Bulan Maret lalu, puluhan orang yang tergabung dalam Aliansi Cagar Alam Jawa Barat menuntut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, untuk mencabut surat keputusan (SK) bernomor SK.25/MENLHK/SETJEN/PLA.2/1/2O18. SK yang sering disebut SK 25 itu berisi perubahan fungsi sebagian kawasan Cagar Alam (CA) Kamojang dan Papandayan menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Perubahan ini melegalkan masuknya intervensi manusia di kawasan tersebut.
SK 25 sejatinya disahkan pada 10 Januari 2018. Namun, pengesahan tersebut tidak diikuti sosialisasi kepada masyarakat. Baru pada Januari 2019, sekelompok aktivis lingkungan mengetahui SK ini. Putusan SK mereka anggap berpotensi merusak lingkungan dan sejak itu penolakan terus digemakan.
Terkait SK 25 ini, KLHK mengeluarkan siaran pers dalam situs resminya yang menyebutkan, hasil penelitian lapangan Tim Terpadu menunjukkan adanya degradasi di kawasan CA. Selain itu, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di dua kawasan tersebut terkendala dalam pengembangan operasi. Maka dari itu, fungsi kawasan CA perlu diubah agar masalah dapat diselesaikan.
Eksploitasi Panas Bumi
Meski ada beberapa alasan, kekhawatiran terbesar para pegiat lingkungan adalah SK 25 membuka jalan bagi eksploitasi panas bumi. Hal ini juga yang disampaikan Koordinator Aliansi Cagar Alam Jawa Barat, Kidung Saujana, ketika ditemui di Kedai Layaran, Bandung, awal Mei lalu.
“Sebetulnya kalau kita sendiri menganalisa, pariwisata di sini hanya sebagai kedok. Sebetulnya kepentingannya bukan untuk itu, tapi kepentingan utamanya untuk mempermudah eksploitasi panas bumi. Karena itu tercantum di amar ketiga di SK yang dimunculkan oleh menteri, ada di bagian akhirnya guna kepentingan permasalahan dengan panas bumi. Dari kronologi yang kita dapatkan pun memang merujuknya ke panas bumi,” ujar Kidung.
Ayat pertama amar ketiga SK yang disebut Kidung itu berbunyi:
Memerintahkan kepada Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem untuk:
- menindaklanjuti perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Amar KESATU, untuk penyelesaian penanganan permasalahan pemanfaatan panas bumi;
Panas bumi merupakan energi baru terbarukan yang pengembangannya terus digenjot pemerintah. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 28-29 gigawatt. Namun, pada kuartal III 2018, total kapasitas listrik dari PLTP baru mencapai 1.948,5 megawatt. Pemerintah pun menargetkan kapasitas listrik sebesar 7.200 megawatt yang bersumber dari panas bumi pada tahun 2025.
Di Indonesia, pengelola PLTP terbesar dipegang oleh Star Energy. Pada 2018, Star Energy mengelola lebih dari 900 megawatt listrik dari tiga PLTP. Salah satu PLTP yang mereka kelola berada di Darajat, Kabupaten Garut. PLTP Darajat memiliki 3 unit dengan luas area 26 hektar. Area ini berada di kawasan konservasi Papandayan.
Meski berkontribusi besar terhadap kapasitas listrik panas bumi, PLTP Darajat menuai protes warga. Dilansir dari Pikiran Rakyat Online, sepanjang 2018 warga Darajat menyaksikan penebangan pohon di kawasan milik Star Energy. Warga khawatir penebangan ini akan mengurangi resapan air dan berpotensi menimbulkan banjir. Unjuk rasa telah dilakukan, tapi Star Energy tak memberi tanggapan.
Masih pada 2018, puluhan warga Kabupaten Garut juga pernah melayangkan tuntutan ke Star Energy. Mereka meminta adanya transparansi dana CSR dan bonus produksi. Selain itu, mereka menuntut Star Energy untuk mengantisipasi bencana dari kegiatan eksploitasi panas bumi. Termasuk pemeliharaan hutan dan pembangunan infrastruktur di kawasan terdampak eksploitasi.
Sekitar 33 kilometer dari Darajat, ada PLTP lain di Kamojang, yang dikelola oleh Pertamina Geothermal Energy. PLTP ini memanfaatkan area seluas 56,85 hektar atau 1,97% dari luas TWA Kamojang.
PLTP Kamojang memiliki lima unit. Unit 1, 2, dan 3 mengolah panas bumi menjadi uap dan menjualnya ke PT Indonesia Power Unit Kamojang. Sementara unit 4 dan 5 langsung mengolah panas bumi menjadi listrik dan menjualnya ke perusahaan yang sama.
Terbentur Perizinan
Kegiatan eksploitasi panas bumi umumnya berada di kawasan konservasi. Ini membuat PLTP sulit mengembangkan operasinya karena terbentur izin kawasan. Namun, beberapa peraturan telah dibuat untuk mengatasi hal ini.
Salah satunya adalah UU No. 21 tahun 2014 yang merevisi UU No. 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi. Ada pula Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2017 tentang panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung. Hasil revisi ini mengeluarkan eksploitasi panas bumi dari kategori pertambangan, yang membuatnya dapat dilakukan di kawasan konservasi.
“Dua regulasi ini mengubah mindset lama bahwa pengembangan panas bumi bisa dilakukan di kawasan hutan konservasi karena tak lagi dikategorikan sebagai usaha pertambangan,“ kata Rida Mulyana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM, seperti dikutip Mongabay pada Mei 2018.
PP No. 7 tahun 2017 menyebut, penyelenggaraan panas bumi merupakan wewenang Pemerintah Pusat yang dikoordinasikan oleh Menteri. Soal ini, baik Menteri ESDM, Ignasius Jonan, dan Menteri KLHK, Siti Nurbaya, tampaknya sudah bersepakat. Pasalnya, akhir April lalu keduanya menandatangani Nota Kesepahaman tentang Koordinasi dan Kerjasama dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Bidang ESDM dan LHK di Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta. Salah satu fokus kerjasama ini adalah “sinkronisasi penggunaan kawasan hutan”.
“Geotermal dan hidro (PLTA) ini memang sangat terkait dengan izin pinjam kawasan hutan. Mohon sekiranya KLHK mendorong pengembangan (PLTA dan Geotermal), diberikan izin pinjam kawasan hutan,” kata Jonan pada acara penandatanganan tersebut, seperti dilansir dari Tirto.
Di Kamojang dan Darajat, perizinan telah dimudahkan lewat adanya SK 25. Perubahan fungsi kawasan CA menjadi TWA memungkinkan eksploitasi panas bumi lebih jauh lagi.
“Pertamina yang existing itu ada sebelum ketentuan bahwa hutan itu dinobatkan sebagai kawasan konservasi,” Adi menjelaskan, “Dan untuk pengembangan ke depannya kita akan sesuai prosedur. Artinya ada proses perizinan dan sebagainya yang itu memang kita tempuh dan sampai sekarang tidak ada permasalahan terkait itu.”
Ditanya mengenai pengembangan dan kemungkinan membuka sumur pengeboran baru, Adi tidak memberi jawaban spesifik selain “pasti ada”. Namun, sekitar setahun selepas SK 25 keluar, Menristekdikti, Mohammad Natsir, mengatakan pemerintah berencana membangun PLTP bersistem binary cycle di Kamojang. Pernyataan ini ia keluarkan di sela acara penyerahan aset pembangkit listrik percontohan PLTP Binary Cycle di Lahendong, Tomohon, seperti diberitakan oleh Antara.
Tiga bulan berselang, tersiar kabar Star Energy akan membuka sumur pengeboran panas bumi baru di Darajat. Dilansir dari bisnis.com, pengeboran sumur baru diperlukan karena usaha panas bumi tidak bisa bergantung pada satu lokasi pengeboran. Sayang, hingga tulisan ini diterbitkan, kami tak berhasil menemui pihak Star Energy Darajat.
Dampak PLTP
Meski tergolong energi baru terbarukan, PLTP memiliki dampak lingkungan. Memang pencemaran PLTP dapat lebih diminimalisir daripada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), tapi bukan berarti tak berisiko pada lingkungan.
Dalam Modul Pelatihan Panas Bumi yang dikeluarkan World Wildlife Foundation (WWF), eksploitasi panas bumi untuk pembangkit listrik dapat berdampak pada emisi gas rumah kaca, masalah air, dan pembukaan lahan. Emisi gas rumah kaca diakibatkan cairan yang diambil dari dalam bumi mengandung campuran bahan kimia seperti karbondioksida, metana, dan amonia. Efek gas rumah kaca ini dapat berdampak pada pemanasan global.
