“Rata-rata kita anjurkan (penggantian pembalut) itu empat jam sekali. Atau lebih baik ketika ingin buang air kecil yang mungkin dirasakan setiap dua jam, itu diganti juga. Saran saya sih empat jam sekali,” ujar Kartika, Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.
Kalau kita lihat dan terapkan pernyataan dokter barusan, yaitu mengganti pembalut setiap empat jam sekali, paling tidak kita akan memakai lima sampai enam pembalut dalam sehari. Dilansir dari hellosehat.com, rata-rata masa menstruasi perempuan adalah tiga sampai tujuh hari. Jika kita kalikan, setidaknya setiap perempuan akan menghasilkan 15 sampai 35 buah sampah pembalut per satu masa menstruasi. Lalu bagaimana jika kita kalikan satu tahun rentang masa subur dan jumlah wanita produktif di Indonesia, yang menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 mencapai 69,4 juta jiwa.
Pembalut wanita sekali pakai umumnya terdiri dari kapas atau pulp kayu, plastik, dan gel polymer di sebagian jenisnya. Setelah digunakan dan terbuang begitu saja, bahan-bahan pembentuk pembalut khususnya plastik dan gel akan sulit terurai. Mita Sirait, dalam bukunya yang berjudul Sulap Sampah Plastik Keras Jadi Jutaan Rupiah menuliskan, sampah pembalut dapat terurai dalam kurun waktu 500-800 tahun dan itu bukan waktu yang sebentar.
Zat Kimia Pembalut di Lingkungan
Tahun 2015, banyak media yang memberitakan kandungan klorin yang berbahaya dalam pembalut sekali pakai. Hal tersebut bersamaan dengan penemuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terkait kandungan klorin dalam pembalut. Atau informasi tentang maraknya anak muda yang meminum air rebusan pembalut, yang dikabarkan dapat mabuk akibat kandungan zat kimia di dalamnya.
Zat kimia yang banyak disebut adalah klorin. Akan tetapi banyak kemasan yang tidak menuliskan klorin dalam kolom kandungan produknya. Untuk itu, kami mendatangi Ahli Kimia di Universitas Padjadjaran, Haryono.
Menurut Haryono, fungsi klorin dalam pembalut dikatakan untuk memutihkan pulp (bagian penyerap dalam pembalut, serupa kapas) atau bahan lainnya. Biasanya bentuknya adalah gas klor. Gas klor ini saat terhempas ke lingkungan, maka sifatnya akan sangat beracun dan dia akan terbawa oleh pembalut. Saat pembalut terbuang, maka berpotensi untuk mencemari lingkungan.
Sebetulnya, ada beberapa riset dan inovasi untuk meniadakan penggunaan klorin dalam proses produksi. Produknya biasa disebut dengan elemental chlorine free dan totally chlorine free, dua metode pemutihan bahan pembalut. Sebetulnya, kedua hal tersebut tetap menggunakan klorin, hanya saja klorin dioksida, “Dan ini memiliki sifat racun yang jauh di bawah gas klor,” ucap Haryono.
Pada kondisi senyawa tertentu, klorin memang berbahaya. Akan tetapi pada kondisi tertentu, klorin akan aman untuk digunakan. Misalnya pada garam dapur, garam dapur mengandung natrium dan chlor atau NaCl. Senyawa klor dalam garam berada dalam kondisi aman, karena kalau tidak, mungkin kita akan keracunan setiap hari.
Kandungan zat kimia yang cukup banyak ditambah kandungan-kandungan lain yang kompleks dalam sebuah pembalut memang diamini oleh Haryono. Hal itu nantinya juga akan berdampak pada kandungan sampah pembalut yang terbuang dan bergabung di lingkungan.
Beralih Demi Bumi
Melihat data sampah pembalut yang cukup besar, akhirnya banyak wanita dan masyarakat yang mulai berhenti menggunakan produk pembalut sekali pakai. Mereka beralih ke produk-produk reusable dan washable, atau dengan kata lain produk yang dapat digunakan berulang. Ada dua jenis yang cukup populer, menstrual cup atau cawan menstruasi dan reusable menstrual pad.
Jika melihat sejarah perkembangan pembalut wanita, maka kita akan menemukan bahwa dahulu wanita menggunakan kain untuk menahan darah menstruasinya. Reusable menstrual pad dapat dikatakan sebagai modernisasinya. Karena, menstrual pada juga menggunakan bahan dasar kain yang dapat dicuci dan dipakai berulang. Bahan dasar penyerapnya adalah kain microfiber.
Menurut produsen reusable menstrual pad dari Mipacko, Yudi, bahan microfiber adalah bahan yang memiliki daya serap tinggi, sehingga cocok digunakan untuk menjadi komposisi menstrual pad.
Secara proses perawatan, reusable menstrual pad tidak jauh berbeda dengan pembalut sekali pakai. Hanya saja, baik produsen maupun konsumen yang kami wawancarai mengatakan, bahwa sebaiknya pencucian reusable menstrual pad tidak menggunakan pelembut ataupun pemutih. Hal tersebut dapat merusak pori-pori kain microfiber yang bertugas menyerap darah.
Saat ini, reusable menstrual pad juga didesain dengan motif yang beragam dan bentuk yang praktis layaknya pembalut sekali pakai. Akan tetapi masih banyak yang ragu untuk menggunakannya, alasannya sih kurang praktis. Menurut pengguna reusable menstrual pad yang juga insinyur teknik sipil, Deasy, banyak yang bertanya bagaimana kalau berpergian menggunakan reusable menstrual pad dan harus menggantinya, bagaimana mencucinya, dan pertanyaan lainnya.
“Jadi paling dilipat, lalu dimasukkin ke pouch, tapi yang ditakutin itu baunya kemana-mana, terus secure, jadi banyak dibungkus-bungkus gitu deh, setelah itu baru dicuci di rumah,” kata Daesy yang berbagi pengalamannya di salah satu kedai kopi di bilangan Pasir Kaliki, Bandung.
Selain reusable menstrual pad saat ini, banyak juga yang mulai beralih ke cawan menstruasi. Berbeda dengan reusable menstrual pad, cawan menstruasi memiliki cara penggunaan yang lain, sedikit mirip tampon, tapi kalau cawan menstruasi, dia itu reuseable. Cara penggunaannya adalah dengan melipat dan memasukkan cawan tersebut ke lubang vagina. Ukurannya beragam, semua bisa disesuaikan dengan siklus menstruasi kita.
Namun demikian, cara pemakaian cawan menstruasi yang harus dimasukkan ke lubang vagina ini menimbulkan berbagai tanggapan, salah satu yang paling populer adalah ketakutan bagi wanita yang belum menikah yaitu kerusakan selaput dara. Menurut Bidan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Merry Wijaya, hal tersebut memang mungkin terjadi. Hal ini menjadi pertanyaan dan ketakutan, karena di Indonesia “keperawanan” masih menjadi hal yang tabu dan sangat perlu dijaga.
“Untuk di Indonesia, saya anjurkan untuk tidak menggunakannya, karena penggunaan menstrual cup beresiko besar (merusak selaput dara),” tutur bu Bidan.
Mereka yang Mulai Beralih
Kampanye untuk menjaga lingkungan yang semakin masif atau alasan ketidakcocokan dengan produk pembalut sekali pakai menjadi latar belakang banyak wanita mulai beralih ke pembalut reuseable ini. Melisa misalnya, mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran ini sudah sekitar delapan bulan terakhir menggunakan menstrual cup, alasannya adalah cinta bumi. Dia tidak mau menyumbang banyak sampah terutama dari hasil penggunaan pembalutnya.
Ia bercerita, sumber pertama yang menyampaikan informasi terkait cawan menstruasi adalah akun Suistanation di Instagram. Melisa bilang, dia mempertimbangkan dan memutuskan sendiri untuk menggunakan cawan menstruasi.
“Aku baru minta pertimbangan keluarga, tepatnya setelah aku beli,” kata Melisa, perempuan berkacamata yang sekarang tercatat sebagai mahasiswa semester lima.
Terkait mitos atau ketakutan akan rusaknya selaput dara, Melisa tidak mempermasalahakan, pun dengan keluarganya. “Karena keluarga aku cukup open dengan dalam tanda kutip keperawanan akibat selaput dara robek, jadi keluarga aku gak mikir kalau itu tabu,” katanya.
Tidak jauh berbeda dengan Melisa, Deasy juga beralih ke reusable menstrual pad karena alasan lingkungan. Dirinya pernah membaca, kalau sampah pembalut itu akan terurai setelah ratusan tahun, di samping adanya ketidakcocokkan dengan bahan kimia yang ada dalam pembalut sekali pakai.
Baik Melisa ataupun Deasy bilang, banyak kelebihan dari kedua produk ini, selain dapat berkontribusi untuk menjaga lingkungan, ongkos penggunaan menstrual pad atau cup jauh lebih murah. Di awal memang terlihat mahal, tapi masa penggunaannya yang bisa sampai dua tahun bahkan lebih membuat ongkos yang harus kita keluarkan jadi lebih sedikit.
Athaya Soraya A. dan Tamimah Ashilah
Editor: Erlangga Pratama