Perbedaan Iduladha pada tahun ini kembali menjadi perdebatan publik. Padahal, perbedaan hari raya bukan hal yang pertama terjadi di Indonesia. Jika mengingat ke belakang, perbedaan Iduladha antara pemerintah dan Muhammadiyah pernah terjadi pada tahun 2015. Yang paling dekat, perbedaan juga terjadi pada penentuan awal Ramadan tahun ini. Perbedaan semakin diperdebatkan dengan membandingkan penetapan hari raya di Arab Saudi.
Pada Iduladha tahun ini, Pemerintah Indonesia menetapkan Iduladha jatuh pada 10 Juli 2022. Ketetapan ini, berbeda dengan Muhammadiyah dan Arab Saudi yang menetapkan Iduladha jatuh pada 9 Juli 2022. Namun, jika dilihat lebih dalam, apa yang nampak berbeda sebenarnya memiliki kesamaan, dan begitu sebaliknya. Perdebatan sebenarnya bisa diredam jika kita memahami sistem penanggalan yang sesuai, yaitu penanggalan Hijriah. Penggunaan penanggalan masehi semata-mata hanya untuk mempermudah masyarakat dalam melaksanakan hari raya.
Beda Sistem Penanggalan Hijriah dan Masehi
Selain berbeda dari segi penamaan bulan dan jumlah hari, ada berbagai perbedaan lain pada kedua sistem penanggalan ini. Berikut beberapa perbedaan antara keduanya:
- Beda acuan astronomis
Dalam penanggalan masehi, perhitungannya mengacu pada lama revolusi bumi terhadap matahari yang dianggap menjadi satu tahun. Bumi berevolusi selama 365,25 hari atau satu tahun lebih seperempat. Seperempat ini akan menjadi satu hari ketika bumi mengalami empat kali revolusi. Oleh karena itu, kita mengenal tahun kabisat yang menambah tanggal pada bulan Februari.
Sementara itu, dalam sistem penanggalan hijriah, perhitungannya dilakukan setiap satu bulan dan mengacu pada fase Bulan. Dibutuhkan waktu 29,5 hari dari fase Bulan baru kembali ke Bulan baru lagi. Nilai setengah hari ini membuat jumlah hari pada satu bulan hijriah berbeda-beda, ada yang 29 hari, ada yang digenapkan menjadi 30 hari.
- Beda waktu pergantian hari
Pada penanggalan masehi, pergantian hari ditandai dengan pukul 00.00 waktu setempat. Sedangkan, pergantian hari pada penanggalan hijriah dimulai saat waktu magrib. Oleh karena itu, penentuan awal bulan dilakukan dengan memperhatikan fase Bulan ketika magrib pada setiap akhir hari tanggal 29. Jika Bulan baru (hilal) sudah terbentuk setelah magrib, maka malam itu sudah berganti bulan, jika tidak, maka jumlah hari akan digenapkan (kembali kepada kriteria masing-masing).
- Beda garis perubahan tanggal
Mengingat bumi ini bulat, maka waktu pergantian hari akan berbeda-beda setiap wilayahnya. Oleh karena itu, ditetapkan sebuah garis (khayal) batas perubahan tanggal di permukaan bumi. Dalam sistem penanggalan masehi, garis perubahan tanggal berada di samudera Pasifik, di antara benua Asia dan Amerika. Sementara itu, pada penanggalan hijriah, garis batas perubahan tanggalnya berbeda-beda karena posisi Hilal akan berbeda setiap bulannya. Sebagai contoh, jika pada bulan ini hilal pertama kali terlihat di wilayah Arab, maka garis perubahan tanggal berada di wilayah Arab, kemudian bulan depan, hilal bisa saja pertama kali terlihat di wilayah Indonesia, sehingga garisnya berpindah menjadi di wilayah Indonesia (membentuk garis tanggal qamariyah).
Lalu bagaimana cara kerjanya? Pada tahun baru 1 Januari dalam sistem masehi, wilayah yang lebih dulu merayakan adalah yang berada di sebelah Barat garis perubahan tanggal, yaitu Rusia bagian Timur, lalu Jepang, lalu ke Barat lagi ada China, kemudian terus memutar ke Barat hingga pada akhirnya sampai di wilayah Amerika. Jika dilanjutkan ke Barat sedikit, nantinya akan kembali lagi di Rusia bagian Timur, tetapi sudah tanggal 2 Januari, padahal baru beberapa jam Amerika merayakan tahun baru. Perlu waktu lama, padahal jarak Rusia dan Amerika dekat (bumi itu bulat). Itulah fungsi garis batas ini, walau keduanya berdekatan, tetapi jarak waktunya berjauhan. Begitu pula dengan sistem hijriah, kembali kepada di mana garis perubahan tanggal berada. Kenapa berputar ke Barat? Karena rotasi bumi bergerak ke Timur, sehingga gerak semu matahari (dan waktu siang-malam) akan ke arah Barat.
Setidaknya tiga hal di atas dapat menjadi gambaran dalam memahami perbedaan sistem penanggalan hijriah dan masehi. Kembali ke topik perbedaan Iduladha antara Pemerintah RI, Muhammadiyah, dan Arab Saudi. Sejatinya semua sama-sama merayakan pada 10 Zulhijah, lantas kenapa terlihat berbeda atau memang sebenarnya berbeda? Mari kita cek! Kembali ingat, penanggalan masehi hanya untuk membantu memahami.
Antara Pemerintah RI dan Muhammadiyah: beda metode, beda kriteria, beda hasil
Dalam menentukan awal bulan, Pemerintah RI menggunakan metode hisab (data astronomis) dan rukyat (pengamatan langsung). Keduanya menjadi bagian tak terpisahkan, pengamatan dimudahkan oleh data hisab, dan data hisab didapat dari jalan panjang hasil pengamatan. Sementara itu, Muhammadiyah hanya menggunakan data hisab saja dalam menentukan awal bulan. Walau secara keseluruhan berbeda, tetapi bukan berarti data hisabnya juga berbeda. Data hisab atau astronomis yang digunakan keduanya memiliki kesamaan, bahkan dengan perkembangan teknologi, data astronomis seluruh dunia itu sama, kendatipun beda itu amat sedikit dan tidak signifikan atau tetap mendekati.
Data sama, kenapa hasilnya beda? Karena ada perbedaan kriteria. Pemerintah menggunakan kriteria Imkanur Rukyat (kriteria khusus hilal dapat dilihat) milik MABIMS, sedangkan Muhammadiyah menggunakan kriteria Wujudul Hilal (kriteria khusus hilal terbentuk). Hilal yang sudah terbentuk, belum tentu dapat terlihat, sebab cahaya hilal amat lemah dan bisa kalah dengan kabut di cakrawala atau pancaran cahaya matahari.
Kriteria Pemerintah menggunakan rekomendasi Jakarta 2017 yang kemudian dijadikan kriteria baru bagi Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS). Kriteria ini mensyaratkan posisi hilal berada di ketinggian minimal 3° dan elongasi (jarak busur dengan matahari) 6,4°. Jika berada di bawah posisi itu (tidak memenuhi kriteria), maka diyakini hilal tidak dapat diamati secara kasat mata.
Ilustrasi: Thomas Djamaluddin
Kriteria Muhammadiyah sendiri tidak mensyaratkan hilal terlihat, hanya cukup hilal terbentuk. Artinya, jika saat waktu magrib, Bulan sudah melewati konjungsi (ijtima’) dan telah terjadi fase Bulan baru, tidak peduli posisinya sangat rendah sekalipun yang penting sudah terbentuk hilalnya, maka dinyatakan sah untuk berganti bulan.
Tidak perlu berdebat mana kriteria yang benar, semua memiliki dasar. Sah mau mengikuti pemerintah atau Muhammadiyah, kembali pada keyakinan masing-masing.
Dalam kasus penentuan Iduladha tahun ini, hilal di Indonesia ketika dilakukan sidang isbat 29 Juni 2022/29 Zulkaidah 1443 H sebenarnya sudah terbentuk, hanya saja posisinya masih rendah dan belum memenuhi kriteria MABIMS. Hasilnya, Muhammadiyah menganggap saat magrib itu sudah masuk awal Zulhijah, sedangkan pemerintah memutuskan saat magrib itu belum masuk awal Zulhijah dan menggenapkan bulan Zulkaidah menjadi 30 hari. Jika ditarik dari hasil itu, maka Iduladha 10 Zulhijah menurut Muhammadiyah dimulai pada waktu magrib 8 Juli 2022 dan salat Ied pada 9 Juli 2022, sedangkan menurut pemerintah Iduadha dimulai pada waktu magrib 9 Juli 2022 dan salat Ied pada 10 Juli 2022.
Kesimpulan: Beda hasil karena beda kriteria
Antara Pemerintah RI dan Pemerintah Arab Saudi: sama metode, beda hasil
Keduanya memiliki persamaan metode, yaitu sama-sama menggunakan metode rukyat atau pengamatan langsung. Tujuannya juga sama, yaitu melihat hilal dengan kasat mata.
Meskipun dalam penentuan awal bulan sama-sama menggunakan syarat hilal dapat dilihat, nyatanya terdapat perbedaan hasil putusan. Alasan yang paling utama adalah perbedaan lokasi. Posisi Indonesia berada lebih Timur daripada Arab Saudi. Hal ini, mengakibatkan magrib di Indonesia tiba lebih awal, sehingga penentuan 1 Zulhijah pun lebih awal dari Arab Saudi. Ketika hilal diamati di Indonesia pada waktu magrib, posisinya masih rendah. Sedangkan, ketika hilal diamati di Arab Saudi pada waktu magrib, posisinya sudah tinggi dan sudah terlihat.
Semakin lama, posisi Bulan semakin naik. Sebagai pembuktian, lakukan pengamatan bulan pada waktu magrib setiap harinya. Kita nantinya dapat mengetahui posisi bulan semakin hari semakin naik atau semakin ke Timur dan begitu seterusnya memutar. Oleh karena itu, wilayah Barat Indonesia berpeluang lebih besar dapat melihat hilal karena waktu magrib lebih akhir dan hilal akan lebih tinggi.
Hasilnya, Iduladha dilaksanakan pada tanggal yang berbeda (secara masehi: Arab 9 Juli, RI 10 Juli), tetapi sebenarnya dilakukan pada tanggal yang sama secara sistem hijriah. Garis perubahan tanggal berada di antara Arab Saudi dan Indonesia. Karena waktu bergerak ke Barat, maka Indonesia akan merayakan lebih akhir di tanggal hijriah yang sama. Ibarat jika tahun baru masehi, Arab Saudi adalah Rusia bagian Timur dan Indonesia adalah Amerika.
Kesimpulan: Beda hasil karena beda lokasi
Antara Muhammadiyah dan Pemerintah Arab Saudi: beda metode-kriteria, sama hasil
Muhammadiyah telah memutuskan Iduladha pada 9 Juli 2022 berdasar kriteria hilal terbentuk. Sementara itu Arab Saudi telah memutuskan Iduladha pada 9 Juli 2022 berdasar terlihatnya hilal.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Muhammadiyah menggunakan metode hisab dengan kriteria Wujudul Hilal, sedangkan Arab Saudi menggunakan metode pengamatan langsung atau rukyat murni. Jelas terdapat perbedaan pada keduanya, Muhammadiyah mensyaratkan hilal terbentuk tanpa terlihat, sementara Arab Saudi mensyaratkan hilal terlihat.
Dengan adanya perbedaan itu, maka tidak dapat kita katakan Arab Saudi mencontoh Muhammadiyah, atau Muhammadiyah mengikuti Arab Saudi. Keduanya memiliki metode yang berbeda, kriteria yang berbeda, dan lokasi yang berbeda.
Kesimpulan: Sama hasil karena kebetulan
Tidak perlu bingung mau mengikuti yang mana. Semua memiliki dasar masing-masing yang dapat dipertanggungjawabkan. Kembali pada keyakinan diri tanpa menyalahkan keyakinan yang lain. Ikuti karena yakin pada satu keputusan, bukan karena membenci keputusan yang lain. Selamat Hari Raya Iduladha 1443 Hijriah!
—–
Ditulis oleh: Ridwan Luhur, anggota komunitas astronomi Dhaksinarga Astro Club (Komunitas terdata dalam JANAKA LAPAN RI [BRIN])