Cairan yang diambil dari dalam bumi juga mengandung sejumlah material beracun seperti arsenik, merkuri, dan garam kimia. Akibatnya, terjadi pencemaran air.
Hal ini seperti yang terjadi di stasiun 2 Sungai Cikaro yang berada di dekat PLTP Kamojang unit 3 dan PT Indonesia Power. Menurut penelitian berjudul “Pengaruh Kegiatan Geothermal terhadap Keanekaragaman Ikan di Aliran Sungai Cikaro, Kabupaten Bandung” yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Padjadjaran pada 2015, terjadi pencemaran di stasiun 2 Sungai Cikaro. Di sana memang terdapat pipa buangan limbah kegiatan PLTP Kamojang. Akibatnya, keanekaragaman ikan di sana rendah dengan hanya satu jenis ikan.
Suryalaya, warga Kamojang, turut merasakan dampak PLTP terhadap kondisi air. “Sumber air banyak berkurang. Karena mereka (PLTP) menggunakan banyak air, karena proses mereka sebetulnya seperti kita ngedidihin air. Kalau kosong, kan, harus diisi lagi, diisi lagi. Begitu pun ini. Ini sistem kerjanya sama. Dimasukin air, keluar uap, disalurin untuk memutar turbin, jadi pembangkit, jadi listrik. Di bawah (permukaan tanah), kan, kosong. Ngambil air lagi dari permukaan 2 kali. Itulah dampak ke lingkungan,” katanya ketika ditemui Sabtu, 13 April 2019.
Warga Kamojang yang juga Karang Taruna di sana, Ipan, pun sempat bercerita tentang kondisi Sungai Cikaro yang sudah berubah. Dari kapasitas air yang dulu cukup banyak, kini berkurang.
Dampak lainnya yang paling menyita perhatian pegiat lingkungan adalah pembukaan lahan. Hal ini dapat berdampak pada ekosistem, hilangnya flora dan fauna khas, serta banjir di hilir. Padahal, di CA Kamojang dan Papandayan terdapat flora dan fauna yang dilindungi seperti jamuju, elang jawa, macan tutul, dan surili. Soal banjir di hilir, bencana di kecamatan Majalaya dan Ibun, Kabupaten Bandung, pada 2018 pun diduga salah satunya karena kerusakan hutan di hulu, yaitu Kamojang.
Sejumlah dampak negatif itu membuat panas bumi tak sepenuhnya menjadi energi ramah lingkungan, seperti yang disebut sebagian orang. Pegiat lingkungan, Pepep Didin Wahyudi, dalam satu kesempatan wawancara pernah mengatakan, “Masa ramah lingkungan membuka hutan? Masa ramah lingkungan merusak hutan?”
Upaya Pelestarian Alam
Kerusakan alam di CA Kamojang dan Papandayan telah lama terjadi. Tak semua orang tinggal diam. Ada orang-orang yang menolak kerusakan, mereka yang berupaya melestarikan alam.
Warga Kamojang yang juga tergabung dalam Karang Taruna, Ipan, pernah terlibat dalam restorasi. Saat itu Ipan bergabung bersama gerakan Save Ciharus.
“Sosialisasi, mungut sampah, masang patok-patok biar nggak bisa lewat motor,” jawabnya ketika ditanya kegiatan apa yang dilakukan bersama Save Ciharus.
Patok-patok yang ia maksud adalah sekat sedimen. Selain untuk menutup jalur motor trail, sekat sedimen dipasang untuk menahan laju erosi tanah. Erosi ini membuat lumpur terbawa ke Danau Ciharus ketika hujan. Akibatnya terjadilah pendangkalan.
Danau Ciharus memang tak jarang menjadi tempat tujuan wisata, terutama motor trail. Itu tentu merusak lingkungan. Di sisi lain, masyarakat melawan wisata yang merusak lingkungan dengan menghadirkan wisata ramah lingkungan.
Perkumpulan tour guide lokal Kamojang bercerita soal upaya yang mereka lakukan saat kami temui awal Mei lalu.
