Menanggapi maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, Universitas Padjadjaran (Unpad) maju satu langkah dengan menetapkan Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Pencegahan Pelecehan Seksual di Lingkungan Unpad pada 5 Juni 2020.
Sebelum ditetapkannya peraturan rektor ini, beberapa penelitian dan usaha advokasi kasus telah dilakukan oleh lembaga terkait dalam Unpad. Salah satunya, melakukan survei yang diinisiasi oleh BEM Fakultas Hukum Unpad mengenai kekerasan seksual di kampus selang waktu 2-19 Mei 2020.
Berdasarkan hasil survei tersebut, ditemukan sebanyak 135 dari 612 responden mahasiswa Unpad, pernah mengalami kekerasan seksual di kampus. Ditetapkannya peraturan rektor mengingat tingginya angka korban kekerasan seksual di Unpad merupakan langkah baik untuk menegakkan keadilan.
Namun seiring berjalannya waktu, patut juga dipertanyakan terkait keefektifitasan peraturan rektor tersebut dalam mencegah dan menangani pelecehan seksual.
Kurang sosialisasi dan nonpartisipatif
Menurut Putri Indy Shafarina, Presiden Girl Up Unpad, menyatakan bahwa Rektorat belum memberikan ruang sepenuhnya bagi lembaga mahasiswa maupun dosen terkait di kampus untuk berpartisipasi dalam perumusan peraturan rektor ini.
“Rektorat tidak melibatkan elemen lain, baik mahasiswa maupun para dosen yang memiliki perhatian pada isu pelecehan seksual itu sendiri,” tanggap Shafarina, pada Kamis (04/03/21).
Shafarina juga berkata bahwa Rektorat kurang melakukan sosialisasi lebih lanjut terhadap peraturan ini. Ia berharap adanya kesediaan dari pihak kampus dan juga mahasiswa untuk saling mengawal peraturan ini kedepannya.
“Disahkannya peraturan ini pun kurang ada sosialisasi dari Rektorat. Jadi mahasiswa yang gak perhatian dengan permasalahan ini pun tidak akan tahu kalau di Unpad punya peraturan rektor tentang penanganan dan pelecehan seksual, sehingga perlu juga rektorat mensosialisasikan dan mengimplementasikan peraturan ini dengan benar,” tambahnya.
Sementara itu, pihak Pusat Riset Gender dan Anak Unpad, Antik Bintari mengapresiasi keberadaan peraturan ini. Dirinya berkata, sepanjang Unpad memiliki Rektor, baru kali ini ada yang mau menaikan isu ini. Di lain sisi, Ia juga memaklumi bahwasanya sosialisasi terhambat karena adanya pandemi yang berdampak bagi Unpad.
“Saya bisa memaklumi karena kondisi Covid-19 ini memang menjadi kesulitan tersendiri untuk mensosialisasikan secara masif. Namun, sempat ada satu kegiatan dari Direktorat Kemahasiswaan untuk mengadakan sebuah kegiatan pada tahun lalu sekitar bulan November dalam konteks memperingati 16 Hari Tanpa Kekerasan,” jawabnya kepada pihak dJatinangor pada Jumat (05/03/21).
Ia juga melihat bahwa dari kegiatan ini Unpad sudah memiliki komitmen kedepannya untuk mengimplementasikan peraturan rektor ini.
“Sebetulnya tidak membicarakan Peraturan Rektor secara eksplisit, tapi kami membahas bagaimana situasi kondisi kampus. Apakah kampus itu aman atau segala bentuk kekerasan seksual untuk para mahasiswa Unpad? Tapi kami menyampaikan kalau Unpad itu sudah ada komitmen ini,” tambahnya.
Advokasi selama pandemi
Berlainan dengan itu, datang tanggapan dari Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi yang mengatakan bahwa adanya peningkatan kekerasan berbasis gender siber (KGBS) makin meningkat dan dibutuhkannya regulasi yang komprehensif untuk hal ini.
“Sebenarnya kami lihat kan pandemi bisa tidak merupakan hambatan karena banyak justru berbagai pelecehan yang terjadi atau berpotensi dilakukan dalam kondisi social distancing. Kami juga melihat data peningkatan korban KGBS, jadi pandemi memberikan konteks yang lebih kuat kenapa kebijakan-kebijakan seperti ini harus masih disosialisasikan,”papar Ika kepada pihak dJatinangor, pada Jumat (5/3/21)
Ia juga menyarankan bagi civitas akademika dalam Unpad untuk inisiatif dan tidak menunggu waktu agar bisa memiliki diskusi dan sosialisasi yang rutin. Hal ini juga, menurutnya, bagian dari pengawalan yang dinamakan sistem demokrasi partisipatif.
