Bincang-Bincang Bersama Nezar Patria: Dari Persma Hingga Regulasi Pemberitaan di Media Sosial

Wawancara bersama Nezar Patria di akhir kuliah umum mengenai Konvergensi Media dan Transformasi Profesi Jurnalis di Auditorium Pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Jumat 16 Maret 2018 Foto oleh: Reza Pahlevi

Tahun 1998 menjadi salah satu sejarah besar perjalanan kehidupan berdemokrasi di  Indonesia. Di era Orde Baru, kebebasan berpendapat menjadi barang mahal. Pembungkaman kritik oleh pemerintah membuat sebagian besar masyarakat membisu. Dalam perjalanan sejarah itu, mahasiswa bersama rakyat mengambil peranan cukup besar dalam menggerakkan perlawanan. Perlawanan itu berujung pada runtuhnya Orde Baru yang ditandai dengan pidato kenegaraan Soeharto pada 21 Mei 1998 di istana kepresidenan.

Peran mahasiswa dalam melahirkan reformasi 1998 kemudian menjadi topik yang tak habis dibicarakan. Kebebasan berekspresi dan berbicara merupakan buah tangan pergerakan para aktivis yang semangatnya terus dirawat. Jumat, 16 Maret 2018, dJatinangor berkesempatan berbincang dengan salah seorang aktivis yang ikut serta dalam pergerakan reformasi 1998 kala itu.

Nezar Patria namanya. Masa mudanya banyak dihabiskan dalam pergerakan reformasi. Menempuh pendidikan filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM), nalarnya tergerak untuk berjuang melawan pemerintahan yang otoriter bersama mahasiswa lainnya. Sempat berkecimpung dalam dunia pers mahasiswa, kini kehidupannya didedikasikan untuk dunia jurnalistik.

Mulai menjadi wartawan saat bergabung di majalah D&R, ia kemudian menjadi wartawan di majalah Tempo, juga pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi di CNNIndonesia.com. Menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pun pernah ia cicipi di periode 2008-2011. Kini ia menjabat sebagai pemimpin redaksi di The Jakarta Post dan menjadi salah seorang anggota Dewan Pers dari unsur wartawan dan menjabat sebagai Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga.

Penghargaan-penghargaan di bidang jurnalistik beberapa kali ia dapatkan. Di antaranya adalah penghargaan Journalism for Tolerance Prize pada 2003 atas karyanya mengenai liputan kerusuhan Mei 1998 yang dimuat majalah Tempo.

Berikut adalah perbincangan bersama Nezar Patria yang berhasil diabadikan dJatinangor, seusai ia menjadi pembicara kuliah umum yang diadakan di Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad).

dJatinangor: Abang mulai tertarik dengan dunia jurnalistik tuh sejak kapan, sih, bang?

Ya, jadi sejak SMA saya memang tertarik dengan jurnalistik, bukan jurnalistik sebagai wartawan tadinya, ya. Saya lebih tertarik untuk dunia tulis menulis, saya senang membaca. Saya membaca buku, karya-karya sastra, saya membaca kisah-kisah macem-macem. Nah, itu yang membuat saya tertarik dengan dunia tulis menulis.

Setelah SMA saya meneruskan kebiasaan membaca saya itu. Saya senang mengunjungi perpustakaan. Kebetulan ayah saya wartawan. Jadi, kemudian saya melihat kerja dia enak gitu dengan tulis menulis. Begitu masuk ke kampus saya ikut dengan pers mahasiswa untuk mewadahi keinginan saya itu—hobi saya itu. Di pers mahasiswa itulah saya banyak belajar tentang jurnalistik.

dJatinangor: Melihat dari riwayat hidup abang, abang juga aktif sebagai aktivis di kampus. Mulai dari kritik masalah sosial, hingga kebijakan pemerintah di masa Orde Baru. Apakah kegiatan itu yang bikin abang pengen jadi jurnalis?

Oh, iya. Jadi, sebetulnya saya tidak pernah tahu saya itu mau jadi apa sebelumnya. Saya cuma senang jurnalistik. Lalu, saya belajar menulis. Di SMA saya sempat membuat sejumlah karangan yang dimuat (di media massa) dan memenangkan sejumlah lomba nasional juga. Kemudian waktu kuliah, masuk ke pers mahasiswa. Di pers mahasiswa, saya berkenalan dan berdiskusi banyak soal isu-isu sosial dan politik-ekonomi Indonesia pada masa itu. Saya melihat bahwa, wah, ini pers mahasiswa mewah sekali dengan jadi pelapor-pelapor saja, (tapi) nggak bisa mengubah keadaan apa pun.

