manusia. Anak dari seorang ayah dan ibu.”
“10 kawan kita, sekarang 11 meregang nyawa. Salah satunya adalah kawan dari Yogyakarta. Rheza Sendy, mahasiswa Universitas Amikom yang dipukul oleh aparat negara sampai mati nyawanya,” lanjutnya.
Ia juga bercerita, menolak bujukan dari pihak Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi untuk bertemu dengan Prabowo, karena itu hanyalah “simbolisme politik” yang tidak menyelesaikan masalah. Lebih lagi, dari mahasiswa lain yang menerima ajakannya, ternyata mereka hanya bertemu dengan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi.
“Yang diundang untuk ketemu Prabowo, ternyata cuma ditemuin sama Mensesneg. Prabowo pembohong,” katanya, “mungkinkah kita akan berdiskusi dengan maling? Enggak!”
Lalu sorak massa meriuh, “Pengkhianat!” dan berulang kali berteriak, “Bebaskan kawan kami!”
Senada, Ketua BEM Unissula, Wiyu Ghaniy Allathif, perwakilan dari Jawa Tengah, turut menegaskan tuntutan agar kematian mahasiswa diusut tuntas dan Polri direformasi.
“Kami meminta usut tuntas kematian almarhum Iko! Dan, kami juga meminta reformasi sebesar-besarnya terhadap Polri dalam penanganan aksi massa agar tidak terjadinya represivitas apapun itu!” lantangnya.
Suasana berubah semakin riuh ketika giliran Andovi Da Lopez maju ke depan massa.
Ucapan tentang “kekuatan suara rakyat” menjadi pembuka orasi yang tersorot di awal. Lalu, Andovi mengaitkan gagasan itu dengan tenggat 17+8. Ia menyinggung kebiasaan mahasiswa mengerjakan tugas mepet deadline, dan membandingkannya dengan kewajiban anggota DPR menepati batas waktu yang sudah jatuh tempo.
“Berapa kali kalian sebagai mahasiswa dan mahasiswi harus kerja deadline dan mau enggak mau harus dikumpulin? Berapa kali kita lihat kalau anggota DPR bekerja dengan niat yang luar biasa? Bisa kok dalam satu malam, bisa dong?” kelakarnya.
“Deadline-nya hari ini (Jumat) 23.59 waktu Indonesia Barat. Kita kasih sampai akhir-akhir,” lanjutnya, “semoga deadline ini enggak dikerjakan pakai ChatGPT!”
Selain orasi, aksi juga diwarnai dengan seni. Siti Aisah dan Regina Alya, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Unpad, memperagakan puisi yang mereka buat khusus untuk momentum ini. \

Siti Aisah dan Regina Alya bersajak bersama, bersahutan, lalu ditutup dengan bernyanyi “Buruh Tani”. (dJ/RaffaelNadhef)
“Di jalan raya, klakson lebih nyaring nuraninya.
lantun Siti
Sementara, rakyat masih anti beras subsidi.
Gedung megah berjulang menutup matahari.
Tapi lorong kumuh tetap tak tersentuh hingga kini,” lantun Siti.
“Tumpah darah menjadi saksi bisu.
sambung Regina
Rantai-rantai sang nyawa terbantai.
Kulit tersayat, tersayat-sayat bagai wadah sepeda yang karat.
Dan raga pun tinggal tulang-belulang,”
Tak lama, puisi mereka ditutup dengan ajakan menyanyikan lagu perjuangan bersama massa.
“Buruh tani mahasiswa, rakyat miskin kota, bersatu padu rebut demokrasi … Di bawah kuasa tirani, Prabowo, kutelusuri garis jalan ini,” teriak Regina, yang disambut kepalan tangan kiri dari para demonstran.
Senada dengan “kuasa tirani”, perwakilan buruh, Nining Elitos sebagai aktivis Federasi Serikat Buruh Bersatu (FSBB) KASBI, menekankan para buruh turut menekankan soal pekerjaan, upah, keadilan, hingga ruang demokrasi yang layak.
“Kami menyerukan sebagai kaum buruh untuk terus bersama gerakan rakyat berjuang bersama-sama agar negara kita tidak dirusak oleh oligarki,” ujarnya.
Dukungan juga datang dari kelompok lingkungan. Yassar, perwakilan Extinction Rebellion, menjelaskan alasan mereka bergabung.
“Karena mahasiswa Unpad memberi tajuk aksinya piknik dan bernuansa damai, Extinction Rebellion memutuskan ikut membersamai,” ujarnya.
Walau dampaknya tidak terdeteksi secara kuantitatif, baginya aksi seperti ini efektif menyebarkan kesadaran.
“Banyak juga masyarakat lalu-lalang yang bertanya sehingga tahu dengan keadaan krisis iklim saat ini.”
Mengenang 1998 dan Kekuatan Rakyat

Mahasiswa Unpad bersiap long march dari depan gedung TVRI menuju depan gedung DPR-RI. (dJ/RaffaelNadhef)
Di antara kerumunan mahasiswa, hadir pula dua sosok ibu asal Ciledug, Evi dan Yuli turut meramaikan aksi. Kehadiran mereka menjadi pengingat lintas generasi bahwa perjuangan rakyat bukan hanya milik kaum muda.
“Kita lihat, ya, perkembangan-perkembangan yang saat ini tuh kayaknya udah enggak benar gitu, kan. Dari soal aksi damai terus dia jadi rusuh-rusuh terus di mana-mana sampai kayak yang di Bandung kemarin: ada penyerangan ke kampus, ke Unisba, gitu. Nah, itu juga enggak benar,” kata Evi.
