Ketua Senat Akademik Universitas Padjadjaran, Prof. Ganjar Kurnia membacakan naskah Seruan Padjadjaran bersama para guru besar, alumni, dan mahasiswa pada Sabtu, 3 Februari 2024 di Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Dipatiukur, Kota Bandung. (dJatinangor/Ridho Danu)
djatinangor.com — Universitas Padjadjaran (Unpad) turut menyampaikan sikap dan seruan kritik terhadap pemerintah atas kondisi demokrasi Indonesia. Aksi ini dilakukan usai beberapa universitas lain menggelar aksi yang sama sebelumnya.
Ketua Dewan Profesor Unpad, Arief Anshory Yusuf, menyebut aksi ini merupakan salah satu tugas akademisi dan kelompok intelektual terhadap negara. Menurutnya, kehidupan bernegara sudah tidak relevan jika masukan dari para akademisi dihiraukan pemerintah.
“Kami membaca bahwa kalau seandainya akal sehat, keberpihakan pada publik, lalu hati nurani sudah mulai diabaikan di berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kami benteng terakhirnya. Kalau benteng terakhirnya runtuh, sudah tidak relevan lagi eksistensi kita berbangsa bernegara, itu pandangan kami,” ujar Arief dalam sambutan aksi di Unpad Dipatiukur, Sabtu (3/2) pagi.
Bertajuk Seruan Padjadjaran: “Selamatkan Negara Hukum yang Demokratis,Beretika, dan Bermatabat”, aksi ini menjadi respons atas kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. Dalam seruan yang dibacakan Ketua Senat Akademik, Prof. Ganjar Kurnia, Unpad menyoroti berbagai rangkaian mundurnya kualitas demokrasi Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kemunduran tersebut tergambar dari memburuknya Indeks Persepsi Korupsi, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga proses penyusunan Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang jauh dari partisipasi publik.
Lebih lanjut, dalam seruan tersebut, Unpad juga menyorot perilaku nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan dalam syarat Capres-Cawapres Pemilu oleh Mahkamah Konstitusi, serta berbagai indikasi pelanggaran etik lain. Peristiwa itu dianggap sebagai puncak gunung es dari diabaikannya kualitas institusi dalam proses pembangunan kontemporer Indonesia.
Melalui seruannya, Unpad menyampaikan poin tuntutan untuk pemerintah dan masyarakat. Tujuh poin tersebut adalah:
- Pelaksanaan demokrasi harus menjunjung tinggi etika dan norma hukum yang bersandar pada Pancasila dan UUD 1945. Hukum tidak hanya teks semata, melainkan juga nilai dan prinsip yang ada di dalamnya serta dijalankan secara konsisten.
- Presiden dan elit politik harus menjadi contoh keteladanan kepatuhan terhadpa hukum dan etika. Bukan justru menjadi contoh melanggar etika, apa yang diucap tidak sesuai dengan kenyataan.
- Negara dan pemerintah beserta aparaturnya harus hadir sebagai pengayom, penjaga, dan fasilitator pelaksanaan demokrasi yang berintegritas dan bermartabat dengan menjag ajarak yang sama dengan para kontestan Pemilu.
- Mengajak seluruh komponen masyarakat untuk turut serta berpartisipasi aktif dalam kontestasi Pemilu 2024 dengan memilih para calon berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang sungguh, bukan atas dasar politik uang atau intimidasi.
- Bersama-sama dengan seluruh masyarakat menjaga penyelenggaraan Pemilu 2024 agar kondusif, aman, dan bermartabat serta mengawal hasil penyelenggaraan Pemilu 2024 sampai terbentuknya pemerintahan baru sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.
- Pemilu 2024 sebagai institusi demokrasi tidak boleh diolok-olok atau direduksi maknanya sekadar prosedur memilih pemimpin. Demokrasi harus dikembalikan pada jati dirinya sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dengan menegakan aturan main yang adil dan transparan, membuka ruang partisipasi yang substantif bagi publik untuk memperoleh informasi yang dapat diandalkan dalam memberikan suara.
- Mendesak penegakan hukum untuk kasus-kasus pelanggaran yang terjadi selama penyelenggaraan Pemilu 2024 untuk segera ditindaklanjuti demi terciptanya pemilu yang berintegritas dan pulihnya kepercayaan publik kepada pemerintah.
Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Susi Dwi Harijanti mengklaim aksi ini berbeda dengan aksi yang sempat digelar kampus lain sebelumnya. Dia menyebut Seruan Padjadjaran tidak hanya diadakan oleh para guru besar, melainkan juga dari berbagai pihak di Universitas Padjadjaran, termasuk dosen dan alumni, hingga para mahasiswa. Hal tersebut, menjadikan seruan ini disebutnya sebagai buah pemikiran bersama sivitas akademika Unpad. Setidaknya sudah ada yang menandatangani seruan ini.
“Ini merupakan kerja inklusivitas, jadi semua tergabung dalam seruan ini, baik pihak rektorat, pihak senat akademik, guru besar, dosen, mahasiswa, dan alumni,” jelasnya.
Susi mengungkapkan seruan ini telah ditandatangani 82 guru besar dan 1.030 dosen dan alumni Unpad. Profesor yang juga sempat menjadi salah satu panelis Debat Pertama Capres-Cawapres Pemilu 2024 ini menegaskan yang terpenting saat ini adalah menyuarakan kritik.
“Saya belum tahu bagaimana kedepannya, tetapi yang jelas, yang penting bagi kita adalah para guru besar, sivitas akademika dari berbagai kampus itu yang penting ‘kan bersuara. Suara-suara ini baru akan kita lihat bagaimana efeknya, saya yakin makin meluas,” pungkasnya.
Aksi kritik atas pemerintahan Presiden Jokowi sebelumnya juga digelar di beberapa kampus. Universitas Gadjah Mada menjadi yang pertama menyampaikan petisi guru besar sebagai kritik atas demokrasi, yaitu pada 31 Januari lalu. Aksi serupa diikuti Universitas Islam Indonesia sehari setelahnya, 1 Februari 2024. Berlanjut pada 2 Februari, Universitas Indonesia turut menggelar aksi yang sama.
Dilansir dari Kompas.com, Presiden Jokowi tak banyak bicara atas kritik yang disampaikan kampus. Dirinya menilai aksi itu sebagai hak demokrasi.
“Itu hak demokrasi ya,” ujar Jokowi saat dimintai tanggapan, Kamis (1/1).
Penulis: Ridwan Luhur
Editor: Ridho Danu