Sungai Citarum, sungai dengan panjang 297 kilometer serta melintasi 13 kabupaten dan kota di Jawa Barat ini sering dikabarkan media sebagai salah satu sungai terkotor di dunia. Hal ini membuat pemerintah menaruh perhatian besar untuk membersihkan dan melakukan normaslisasi.
Berangkat dari isu tersebut, LPPM dJATINANGOR melalui acara tahunannya yaitu Generasi Kreatif Tanpa Batas (Genetitas) 2019 mengadakan seminar dengan titel “Wajah Citarum dalam Bingkai Media” pada Kamis (3/10) bertempat di Auditorium Pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad).
Dalam acara ini ada empat pembicara, yaitu Dedi Kusnadi selaku Ketua Harian Satgas Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai (PPK DAS) Citarum, Mustafa Silalahi selaku Redaktur Majalah Tempo, Noe Firman Rachmat selaku Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat, dan Herlina Agustin selaku dosen Fikom Unpad.
“Perjalanan penanganan ini dalam kurun waktu 2018 sampai 2025, namun dalam bahasan berikutnya oleh Pak Gubernur bahwa Citarum ini bisa selesai tahun 2023, tapi ini mustahil bisa selesai apabila persoalan-persoalan tidak ditangani dengan maksimal,” ujar Dedi.
Noe Firman menjelaskan sedari awal Pikiran Rakyat sudah memberi perhatian lebih kepada Citarum sejak 1974.
“Di Citarum itu ada beberapa persoalan yang menarik, sangat banyak proyek, sangat banyak tahapan. Anggaran dari mana-mana, jumlahnya fantastis. Hasilnya, ya, seperti ini,” ucapnya.
Noe juga merasa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tak pernah konsisten dan terarah. “Program-program yang tersusun tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan politis itu yang kita tangkap,” tambah Noe.
Selain itu, mengapa Citarum layak untuk bertengger di media adalah karena Citarum memiliki kekhasan, ditambah buruknya birokrasi, memiliki kedekatan yang besar dengan pembaca, serta berbagai permasalahan yang kompleks.
Persoalan Citarum tak terlepas dari politik dan hukum. Mustafa Silalahi atau yang kerap disapa Moses mengatakan, ada potensi-potensi korupsi perihal proses penanganan Citarum karena setiap provinsi, kementrian, hingga pihak kabupaten/kota memiliki proyek yang berbeda dan tak pernah satu atau kolaboratif, namun anggarannya juga besar sekali.
“Saat Kang Emil ingin menarik pipa di salah satu daerah di Kota Bandung dan tidak bisa karena bukan milik tanah Pemkot Bandung, tapi milik Kementrian. Kementrian ini nggak bisa seenaknya saja mengasih tanah itu, karena ada potensi korupsi di situ. Makanya saya katakan tadi, permasalahan di Citarum ini sangat kompleks,” tegas Moses.
Tidak hanya pemberitaan di dalam negeri saja, media asing pun turut berlomba-lomba dalam menggambarkan Citarum sebagai sungai yang paling berpolusi.
“Kenapa kita peduli banget media asing tuh harus standing Citarum itu seperti apa, karena nanti dampaknya ada efek domino untuk Indonesia,” kata Herlina Agustin.
Pemberitaan mengenai sungai Citarum dalam media asing dimulai pada tahun 2011. Herlina Agustin yang juga pegiat lingkungan dan satwa menambahkan bahwa isu Citarum ini sudah menjadi isu penting di mata dunia sejak lama.
“Artinya orang asing itu sudah memberikan perhatian, karena isu lingkungan kalau di kita marjinal, di sana bisa jadi sangat penting,” tutup Herlina Agustin.
Ni Luh Lovenila Sari Dewi
Editor: Tamimah Ashilah
1 Comment