Workshop bahasa isyarat diselenggarakan oleh Departemen Pengabdian Masyarakat serta Minat dan Bakat BEM Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad), Rabu (27/11), di Kanal Skyland, Jatinangor. Workshop ini merupakan pra-event dari Beyond 2.0, acara amal yang telah diadakan sejak tahun lalu. Mengambil tema “Equality for Diversity”, Beyond 2.0 bertujuan meningkatkan kesadaran serta kepedulian masyarakat Fikom dan umumnya Unpad terhadap teman tuli atau tunarungu.
“Concernku di sini kita kan dari Fakultas Ilmu Komunikasi, menurutku itu merupakan ranah kita dalam rangka berkomunikasi. Meskipun caranya (komunikasi tunarungu) berbeda tapi itu merupakan hal yang spesial, oleh karena itu meskipun kita berbeda kita harus menyetarakan derajat kita. Mereka bukan lebih rendah dan kita bukan lebih tinggi,” jelas Naufal Nuur Nabawi, Project Officer Beyond 2.0.
Tahun lalu, acara ini diselenggarakan dengan tema yang sama, memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kehadiran teman tuli. Hal yang membedakan dengan tahun ini ialah konsep pra-event yang lebih disesuaikan dengan tema.
“Tahun lalu (pra-event) kesehatan gratis, tahun ini workshop bahasa isyarat karena untuk menyelaraskan tema. Hal itu agar kita lebih bisa memahami teman tuli saja. Kalau waktu itu cek kesehatan dibuat untuk masyarakat Jatinangor yang memang membutuhkan seperti lansia, kekurangan ekonomi, dan lain-lain,” ucapnya.
Setelah workshop bahasa isyarat, Beyond 2.0 akan berlanjut dengan main event atau acara utama berupa konser amal. Hasil penjualan tiket dari konser tersebut akan diberikan kepada tunarungu yang membutuhkan.
Naufal berharap, lewat acara ini masyarakat khususnya mahasiswa bisa lebih memahami teman tuli itu unik dan spesial. Dengan mempelajari bahasa isyarat, teman dengar atau bukan penyandang tunarungu diharapkan mampu mengetahui cara berkomunikasi serta sadar bahwa semua manusia setara. Ia juga berharap acara ini bisa terus bertahan dan membesar.
Tunarungu Bukan Masalah
Pada kegiatan amal ini, Beyond 2.0 mengundang seorang Youtuber tunarungu, Amanda Farliany. Ia berbagi soal pengalamannya menjadi seroang tunarungu.
“Gampang kok, karena itu bahasa alami. Sulitnya di awal doang, kalau sudah terbiasa pasti gampang,” ujarnya saat ditanya mengenai sulit-mudahnya belajar bahasa isyarat.
Ia juga menjelaskan berbagai bahasa isyarat, salah satunya Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Baginya, SIBI yang merupakan sistem bahasa isyarat yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih sulit dibandingkan Bisindo yang dikeluarkan oleh komunitas Teman Tuli. Tambahnya, Bisindo tidak terlalu sulit karena kata-katanya yang singkat untuk merujuk suatu kalimat.
Amanda menjelaskan bagaimana perjuangannya untuk berkomunikasi sebagai tunarungu. Saat masuk ke sekolah umum di jenjang SMP, ia mengaku sangat kebingungan saat melihat teman-temannya berkomunikasi. Di saat itu juga, ia baru menyadari bahwa cara berkomunikasi teman tuli dengan teman dengar sangatlah berbeda.
“Bahkan aku dulu sering diejek tuli segala macem. Aku merasa sakit hati bahwa ternyata aku berbeda dengan orang lain. Kok mereka bisa ngomong cepat dan aku nggak. Sampai aku dikatain budeg,” ucap Amanda.
Meski demikian, ia berusaha untuk membiasakan diri serta selalu berpikir positif atas apa yang terjadi. Salah satunya dengan menetapkan cita-cita sebagai model. Teman-temannya di sekolah bahkan mengejek cita-citanya, namun ia jadikan hal tersebut pecutan untuk membuktikan ia bisa meskipun memiliki kekurangan.
Setelah beberapa kali mencoba, majalah Aneka pun memberikannya kesempatan untuk menjadi model. “Nah waktu itu aku senang banget. Cita-citaku tercapai. Saat itu aku senang sekaligus bisa membuktikan ke teman-teman bahwa aku bisa jadi model,” tambahnya.
Setelah sukses menjadi model, ia pun memiliki cita-cita lain, yaitu membuat teman tuli di Indonesia lebih percaya diri dengan kondisi mereka. Ia melihat banyak teman tuli yang tidak mau keluar rumah karena takut bertemu teman dengar. Melalui Youtube, Amanda ingin teman tuli semakin percaya diri bahwa dengan keberanian serta menunjukkan diri kita yang sebenarnya maka menjadi tunarungu bukanlah masalah.
Tulisan ini merupakan hasil kerja sama media partner antara LPPM dJATINANGOR dengan Beyond 2.0.
Meyta Yosta Gracely, Angga Argun, dan Erlangga Pratama
Editor: Ananda Putri