“Nah akan tetapi, kita juga tidak harus menunggu. Jadi lebih baik jika kita memiliki inisiatif dari siapapun yang merasa bahwa hal ini penting untuk juga menjemput bola,” jawab Ika.
Butuhnya SOP dan panduan lebih lanjut
Ika memaparkan, jika ide menghapuskan kekerasan seksual adalah dengan membatasi ruang gerak pelaku atau pelaku potensial, hal ini sudah sesuai dengan tujuan utama dari peraturan rektor tersebut. Namun, Ia sedikit menanggapi isian pada Pasal 2 yang berisi pelecehan seksual yang mengakibatkan orang lain direndahkan dan atau dipermalukan baik di dalam maupun diluar kegiatan tridarma perguruan tinggi.
“Sebenarnya sudah bagus, tapi akan lebih bagus juga menyoal adanya ketimpangan relasi kuasa. Kedua, harusnya ada jaminan terhadap korban dan pembela korban, yang ini juga akan berpengaruh terhadap advokasi kampus. Karena kita juga sudah sangat sering melihat bagaimana ketimpangan relasi kuasa ini berujung pada korban dilaporkan balik oleh pelaku dengan dugaan pencemaran nama baik,” tanggap Ika.
Shafarina menanggapi, secara garis besar peraturan ini masih memerlukan kelengkapan dan kejelasan kedepannya. Ia mengatakan jika perlunya standar operasional prosedur (SOP) lebih lanjut.
“Kalau menurut aku, peraturan Rektor ini bisa diturunkan lagi ke SOP karena untuk konteks ini belum terlalu jelas terkait teknis pelaksanaan peraturan rektor ini. Misalnya, dalam peraturan ini tidak ada penjelasan tentang badan khusus atau pusat layanan terpadu untuk untuk pelaporan kekerasan seksual di Unpad,” tutur Farin menanggapi isi peraturan rektor ini.
Hal serupa juga dijelaskan Antik terkait apa saja yang dibutuhkan kedepannya dan bagaimana idealnya peraturan ini dijalankan.
“Mengaktifkan kembali bimbingan konseling Unpad dan perlu juga ada prosedur yang melibatkan institusi dalam Unpad sendiri yang memiliki Biro Hukum dan Psikologi. Lalu, harus juga ada SOP yang lebih detail dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana. Mulai dari mau laporan ke dosen mana, prosedur mau dimana dulu, mekanisme surat menyuratnya bagaimana, pendampingan seperti apa, siapa yang berhak untuk mendampingi,” jawabnya.
Selanjutnya, Ia juga memperjelas tingkatan yang perlu dan akan mendukung peraturan ini. Dari paparannya, peraturan ini bisa berjalan jika mulai dari tingakatan yang paling rendah.
“Tapi, kan, itu semua gabisa kasus langsung ke rektorat. Misalnya, jika ada kasus nih pasti di level prodi atau level fakultas dan interaksi mahasiswa, itu kan di bawah ya. Nah itu yang harus dipikirkan bersama bahwa ada tingkatan-tingkatanatau dari akar rumput bahwasanya siapa sih yang bertanggung jawab di level prodi. Siapa sih yang jadi kemudian psychological first aid nya?” tambah Antik.
Ia juga mengharapkan adanya pelayanan yang membuat mahasiswa mudah dan nyaman untuk mengakses dan memberikan laporan lewat pelayanan jasa terkait aspek psikologis, Tim Pelayanan dan Bimbingan Konseling (TPBK). Namun, dari paparanya tahun ini tim pelayanan ini belum dimaksimalkan.
“Nah persoalannya tidak semua prodi saat ini punya dosen konselor karena sudah tidak adanya program TPBK itu. Jadi secara ideal, mulai dibentuknya semacam pusat pengaduan,” tambah Antik.
Antik juga menambahkan jika ketika korban menceritakan pengalaman pelecehan seksual pada orang yang salah, itu tidak akan menyelesaikan kasus. Maka, perlu adanya pemahaman konselor terhadap korban.
