djatinangor.com — Sudah masuk tahun ketiga pandemi Covid-19 di Indonesia mulai bermunculan UMKM berbasis digital akan tetapi masih begitu banyak UMKM dengan basis konvensional, maka menarik dan penting untuk dianalisis perdagangan digital ini hari ini.
Ada dua pertanyaan kritis yang dapat digunakan sebagai dasar menganalisisnya. Pertama, apakah perdagangan digital berpihak kepada UMKM atau sebaliknya? Kedua, apakah perkembangan perdagangan digital menjadi peluang atau ancaman bagi perekonomian negeri ini?
Perdagangan digital merupakan semua bentuk transaksi jual beli barang ataupun jasa menggunakan media perantara internet. Sebuah sistem perdagangan digital minimal memerlukan empat komponen. Komponen ini adalah penjual dan pembeli, platform perdagangan digital, payment gateway, dan jasa pengiriman.
Tren pertumbuhan pasar perdagangan digital Indonesia meningkat setiap tahunnya. Bahkan dalam dua tahun terakhir, tren ini naik signifikan karena pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia. Dirasa atau tidak, praktik serta pertumbuhan pasar perdagangan digital telah mengubah struktur kelembagaan perekonomian negara.
Secara kuantitas Kementerian Koperasi Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mencatat jumlah pedagang digital meningkat setiap tahun. Data seluruh platform perdagangan digital awal tahun 2020 menunjukkan ada delapan juta pelaku UMKM yang terlibat. Terakhir, pada awal bulan Maret 2021 sudah mencapai dua belas juta pelaku. Dari segi konsumen, pada tahun lalu 88% dari pengguna internet Indonesia telah membeli produk secara digital.
Masifnya pembangunan infrastruktur digital, penetrasi digitalisasi dan pandemi Covid-19 mendorong pertumbuhan perdagangan digital Indonesia. Banyak masyarakat yang sebelumnya tidak pernah berbelanja online kini mengandalkan platform perdagangan digital untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Teori vs Praktik
Terjadi pro dan kontra pendapat munculnya perdagangan digital di Indonesia. Ada ekonom berpendapat perdagangan digital akan membantu UMKM, dan ada juga yang memprediksi akan mematikan UMKM. Namun keduanya berpandangan sama bahwa dalam ekosistem perdagangan digital, mayoritas UMKM Indonesia mengambil peran sebagai produsen atau pedagang.
Teori saluran pemasaran Kotler menjadi dasar bagi ekonom yang mempercayai perdagangan digital akan mendukung UMKM. Alasannya karena perdagangan digital memungkinkan terjadinya praktik saluran distribusi barang dan jasa langsung. Praktik ini menghemat biaya transaksi dan waktu sehingga konsumen maupun produsen (UMKM) akan mendapatkan keuntungan lebih dibanding melakukan perdagangan konvensional.
Sedangkan pendapat SM Shafaeddin, ekonom senior United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menjadi rujukan bagi ekonom yang memprediksi perdagangan digital akan mematikan UMKM. Dalam jurnal berjudul Trade Liberalization and Economic Reform in Developing Countries: Structural Change or De-Industrialization? Shafaeddin mengatakan bahwa perdagangan digital merupakan bagian dari liberalisasi barang jasa. Di mana perdagangan digital menjadi pintu masuk barang jasa asing ke pasar domestik negara berkembang.
Dengan menggunakan sudut pandang ekonomi politik, hemat penulis, pendapat ekonom yang mengatakan perdagangan digital akan mematikan UMKM sejalan dengan realitas hari ini. Faktanya, walaupun terjadi peningkatan jumlah pedagang digital, namun mayoritas barang dagangan berasal dari luar negeri. Harga murah dan kualitas baik merupakan penyebab produk asing menguasai pasar perdagangan digital Indonesia. Harga murah dengan kualitas baik dapat diwujudkan dengan teknologi mutakhir. Teknologi mutakhir dihadirkan dengan modal besar.
Besarnya potensi pasar menjadi penyebab produsen asing berlomba untuk menghegemoni pasar digital Indonesia. Dengan modal besar berbagai strategi dilancarkan. Salah satunya adalah dengan menjual barang jadi lebih murah dibandingkan menjual bahan baku. Sebagai contoh, harga jilbab ukuran 30 cm di salah satu platform digital Rp 10.000, namun harga kain bahan jilbab satu meter adalah Rp 20.000. Jika memakai logika ekonomi seharusnya harga kain lebih murah dibanding jilbab.
Apa yang dikatakan Pierre Bourdieu mengenai modal (capital), di mana hanya individu bermodal besar akan memenangkan arena pertarungan terimplementasi dalam perdagangan digital di Indonesia. Jika digambarkan pasar domestik menjadi arena pertarungan, maka produsen asing dengan kekuatan modal besar akan mengalahkan UMKM lokal. Ini artinya sudah terjadi penguasaan perdagangan digital oleh entitas kapitalis murni. Jika pemerintah diam melihat hal ini maka lambat laun UMKM akan mati serta membuat kemandirian dan kedaulatan ekonomi Indonesia melemah.
Selanjutnya secara ekonomi politik pula penguasaan investor asing terhadap ekosistem perdagangan digital bisa menjadi penahan kontribusi perekonomian dari sektor ini bagi Indonesia. Hal ini didasari oleh pemikiran investor dapat mengarahkan penggunaan sumber daya manusia maupun pengembangan riset dan teknologi dilakukan di negara asal investor.
Nasi sudah menjadi bubur, kehadiran perdagangan digital tidak perlu dilawan.
Pasalnya, perdagangan digital telah memberikan sejumlah manfaat langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat. Ke depan, agar tidak membunuh UMKM dan berpeluang menjadi motor ekonomi negara, pemerintah perlu mengarahkan perdagangan digital berkembang secara inklusif.
Indonesia bisa belajar dari India yang berhasil menciptakan iklim inklusif pada perdagangan digitalnya. India telah menerapkan porsi pembatasan produk impor pada platform digital yang beroperasi. Pemerintah India pun memberi insentif kepada platform digital penjual produk UMKM. Bentuk insentifnya adalah dengan memberikan keringanan pajak bagi platform digital tersebut. Selain insentif bagi pelaku, iklim perdagangan digital inklusif membutuhkan pembangunan infrastruktur digital dan jasa pengiriman logistik mumpuni.
Terlepas dari paparan di atas, penulis memperkirakan jangkauan perdagangan digital Indonesia akan semakin luas dan tidak lagi terbatas di Pulau Jawa. Empat tahun lalu pelanggan dari Pulau Jawa menyumbang 70% dari total transaksi digital Indonesia. Tahun depan, kuantitas distribusi transaksi digital Indonesia diprediksi akan merata antara kota-kota di Jawa dan pulau lain, terlebih bila pandemi Covid-19 belum berakhir. Berdasarkan hal ini, ayo bantu pemerintah menjadikan perdagangan digital menjadi alat untuk memajukan UMKM Indonesia!
Penulis : Fakih Fadilah Muttaqin (Alumni Sasta Arab – Fakultas Ilmu Budaya 2018)