“Yang sudah berjalan mah penanaman pohon, pohon endemik,” ujar Budi, salah satu tour guide Kamojang. Ia juga menyampaikan, wisata penanaman pohon tidak boleh dilakukan sembarangan. Jenis pohon yang akan ditanam harus sesuai dengan ketentuan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA). Pohon yang telah ditanam dapat diberi nama dan dikunjungi lagi beberapa lama kemudian. Tak lupa, Budi menyatakan perlunya perawatan setelah penanaman.
Selain melalui wisata, adat setempat pun selaras dengan alam. Salah satunya konsep patanjala yang membagi hutan menjadi beberapa kawasan.
“Seperti kalau di bahasa hukum ada lahan konservasi, ada lahan hutan lindung, cagar alam, ada tiga tingkatan. Di orang sunda pun kearifan lokal dulu mungkin orang-orang tua ada yang pakai. Ada leuweung larangan, leuweung baladahan, leuweung tutupan. Yang leuweung larangan bahasa Indonesianya hutan konservasi. Mereka pun, kita dulu yang di sini, pada nggak berani (masuk) karena ada adatnya,” papar Surya, salah satu warga Kamojang.
Memet Mochamad Rahmat, pegiat lingkungan di Kamojang, juga menjelaskan soal Patanjala. Ia menyebut Patanjala adalah simbiosis mutualisme antara alam dan manusia. Ini juga berkaitan dengan adat ngaloka cai, yaitu penanaman pohon di kawasan hutan untuk menjaga ketersediaan mata air.
“(Itu) salah satu bentuk berterima kasih kepada hutan dan alam yang sudah memberikan kehidupan. Omong kosong kalau manusia hidup tidak ada air. Berterima kasih kepada alam dengan tadi, pola nanam,” ujarnya ketika ditemui di sebuah kedai kopi di Kamojang.
Selain masyarakat setempat, pegiat lingkungan di gerakan Save Ciharus pun melakukan upaya pelestarian. Kegiatan gerakan ini meliputi sosialisasi, kampanye di dunia maya maupun nyata, restorasi, pemungutan sampah, pemasangan plang, hingga pemasangan sekat sedimen. Belakangan, gerakan ini melahirkan gerakan serupa dengan skala lebih luas, Sadar Kawasan.
Selain itu, ada pula Aliansi Cagar Alam Jawa Barat. Wadah bagi organisasi, komunitas, serta individu yang mendukung kelestarian cagar alam di Jawa Barat. Mereka juga mengawal pencabutan SK 25 yang mereka anggap membuka jalan untuk kerusakan hutan yang lebih besar.
Dijaga oleh mereka, upaya pelestarian alam akan terus berjalan. Mereka akan terus merawat lingkungan lewat kampanye, unjuk rasa, juga penanaman pohon. Barangkali di situ pulalah mereka turut menanam harapan untuk alam yang tanpa kerusakan.
Pasca tulisan ini ditulis, akhir Mei lalu, Aliansi Cagar Alam Jawa Barat kembali menanggapi siaran pers PPID KLHK Perihal Tuntutan Pencabutan Keputusan Menteri LHK. Di dalamnya terdapat lima tuntutan kepada KLHK terkait SK 25. Diantaranya adalah meminta kejelasan status SK 25, meminta pencabutan SK, serta menuntut keterbukaan informasi publik terkait SK yang memuat penurunan status cagar alam.
Catatan:
Kami sempat menghubungi jajaran pemerintahan terkait hal ini. Namun, wawancara kami ke Direktorat Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam (KSDAE) KLHK tak kunjung selesai diproses hingga berminggu-minggu. Sedangkan Ammy Nurwati, Kepala BBKSDA Jabar menolak diwawancarai karena “Harus hati-hati, kondisinya sedang menjadi polemik dan viral.” Ammy mengarahkan kami ke Himawan Sasongko, Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III Ciamis, yang awalnya bersedia diwawancara, tapi mengatakan sedang “Menunggu perintah” ketika kami konfirmasi. Adapun Purwantono, Kepala Seksi Konservasi Wilayah V Garut, menerima wawancara kami dengan syarat tidak dipublikasi. Ia mengatakan segala informasi yang keluar “Harus satu pintu.”
Ananda Putri & Santi Muhrianti* (kontributor)
Editor: Tamimah Ashilah