Ujaran Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) beberapa waktu lalu berhasil membuat sejumlah perguruan tinggi gundah. Mohamad Nasir menyatakan, pada 2020 kebijakan mengenai masuknya rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi di Indonesia akan dibuat. Peningkatan kompetensi dan kualitas universitas jadi alasan yang digadang-gadang. Ditambah lagi ada target yang Nasir tetapkan, yaitu meningkatkan ranking perguruan tinggi Indonesia hingga mencapai jajaran 100 besar dunia. Pertanyaan yang muncul di benak banyak orang adalah: mengapa harus rektor dari luar negeri? Apakah pengajar perguruan tinggi asing lebih kompeten ketimbang pengajar perguruan tinggi Indonesia?
Indonesia memang belum menjadi negara maju layaknya Singapura, Korea Selatan, hingga sebagian negara di Eropa. Saat ini, status Indonesia masih sebagai negara berkembang. Namun, Indonesia bukan negara yang tertinggal maupun terbelakang dalam aspek pendidikan. Dapat kita saksikan sehari-hari pemberitaan mengenai prestasi-prestasi yang dicapai pengajar maupun pelajar Indonesia. Dimulai dari bidang sosial, alam, teknologi, kesehatan, seni, dan masih banyak lagi. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia misalnya, sangat subur dalam menghasilkan prestasi-prestasi yang mewakili nama baik Indonesia, di dalam maupun luar negeri. Di beberapa negara bahkan telah banyak orang Indonesia yang diakui keilmuannya. Sebut saja mantan presiden Indonesia, Baharuddin Jusuf Habibie, yang ilmunya di bidang permesinan dan dirgantara sudah diakui negara Jerman dan negara-negara lainnya.
Selain prestasi-prestasi yang dibuktikan dari peringkat kompetisi maupun perlombaan lainnya, hingga saat ini Indonesia mempunyai banyak pelajar yang aktif menimba ilmu di negara-negara lain. Di negara Jerman misalnya, menurut data Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang diakses dari Laporan Tahunan Tahun 2016, terdapat 3.811 orang pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di sana per 2014/2015. Sementara di Australia terdapat 293.000 pelajar Indonesia.
Bukan hanya pelajar, ilmuwan Indonesia juga aktif berkarya di beberapa negara di dunia. Salah satunya di Jerman, tempat 157 ilmuwan tingkat scientific personal berada. Hal itu jelas menunjukkan bahwa Indonesia sama sekali tidak menghadapi krisis sumber daya manusia yang berkualitas. Khususnya di segi keilmuan dan pendidikan, dapat dikatakan Indonesia merupakan salah satu negara terdepan.
Impor Rektor dan Kualitas Pendidikan Indonesia
Wacana impor rektor mempunyai kaitan dengan kecenderungan krisis kepercayaan kepada bangsa sendiri. Dengan kata lain, lahirnya wacana tersebut adalah sinyal adanya anggapan pengajar luar negeri mempunyai kompetensi yang lebih tinggi ketimbang pengajar Indonesia. Padahal, banyaknya mahasiswa, dosen, maupun ilmuwan Indonesia yang berprestasi di luar negeri adalah bukti, negara ini punya potensi untuk memajukan pendidikan di tangannya sendiri. Bukan hanya masalah nasionalisme. Toh, sumber daya manusia Indonesia memang terbukti berkualitas.
Kualitas pengajar dan pelajar dalam pendidikan tinggi membentuk sebuah siklus yang berkaitan. Pengajar yang baik akan menghasilkan pelajar yang baik. Pelajar yang baik kelak dapat menjadi pengajar yang baik. Yang kemudian akan menghasilkan pelajar-pelajar baik lainnya.
Hal yang perlu diperbaiki dari Indonesia adalah sistem serta manajemen di aspek pendidikan. Ini agar para pelajar maupun pengajar Indonesia bisa berkembang dengan optimal. Selama ini, tak jarang kita mendengar banyaknya orang Indonesia berprestasi yang lebih memilih untuk berkarir di luar negeri. Sistem pendidikan tinggi dan penelitian di Indonesia yang tidak memungkinkan mereka untuk berkembang secara optimal, baik dari segi materil maupun pembinaan keilmuan, adalah salah satu alasannya. Bila dalam politik rasa tidak puas pada pemerintahan dicurahkan dengan golput, mungkin rasa tidak puas pada sistem pendidikan salah satunya dicurahkan dengan berkarir di negara lain.
Kenyataan itu bukan tak dapat diubah. Indonesia dapat memperbaiki kualitas pendidikan tinggi dengan melakukan revolusi dan perbaikan sistem yang mengakomodir pengembangan diri seluruh aspek di dalamnya. Salah satu fakta yang kini melingkupi sistem pendidikan Indonesia adalah minimnya dana penelitian bagi para dosen dan pendidik. Hal itu menjadi hambatan besar bagi pengajar dan pelajar untuk mengembangkan penelitian secara optimal. Baik dari segi sosialisasi, pendanaan bahan baku, riset, survei, dan sebagainya.
Bila hendak belajar dari negara lain, alih-alih rektor asing, pemerintah bisa meningkatkan kolaborasi penelitian antara universitas dan pengajar Indonesia dengan pengajar dan universitas di luar negeri. Tanpa berangkat dari asumsi bahwa pengajar asing lebih berkompeten ketimbang pengajar Indonesia, kolaborasi itu justru akan menyatukan dua kepala berbeda yang saling melengkapi. Hal itu bisa meningkatkan mutu pendidikan melalui akses penelitian yang mumpuni.
Manajemen perguruan tinggi membutuhkan dana yang besar dan kualitas sumber daya manusia yang baik. Kualitas sumber daya manusia yang baik salah satunya bisa ditingkatkan melalui pendanaan dan pendampingan penelitian yang baik, sarana prasarana kampus, sistem gaji, dan sebagainya. Bila belum ada kesiapan pemerintah untuk berkomitmen mewujudkan hal-hal tersebut, maka keputusan untuk merekrut rektor asing perlu dikaji ulang. Beban untuk membayar rektor asing juga belum tentu lebih sedikit ketimbang peningkatan dana penelitian pengajar dan pelajar Indonesia.
Perbaikan juga perlu dilakukan dalam sistem perekrutan rektor. Rektor bukanlah semata jabatan manajerial maupun seremonial yang merepresentasikan wajah kampus. Rektor merupakan sebuah posisi multitanggungjawab. Di bawah kepemimpinannya, nasib sebuah institusi perguruan tinggi dipertaruhkan. Mungkin, sengkarut pemilihan rektor di beberapa universitas adalah sebuah pertanda urgensi perbaikan sistem perguruan tinggi di Indonesia.
Terdapat sebuah ujaran yang mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi terbesar manusia. Ujaran itu amat masuk akal. Melalui pendidikanlah seseorang bisa mencapai harkat hidup yang lebih baik. Melalui pendidikanlah sebuah negara bisa melesat maju dan bangkit dari keterpurukan. Pendidikan mampu menghasilkan manusia-manusia yang kompeten dalam berbagai bidang.
Pendidikan adalah gerbang terdepan yang melindungi manusia dari kebodohan dan melindungi sebuah negara dari kehancuran. Bila pendidikan tidak diperhatikan dan dikelola dengan baik, Indonesia terancam kehilangan gerbang pelindungnya dari kejatuhan. Bila sistem pendidikan sudah tak bisa diandalkan, lantas ke mana kita harus berpegang?
Selma Kirana H
Editor: Sabrina Mulia