Saya mulai ikut kelompok diskusi. Di situ juga ada mereka yang gemar diskusi, yang ikut pengorganisiran di sektor rakyat. Ada yang membantu petani untuk meningkatkan produksi pangan mereka, tapi terganggu oleh perampasan tanah, sehingga lebih banyak kasus-kasus sosial dan politik. Mereka mengadu ke mahasiswa. Sementara kami waktu itu cuma bisa berdiskusi, kemudian mulailah, kalau gitu kita harus bantu mereka, turun (mendampingi mereka) untuk protes ke DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Itu awalnya jadi semacam aktivisme mahasiswa yang bertumbuh menjadi gerakan mahasiswa. Setelah itu saya lebih banyak di gerakan mahasiswa ketimbang di pers mahasiswa. Di gerakan mahasiswa saya juga melakukan kerja-kerja jurnalistik, membuat selebaran-selebaran, buletin-buletin untuk petani, untuk buruh, juga buletin untuk mahasiswa. Sampai kemudian kami membuat gerakan mahasiswa nasional itu yang akhirnya berujung pada (reformasi) ‘98 itu.

dJatinangor: Abang kan berlatar belakang pegiat pers mahasiswa dan sekarang jadi anggota Dewan Pers, nih. Tapi, sampai saat ini belum ada info jelas, sebenarnya pers mahasiswa tuh termasuk lembaga pers yang diakui Dewan Pers, nggak?

Pers mahasiswa ini, kan, sebetulnya dikategorikan bukan pers umum. Dia itu pers internal, dia itu pers yang sifatnya hanya melayani satu kelompok saja. Jadi, dia itu lebih dianggap sebagai buletin internal, sehingga pers mahasiswa itu tidak masuk dalam ranah undang-undang pers. Yang masuk undang-undang pers itu adalah pers yang profesional. Kalau pers mahasiswa, pers yang kita definisikan sebagai pers yang hidup di kampus, terbit di kampus, berdasarkan dana kampus (dana kemahasiswaan). Tapi, kalau dia udah nggak lagi hidup dari kampus, dia bikin sendiri, tapi bergeraknya lewat mahasiswa, kemudian jadi pers umum, itu bukan pers mahasiswa lagi. Dia bisa masuk ke dalam penangguhan Dewan Pers. Tapi, selama kamu “disusui” ataupun difasilitasi oleh birokrasi kampus, kamu tetap dianggap sebagai media internal kampus.

dJatinangor: Berarti ada ketakutan akan tidak adanya idealisme pers mahasiswa itu sendiri, bang?

Bukan, bukan. Soal statusnya aja. Kalau kamu bergerak menjadi media profesional kamu harus memelihara audiensmu. Selama ini, kan, pers mahasiswa hidup dari dana kampus, iya kan? Itu pun terbitnya mungkin satu tahun dua kali. Rata-rata begitu kalau yang cetak. Kalau yang online bisa setiap saat. Bagaimana kamu bisa melayani pembacamu kalau terbitnya setahun dua kali? Jadi, pers mahasiswa nggak bisa masuk dalam kerangka media profesional. Nah, yang dibilang pers profesional itu yang dibilang tadi. Bukan pers mahasiswa, bukan pers masjid, bukan pers gereja, bukan pers pabrik.

dJatinangor: Persma dilindungin sama Dewan Pers nggak, bang?

Enggak.

dJatinangor: Terus kalau ada apa-apa dengan persma, gimana?

Enggak bisa diadukan ke Dewan Pers, (tapi) diadukan ke Dikti (Direktorat Pendidikan Tinggi).

dJatinangor: Pengen ngebahas keluar dari bahasan ini, nih, bang. Tentang fenomena post-truth yang belakangan lagi jadi perbincangan khususnya di media sosial, dari Dewan Pers ada nggak regulasi mengenai fenomena-fenomena kayak gini?

Buat media sosial enggak, tapi bagaimana jurnalis menggunakan media sosial, iya. Kalau media sosialnya sendiri bukan ranah Dewan Pers, kita nggak ngatur media sosial. Twitter, facebook, (dan media sosial lainnya) kita nggak ngatur. Kalau kita ikut ngatur itu, semua akun facebook harus daftar ke Dewan Pers, iya kan? Itu ranah komunikasi publik yang di luar pers. Yang kita atur adalah pers. Oleh karena itu dibuat aturan-aturannya. Misalnya, bagaimana menggunakan media sosial. Do’s and don’ts-nya dirumuskan di situ.

dJatinangor: Terakhir nih bang, bakal ada gebrakan baru nggak yang bakal dilakuin Dewan Pers melihat fenomena-fenomena yang terjadi saat ini?

Gebrakan baru, ya? Enggak ada. Kecuali kita melakukan verifikasi media dan kita akan memberikan kemudahan buat publik apakah media itu kredibel atau enggak. Jadi, meningkatkan literasi ke publik.

 

Nadhen Ivan

Editor: Ananda Putri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *