Berangkat dari kegelisahan saya melihat banyaknya milisi dan geng menjalankan berbagai aksi demi kepentingan kelompok. Mulai dari aksi penggusuran Tamansari di Bandung hingga Pancoran di Jakarta. Maka, saya mencoba memberikan gambaran bagaimana demokrasi electoral yang dijalankan organisasi non formal dalam bukunya Ian Douglas Wilson “Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Reformasi” (Diterbitkan oleh Marjin Kiri, 2018).
Tidak hanya demokrasi secara kenegaraan, dalam buku ini kita dibawa masuk ke lebih intim akan relasi masyarakat dengan kelompok “vigilante” serta beragam kompleksitas dibaliknya. Dalam hal ini, Ian mampu mereduksi isu soal premanisme di Indonesia dengan memadukan narasi, mulai dari sejarah, wawancara, sosiologi politik dan etnografi. Wawancara pun dilakukannya dalam kurun waktu 2006-2014.
Sangat takjub melihat Wilson dapat mengumpulkan informasi yang jarang dikemukakan oleh wartawan dan masyarakat pada umumnya. Awalnya Wilson hanya memasukan unsur teoritis mengenai preman dan hubungannya antar masyarakat dan para aparatur negara. Di sni, istilah preman yang dikenal berasal dari penurunan kata Belanda yaitu “vrijman” atau secara harfiah berarti manusia merdeka.
Dalam artian merdeka menjalankan praktik transaksional dalam area teritorialnya. Secara keseluruhan, politik transaksional dalam buku ini menjadi garis besar tema Politik Jatah Preman. Sebagaima politik menurut Lasswell, “Politics: who gets what and when”. Poin ini menjadi dasar bahwasanya negara atau preman saling berhubungan dalam hal politik. Menilik pada bab dua, pembaca mulai disuguhi penguakan sistem keamanan pasar dalam memahami dinamika kekerasan dan kewenangan koersif pasca orde baru.
Sebelum itu pula Wilson memberikan gambaran unik tentang historis premanisme ketika Orde Baru demi memicu topik yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Sebagaimana saat tahun 1965 terjadinya penumpasan yang memberikan duka dan kekacauan atas kondisi yang dialami Indonesia, melihat itu pun negara bertekad untuk menunaikan misi penguburan ideologi komunis dan manusia-manusianya.
Hal ini juga yang membuat Soeharto memberikan klaim-klaim kemenangan Orde Baru atas ketertiban yang telah dilakukan dan diaturnya dengan sedemikian rupa melalui kelompok vigilante. Misalnya Ia dan militer mengerahkan kelompok Anshor dan pemuda pancasila yang mendapatkan pelatihan khusus dan berbagai logistik
Namun, perjalanan dari pergerakan pemuda-pemuda oleh seorang patron mengalami perombakan terus meneurs, serta terdapat naik turun dilemanya. Hal ini dibuktikan dari argumen yang diberikan Menteri penerangan waktu itu, Jenderal Ali Murtopo yang mengatakan jika perlunya menghidupi kelompokk-kelompok fungsional. Sedangkan, Jenderal Soemitro yang menjabat sebagai Kepala Kopkamtib geng-geng remaja dibubarrkan dan membentuk kelompok yang lebih terstruktur.
Tentunya hal itu dapat membuat negara rezim Orde Baru dapat lebih mengontrol ke struktur yang lebih lokal di masyarakat. Berbagai legitimasi terus dikukuhkan pada zaman orde baru hingga penghujung kekuasaan Soeharto. Ada beberapa kelompok vigilante yang hidup namun adapun yang lenyap karena tidak bisa menyesuaikan iklim yang keras dalam dunia kontestasi kekuatan.
Kembali dalam politik transaksional, sering terdapat pemikiran dikotomi yang dihadapkan kepada masyarakat dari penawaran sistem sepihak para nahkoda vigilantisme. Salah satunya Wilson menjelaskan dalam aspek pengamanan di pasar. Secara simultan menjadi keharusan pedagang memakai jasanya karena mereka butuh keamanan tapi di lain sisi pun mereka takut karena tidak ada pilihan lain untuk menghindarkan suatu ketakutan koersif.
Lebih lanjut, alih-alih menolak sisi koersi dalam pengamanan, negara pun bermain pada dibelakang lingkaran setan ini, Tak jarang kasus pemuka partai memakai preman untuk melanggengkan atau menjadi propaganda kekuasaannya. Misalnya mengambil kasus dalam buku ini yang melibatkan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini yang memperoleh dukungan Islam konservatifnya FPI dalam menutup paksa Gang Dolly, sebuah tempat pelacuran di daerahnya.
“Horkheimer mengartikan sistem jatah preman sebagai suatu kongkalikong organisasi yang menekankan kesatuan kolektif dalam kepentingan keseluruhannya, dan negara sebagai sebuah organisasi yang menghamba pada sistem tersebut”
Wilson dalam buku ini juga dapat membangkitkan visual dalam bacaannya ketika mulai beradaptasi dengan lingkungan Jakarta. Kemampuannya dalam menelisik sisi gelap dan terang menjadi nilai lebih, terutama ketika membahas dua petinggi preman yang sering disebut oleh Jason Ranti dalam lagunya, yaitu John Kei dan Hercules dalam perdebatan teritorial petinggi organisasi masyarakat,
Dalam konteks analsis Wilson, Mereka bersain atas dasar teritorial dalam memungut pajak dan sarana penagihan hutang yang dalam hal ini terdapat di Tanah Abang. Terkadang juga mereka digunakan sebagai alat oknum dalam gerakan propaganda seperti demo dan pengamanan politik. Pergolakan ini juga memperlihatkan secara nyata bahwa sistem patronase sangat berpengaruh terhadap setiap milisinya Sebut saja Hercules yang konon dibekingi oleh Prabowo dan John Kei yang dibekingi oleh klien-klien pengusaha besar.
Buku ini pada akhirnya membawa pembaca agar memahami berbagai bentuk-bentuk pelayanan kelompok vigilante pada ranah politikus hingga ranah yang bermain di masyarakat setempat. Berbagai kelompok ormas atau tempat perguruan yang mengindahkan rezim “jawara” sebagai pemegang kekuatan lokal menjadi kooperatif terhadap kepentingan yang dihadapinya. Bukan masalah hal itu benar atau salah, namun apakah ada kesempatan kelompok-kelompok itu mendapatkan profit dan menaikan eksistensinya.
Penulis : Fathur Rachman