Ia kemudian mengaku, di tahun 1998 pun ikut turun aksi. Baginya, bahkan situasi sekarang justru lebih parah ketimbang masa Orde Baru: jika dahulu praktik penindasan kerap dilakukan secara tersembunyi, kini semuanya berlangsung terang-terangan.
Yuli menambahkan, meski terang-terangan, banyak orang sekitarnya justru memilih diam.
“Sudah jelas terang-terangan tapi malah pada takut dia pada diam,” katanya singkat.
Kenangan mereka pada 1998 tetap membekas. Evi lanjut bercerita bagaimana dulu ia ikut turun ke jalan selepas bekerja.
“Saya lagi itu sebagai pekerja, ya. Kayak, saya kerja di daerah Blok M, pulang kerja turun, ikut turun. Tapi, enggak kayak sekarang, langsung kayak dicabut langsung gerudug begitu mahasiswa. Kalau dulu enggak terlalu begitu. Makanya, saya bilang kayaknya ini lebih parah daripada 98. Kalau 98 misalnya ada tapi halus. Enggak terang-terangan. Tiba-tiba culik hilang gitu ya. Kalau sekarang kan tiba-tiba hal itu dipukulin, hal itu dibakar, Ojol diiniin,” paparnya.
Kekecewaan juga mereka tujukan pada praktik politik hari ini yang dianggap penuh politik uang.
“Kita tahu karena kita pernah pegang dewan, pernah ikut partai, tapi tetap aja banyak yang hanya mengandalkan uang dan massa, bukan program,” kata Evi.
Yuli menimpali, menurutnya, kunci perbaikan ada pada integritas individu anggota dewan, sementara praktik serangan fajar dan politik amplop yang masih diterima justru menunjukkan rakyat masih mudah diperdaya.
Meski begitu, mereka menolak untuk tunduk.
Evi mengingatkan, rakyat harus berpegang pada hati nurani.
“Kita ditawarin sih ditawarin, cuma tanda tangan doang: ‘Lu dukung gua.’ Ini 5 juta cair. Kita punya hati nurani: enggak mau.”
Dengan latar belakang yang pernah merasakan masa reformasi, Evi dan Yuli kini kembali turun, membawa keresahan sebagai orang tua yang tak ingin generasi berikutnya menanggung utang, kekerasan, dan politik transaksional.
“Karena kita kan punya anak, anak kita juga enggak mungkin kan seperti ini. Artinya, utang banyak karena kita. Kamu, kan, nanggung utang, kan? (Merujuk pada reporter yang seusia anaknya)” ucap Evi.
Kehadiran dua ibu ini memperlihatkan bahwa semangat 1998 belum padam, bahkan kini kembali hidup dalam bentuk lain. Mereka percaya, kekuatan rakyat tetap terletak pada persatuan dan integritas dalam memilih pemimpin maupun wakil rakyat.
Menjaga Integritas
Muncul pertanyaan kritis dari wartawan usai rilis pers: “Apa jaminannya satu tahun, lima tahun, sepuluh tahun lagi kalian tidak bisa dibeli oleh penguasa, seperti generasi sebelumnya?”
Menjawab hal itu, Farrell Faiz Firmansyah, Ketua Keluarga Mahasiswa ITB, menegaskan pentingnya persatuan lintas elemen.
“Kita tidak bisa lagi untuk bergerak sendiri-sendiri, kita tidak bisa lagi untuk bergerak serampangan. Kita harus menyatukan suara, menyatukan pendapat kita, menyatukan strategi kita ke depannya dalam satu koalisi yang utuh, yang inklusif,” kata Farrell.
Ia menegaskan, konsolidasi bersama harus dijaga sembari menolak segala bentuk simbolisme politik yang hanya memecah belah.
Pandangan itu diperkuat oleh Virdian, konten kreator Lawan Buta Politik.
Virdian, bersama mahasiswa dan perwakilan buruh, menjawab pertanyaan wartawan usai rilis pers. (dJ/RaffaelNadhef)
“Saya ingat kemarin pas Bang Andovi press conference DPR juga kita bilang bahwa yang pahlawan itu bukan satu, dua, tiga, empat, lima, sepuluh, tapi seluruh rakyat yang turun ke jalan,” katanya.
Ia menegaskan, generasi muda tak lagi percaya pada figur pahlawan semacam Satria Piningit atau Ratu Adil. Ia mengingatkan, bangsa ini pernah menaruh harapan pada sosok yang disebut sebagai “new hope”, tetapi pada akhirnya justru menindas rakyat dan berubah menjadi oligarki baru.
Ia juga mengingatkan generasi muda agar tidak apatis hanya karena kecewa pada generasi sebelumnya.
“Tolong, jangan biarkan kisah-kisah senior kita yang kemudian berkhianat sama kita jadi alasan kita bungkam untuk bersuara. Karena kita adalah generasi-generasi baru, yang punya cara-cara main baru, yang punya keyakinan-keyakinan baru,” katanya.
Ia menutup dengan penekanan bahwa integritas generasi hari ini harus dijaga dalam tiap peran yang dijalani.
“Mau kalian adalah pengusaha, mau kita adalah swasta, mau kita politisi, mau kita akademisi, mau kita jurnalis, segala macam, kita akan pastikan di gerbong kita masing-masing, generasi kita lebih baik daripada generasi dipimpin oleh mereka-mereka (menunjuk gedung DPR-RI) hari ini, teman-teman semua.”
Penulis: Raffael Nadhef
Editor: Fatihah Nuritsani, Fuza Nihayatul