“Perlu adanya lembaga konsultasi layanan psikologis ditambah gender mainstreaming. Kalau kampus belum responsif gender, menurut saya langkah itu semakin berat karena dalam memahami korban jadi tidak berkeadilan,” tukasnya.
Kemudian, Antik juga mengatakan bagaimana konsultasi layanan psikologis bisa dijalankan di Unpad agar efektif.
Satu, kita harus mempersiapkan sebuah hotline. Jadi peraturan itu tidak akan bekerja dengan baik jika tidak didukung oleh beragam komponen lain seperti: hotline dan SDM. Jadi nanti ada tools-nya, lalu ada prosedurnya, SOP, sarana dan prasarana yang mendukung bila ada kasus karena di peraturan itu sifatnya kan umum sekali. Peraturan ini hanya membicarakan jika ada kasus, nanti akan dibuat ad hoc,” jawabnya.
RUU P-KS sebagai payung hukum peraturan kekerasan seksual di kampus
Citra Benazir, selaku aktivis muda dan pencipta gerakan Tis The lyfe menanggapi jika keefektifitasan peraturan ini akan berkaitan dengan dorongan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).
“Menurutku bagus, kalau peraturan kekerasan seksual dari kampus itu disahkan. Dalam arti kalau ada dorongan-dorongan dari institusi sebesar universitas, apalagi salah satunya Unpad. Justru malah bisa mendorong pemerintah untuk akhirnya mengesahkan RUU P-KS,” papar Citra ketika dihubungi dJatinangor, pada Kamis (04/03/21).
Ika turut menanggapi pengesahan RUU P-KS, mengingat RUU tersebut juga melengkapi berbagai kekurangan yang ada dalam peraturan rektor.
“Memang kelihatan ketika RUU P-KS belum disahkan, kita tidak memiliki hukum yang sangat kuat terkait dengan definisi pelecehan seksual, kekerasan seksual, dan segala macamnya. Lalu juga tentang tadi yang sudah dibahas soal hak korban atas dampak yang ditimbulkan dan harus dia terima, kan itu juga diatur melalui RUU P-KS,” ujar Ika
Maka dari itu, menurutnya, peraturan rektor akan sangat efektif jika RUU P-KS sudah disahkan. Namun, tetap harus inisiatif dan jangan menunggu.
“Jadi bisa dibilang ketika kita belum memiliki payung hukum nasional pasti lebih sulit menyelesaikannya, tapi bukan berarti kita harus menunggu. Jadi proses advokasi RUU P-KS juga berjalan bersamaan dengan bagaimana memaksimalkan implementasi dari SK Rektor,” tambahnya.
Berkaca efektifitas dengan universitas lain
Dari pengalaman Citra menjadi korban kekerasan seksual di kampus tempat ia mengemban studi, Seton Hall University, Amerika, ia mendapat bantuan akses yang nyaman dalam melaporkan dan menangani kekerasan seksual yang terjadi.
“Kampus aku sendiri punya rules yang jika (pelaku) sudah tiga strike (tiga kali melakukan kekerasan seksual) pasti dia akan kena drop out dalam keadaan dan tindakan apapun,” ujar Citra.
Ia juga menuturkan agar Indonesia dapat mengadaptasi aturan perihal tanggung jawab dan keketatan peraturan yang ada pada kampusnya. Misalnya dalam pemberian sanksi, seperti melakukan drop out, sehingga kampus lain dapat mengetahui riwayat pelaku.
“Kalau menurut aku di sini (Indonesia), bisa juga diadaptasi beberapa strike kampus buat mengatasi pelecehan seksual. Tapi melihat juga kefatalan kasus itu sendiri. Semisal, kasus pemerkosaan itu langsung di drop out, karena pemerkosaan sudah masuk ke tindak kriminal,” tambahnya.
Maka dari itu, seperti apa yang dikatakan Shafarina sebelumnya bahwa diperlukan partisipasi dari semua lembaga terkait untuk turut serta dalam pengawalan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
“Pada akhirnya pun, perlu adanya political will dari pihak kampus dan butuh kesediaan dari seluruh teman-teman mahasiswa juga untuk saling mengawal peraturan ini untuk bisa diimplementasikan dengan maksimal,” ujar Shafarina.***
Ditulis: Fatur Rachman
Editorial: Meyta Yosta