Jurnalis yang Mendua Itu Bernama Salman Aristo

Salman Aristo ketika ditemui di Ruang Prodi Televisi dan Film Fikom Unpad. Foto oleh: Nurul Amanah

Pernah mendengar nama Salman Aristo? Ya. Pria kelahiran Jakarta, 13 April 1976 ini adalah salah satu orang di balik suksesnya film Ayat-Ayat Cinta. Ia adalah penulis skenario film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo tersebut. Selain Ayat-Ayat Cinta, film-film yang sudah tak asing lagi di telinga penikmat film Indonesia, seperti Garuda di Dadaku, Catatan Akhir Sekolah, Alexandria, dan Brownies, juga memiliki skenario yang lahir dari tangannya.

Namun, siapa sangka penulis skenario handal yang akrab disapa Aris tersebut ternyata mengawali karirnya sebagai seorang jurnalis yang menggemari musik. Bahkan, di kampusnya, Universitas Padjadjaran (Unpad), Aris terkenal dengan hobinya ngeband. Lalu, bagaimana kisahnya hingga hatinya berlabuh pada industri film Indonesia?

Dibesarkan di keluarga guru, Aris kecil terbiasa untuk melahap buku setiap harinya. Baginya, buku adalah nafas. Namun, di tengah rutinitasnya bergulat dengan buku, film juga menjadi bagian dari hidupnya. Meski begitu, menjadi filmmaker tidak pernah terpikirkan olehnya. Mindset-nya selalu berkutat pada “Filmmaking adalah sesuatu yang nggak akan pernah gue capai”. Mengapa?

Selain karena harga kamera yang mahal, saat Aris menghabiskan waktunya untuk ngumpet-ngumpet dari orangtuanya demi pergi ke bioskop, film Indonesia jarang sekali diputar. Aris memang di hidup di tengah industri film Indonesia yang sedang lesu. Saat itu yang digandrungi adalah film Hollywood. Ia menyimpulkan, film adalah budaya orang lain. Pola pikir itulah yang langsung mematikan idenya untuk menjadi seorang filmmaker.

Ketika menjadi filmmaker dirasa sulit, udunan bersama teman-teman untuk sewa studio band adalah mudah. Aris memutuskan untuk menjadi musisi. Ada studio band yang terletak tak jauh dari rumahnya di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Musik menjadi tak terpisahkan dari hidupnya sampai ia kuliah di Unpad, Bandung. Apalagi, di Bandung saat itu sedang ada pergerakan musik indie. Teman-teman kampus mulai mengenalnya sebagai anak band. Sejak itu, hidupnya pun berkutat pada tiga hal; buku, film, dan musik.

Jauh sebelum Aris berkutat dengan band dan memasuki dunia perkuliahan, menulis adalah salah satu hal yang tak bisa lepas darinya sejak kecil. Bahkan, saat SMA, ia dipercaya menjadi redaktur pelaksana di majalah sekolahnya. Berangkat dari hobi menulis dan pernah menjadi redaktur pelaksana, Aris memutuskan untuk kuliah di jurusan Jurnalistik Unpad. Baginya, profesi wartawan sudah sangat cocok dengannya. Aris pun masih bisa konsisten dengan hobi menonton film dan ngeband. Namun, untuk masa depannya, wartawan adalah satu-satunya profesi yang dirasa cocok.

Di masa kuliah itulah Aris mulai melangkah ke dunia produksi film. Seorang kawannya, Fajar Syudrajat, mengajaknya nongkrong di Gelanggang Seni Sasta, Teater, dan Film (GSSTF), salah satu UKM di Unpad. Dari situ Aris menyadari, produksi film adalah hal yang mungkin. Beberapa temannya bahkan sering membuat film pendek. Ia mulai tahu posisi yang tepat bagi seseorang yang cinta menulis dan film, menjadi penulis skenario.

Meski sudah mulai jatuh cinta pada profesi penulis skenario, dunia jurnalistik tetap tak ditinggalkannya. Mendapatkan ilmu jurnalistik di perkuliahan ia manfaatkan untuk menjadi jurnalis di radio Mara Bandung serta di Trax Magazine. Tapi tetap saja, rubrik yang ia dapatkan tidak jauh dari kecintaannya, musik dan film. Profesi ini justru mengantarkannya untuk bertemu dengan beberapa produser. Salah satunya adalah Erwin Arnada. Saat itu, Erwin sedang menjadi produser suatu film. Aris pun diajak bekerjasama. Tiga tahun bersama Erwin, Aris menghasilkan Catatan Akhir Sekolah, Alexandria, dan Cinta Silver.

Namun, gerbang utama Aris ke industri film adalah Kine 28, suatu komunitas yang memutar dan mendiskusikan film setiap malam minggu di museum Gedung Dua8, Jakarta Selatan. Di sana, Aris pertama kali bertemu dengan Hanung Bramantyo sekitar tahun 2003. Kolaborasi pertama keduanya menghasilkan Brownies.

“Debut Hanung di Brownies yang langsung mengantarkannya merebut Piala Citra menjadi pelajaran berharga buat gue. Ngomong-ngomong, jarang, lho, sutradara dapat Piala Citra pas debutnya,” ujar Aris. Setelah Brownies, Aris kembali mendapat tawaran dari Hanung untuk mengadaptasi novel Ayat-Ayat Cinta menjadi film.

“Film gue dan Hanung itu (Brownies) mendapat kritik ‘film logika laki-laki banget’. Di situ gue sadar, Ayat-Ayat Cinta akan menarik kalau ada point of view perempuan,” kata Aris, “Apalagi kalau pasangan, lebih menarik lagi. Makanya gue langsung tanya Hanung, kalo gue nulis sama Gina (Ginatri Noer), gimana?”

Setelah menulis skenario Ayat-Ayat Cinta bersama istrinya, Ginatri Noer, Aris terus menangani skenario untuk berbagai film. Beberapa di antaranya adalah Laskar Pelangi, Hari Untuk Amanda, 5 Elang, dan Sang Penari.

Kini, di tengah kesibukannya menjadi penulis skenario, Aris menjajal profesi barunya sebagai dosen di Program Studi Televisi dan Film Fikom Unpad. Ia mengajar mata kuliah penulisan skenario. Meski harus bolak-balik Jakarta-Jatinangor setiap Jumat, baginya tak masalah demi adanya regenerasi penulis skenario.

“Gue nggak bilang ngajar, sih. Lebih tepatnya sharing. Industri ini harus tetap berdenyut. Caranya, sharing. Meskipun awalnya gue ragu dengan prodi ini karena masih belum jelas arahnya, menciptakan akademisi atau praktisi. Tapi, sekarang arahnya sudah kelihatan ke akademisi,” ujar Aris.

Meski mengaku sempat rindu untuk kembali liputan, Aris tetap pada pendiriannya untuk hidup sebagai filmmaker. Lagipula, ia merasa terjun ke lapangan sudah tak memungkinkan. Maka dari itu, suatu saat nanti Aris ingin membuat media untuk mengobati kerinduannya pada dunia jurnalistik.

Nurul Amanah

Editor: Ananda Putri


 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *