Kemelut Omnibus Law dan Pentingnya Peran Mahasiswa

Kita tentu masih ingat aksi Reformasi Dikorupsi yang meledak di depan Gedung DPR RI 24 September 2019 lalu. Mahasiswa ramai-ramai turun ke jalan membawa tujuh tuntutan ke hadapan pemerintah. Isu yang dibawa saat itu, seperti RUU KUHP, revisi UU KPK, RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), merupakan isu yang dekat dengan masyarakat. keresahan itu yang membuat mahasiswa dari berbagai penjuru negeri sepakat untuk melahirkan gerakan dalam skala besar.

Berbeda dengan Omnibus Law, sebuah produk hukum raksasa yang tengah menunggu pengesahan pemerintah. Banyaknya bidang yang dikaji dalam omnibus law membuat hanya segelintir ranah-ranah tertentu yang muncul ke permukaan.

Simak Juga: Kata Anak Unpad Tentang Omnibus Law

Omnibus Law sendiri merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih dari satu sektor. Di dalamnya, mencakup RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan, RUU tentang pemindahan ibu kota negara, dan RUU Kefarmasian.

Menurut Heri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Omnibus Law dibuat karena adanya tekanan ekonomi global, berkaitan dengan investasi di Indonesia. Riset dari World Economic Forum pada tahun 2018 menyatakan angka investasi di Indonesia terhambat karena beberapa faktor seperti korupsi, birokrasi yang tidak efektif, akses pendanaan, infrastruktur kurang memadai, dan ketidakstabilan kebijakan. Maka, Omnibus Law dicetuskan sebagai solusi untuk meluruskan atau meningkatkan efisiensi birokrasi yang selama ini cukup rumit.

Akan tetapi, menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi di Indonesia sepanjang tahun 2019 telah mencapai 75,9% dari target, bertambah sebesar 12,3% dibandingkan tahun 2018. Angka ini menunjukan bahwa investasi di Indonesia sesungguhnya tidaklah buruk, apalagi sejak lima tahun terakhir, tingkat investasi pada tahun 2019 merupakan yang terbesar.

Maka sekilas, yang menjadi isu utama adalah persoalan investasi Indonesia. Kenyataannya, akar permasalahan Omnibus Law justru tidak terletak pada perkara investasi yang mungkin terdengar rumit. “Isu besarnya adalah demokrasi, berkurangnya partisipasi publik,” ucap Budi dari LBH Bandung dalam kesempatannya menjadi pemantik diskusi pada tanggal 4 Maret 2020 di Sekre Bersama UKM Barat, Universitas Padjadjaran.

Sejak awal, penyusunan Omnibus Law dinilai terlalu prematur. Presiden menargetkan agar peraturan perundang-undangan ini disahkan dalam waktu 100 hari. Sayangnya, publik seolah tidak diperbolehkan tahu. Bahkan, naskah akademiknya terkesan ditutup-tutupi, sehingga menghambat partisipasi masyarakat sipil untuk sama-sama mengawal isu Omnibus Law. Tentunya, seperti yang dikatakan Budi, ini adalah sebuah gejala tidak berjalannya sistem demokrasi yang seharusnya.

Bukan itu saja, isi pasal-pasal di dalam Omnibus Law pun berpotensi menimbulkan masalah apabila benar-benar disahkan. Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran menyebutkan akan adanya deregulasi besar-besaran yang menyebabkan core atau pusat pembangunan menjadi agenda politik. Pembangunan akan dipimpin oleh pemerintah pusat, seperti pada masa orde baru.

Kemudian, isu keadilan sosial sesuai Pancasila akan berada di ambang batas akibat keikutsertaan negara dalam roda kapitalisme. Ketimpangan ekonomi di dalam tubuh masyarakat akan semakin besar. Lalu, senada dengan apa yang sebelumnya sudah dipaparkan, sentralisasi negara akan semakin kuat dan berakibat pada hilangnya partisipasi publik. Wewenang pemerintah daerah untuk menjalankan otonomi daerah juga seakan tidak lagi dianggap. Salah satunya dalam pasal yang mengatur bahwa tata ruang wilayah bisa diakomodasi oleh pemerintah pusat jika investor masih kurang puas atau terhambat dengan kinerja pemerintah daerah.

Dari sisi pendidikan, Lutfi menyebutkan, Omnibus Law memposisikan pendidikan sebagai amanat undang-undang menjadi komoditas. Sistem pendidikan tidak lagi digunakan untuk menjalankan amanat Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi untuk mendatangkan keuntungan bagi negara.

“sangat disayangkan pembahasan mengenai system pendidikan di Omnibus Law ini hanya memfokuskan mahasiswa sebagai sumber daya pemenuh kebutuhan industry. Padahal, tujuan akhir dari pendidikan kan bukan hanya itu. Saya khawatir kualitas bidang riset dan invoasi, serta pengembangan ilmu pengetahuan kemungkinan menurun bila Omnibus Law disahkan,” Kata Lutfi.

Dari segi lingkungan, Omnibus Law juga akan mendatangkan beberapa masalah. Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki W. Paendong menyatakan, “(Omnibus Law) sangat mengancam untuk lingkungan, hanya demi ‘libido’ investasi.” Dalam diskusi yang digelar oleh Departemen Propaganda dan Aksi Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Padjadjaran, Kamis tanggal 27 Februari lalu. Meiki menyebutkan perizinan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) akan jatuh ke tangan pemerintah pusat. Mekanisme ini menghilangkan partisipasi masyarakat, akademisi, dan organisasi lingkungan. Tentunya, dampak jangka panjang yang akan muncul adalah percepatan kerusakan lingkungan.

Masih menyoal dampak dari segi lingkungan, Meiki menyebutkan Omnibus Law akan menghapuskan izin lingkungan dan menggantinya dengan izin usaha. Ini jelas akan merugikan masyarakat yang tinggal di lingkungan tempat sebuah usaha akan didirikan. Masyarakat tidak lagi punya hak untuk menolak jika pemerintah sudah mengizinkan investor membangun usaha di sana.

Mario Tebu dari Agrarian Research Center juga menyuarakan hal yang sama, “Negara tidak menghargai hak properti individu. ” Mario menyebutkan, RUU Pertanahan yang sudah pernah mendapat penolakan dari masyarakat justru kembali disuntikkan substansinya ke dalam Omnibus Law. Omnibus Law mengatur hak pengelolaan tanah berada di tangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan bank tanah.

Sungguh pelik permasalahan yang akan ditimbulkan jika Omnibus Law ini sampai disahkan. Terlalu banyak kepentingan masyarakat yang harus disisihkan demi memenuhi keinginan investor. Permasalahan Omnibus Law memang cenderung berjarak dengan mahasiswa karena menyorot investasi sebagai isu utamanya. Akan tetapi, seperti yang sudah dipaparkan di atas, dampaknya cukup panjang dan menyentuh berbagai sektor kehidupan. Oleh karena itu, mahasiswa tidak boleh abai akan isu ini.

“Kami meyakini gerakan mahasiswa sudah mencatatkan sejarah dalam mengubah negara Indonesia. Makanya, kawan-kawan mahasiswa menjadi kekuatan penting yang perlu dirangkul dan bersama-sama memperjuangkan,” tegas Meiki.

Editor: Muhamad Arfan Septiawan

Penulis: Putri Indy Shafarina dan Putri Shaina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *