That you are not alone
For I am here with you
Though you’re far away
I am here to stay
Potongan lirik lagu Michael Jackson itu mungkin terdengar familiar di telinga masyarakat. Berjudul You Are Not Alone, nyatanya lagu ini punya makna yang sangat mendalam. Lagu ini coba menunjukan bahwa ketika ada permasalahan, selalu ada orang-orang yang peduli dan bisa menjadi sandaran bagi mereka yang kesulitan.
Tidak terkecuali bagi mereka yang berjuang mengatasi masalah mental, ternyata ada kelompok yang punya dedikasi tinggi terhadap permasalahan mental. Bukan sekedar peduli, kelompok ini juga bisa menjadi tempat para penyintas kesehatan mental bercerita. Bukan sekedar bercerita, namun juga coba menemukan jalan terang permasalahannya.
Halo Jiwa Indonesia
Lahirnya komunitas ini berawal dari keprihatinan terhadap tindak diskriminasi atas penyintas kesehatan mental. Lebih jauh lagi, penggagas komunitas ini melihat adanya pemasungan penyintas kesehatan mental. Fenomena itu yang akhirnya membuat Halo Jiwa Indonesia hadir sebagai salah satu tempat advokasi penyintas kesehatan mental.
“Kami mendirikan sebuah komunitas kesehatan mental untuk memerangi diskriminasi dan stigma pada ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), terlebih lagi Indonesia telah memiliki undang-undang kesehatan jiwa yg menjadi landasan kami untuk bergerak,” ungkap Azmul, Pengurus Halo Jiwa Indonesia.
Sebenarnya, mereka yang tergabung dalam Halo Jiwa bukanlah profesional di bidang kesehatan mental. Namun itu tidak menjadi halangan anak muda Makassar ini untuk memerangi stigma buruk terhadap penyintas kesehatan mental. Upaya advokasi bagi penyintas turut dihadirkan di komunitas Halo Jiwa, mereka juga mengupayakan penyintas agar menempuh jalan medis profesional.
Bagaiamana bisa Halo Jiwa mengetahui permaslahan mental apa saja yang kerap menghantui masyatakat? . Pertanyaan itu dijawab oleh Halo Jiwa dengan pendekatan ilmiah, yakni melalui survey. Dengan mengetahui permasalahan yang paling banyak diderita penyintas, Halo Jiwa bisa berancang-ancang dalam melakukan penanganan sesuai dengan permasalahannya.
Jika dianalogikan, Halo Jiwa merupakan anak tangga pertama yang dapat ditempuh penyintas kesehatan mental. Halo Jiwa tentu sudah punya bekal dalam menangani permaslahan mental. Oleh karena itu, para penyintas tidak perlu merasa takut mendapatkan judgement. Selain itu, pendeketan melalui rasa simpati juga menjadi penerapan lain di Halo Jiwa Indonesia. Menurut Azmul, Bentuk bantuan moril juga tidak kalah penting bagi pemulihan penyintas kesehatan mental.
Tidak hanya membantu mereka yang memerlukan pemulihan, upaya edukasi juga coba diusahakan oleh komunitas ini. Tujuannya jelas, agar masyarakat tidak punya cara pandang yang salah terhadap penyintas. Biasanya, Halo Jiwa mengadakan diskusi khusus yang mengudang pakar yang relevan dengan permaslahan mental yang sering dialami, terutama oleh anak muda. Tidak dipungkiri, ini merupakan salah satu cara Azmul dan timnya untuk mengubah stigma negatif terhadap penyintas kesehatan mental.
Pendekatan promitif tidak kalah gencar dilakukan oleh Halo Jiwa. Memanfaatkan insatgram dan web, Halo Jiwa mencoba memberi tahu masyatakat bahwa permaslahan mental tidak sebercanda itu. “Kami tetap melakukan penyebaran informasi tentang melawan stigma di berbagai media, mengingat halojiwa bergerak pada promosi dan pencegahan,” terang Azmul.
Dirasa pengaruhnya kurang bila hanya bergerak di dunia maya, Azmul juga aktif melakukan kampanye. Kampanye ini menjadi cara Halo Jiwa mengedukasi lebih banyak kalangan. Kampanye tersebut dilakukan di jalan, berbagai acara, atau dengan melakukan kunjungan. Halo Jiwa terbilang getol melakukan kunjungan, mulai dari sekolah, komunitas lain hingga anak jalanan pun pernah didatangi. Harapannya, mereka ingin semua orang peka terhadap masalah mental.
Saat ini, kampanye seperti ini hanya ada di wilayah Makassar. Namun, Azmul tidak menampik bila ada kemungkinan Halo Jiwa hadir di dearah lain, tentu saja dengan mengandalkan anak-anak muda. “Kami saat ini masih fokus di kota Makassar dan tidak menutup kemungkinan kami mengembangkan halojiwa di daerah lain, dengan mengandalkan mahasiswa sebagai penggerak utama,” kata Azmul dengan nada optimis.
Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Jawa Barat
Stigma yang negatif terhadap Penyintas kesehatan mental juga menjadi alasan bagi komunitas di Bandung ini berdiri. Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Jawa Barat ini merupakan perpanjangan tangan atau cabang dari KPSI yang berpusat di Jakarta. KPSI lahir setelah perasaan “gerah” yang timbuk akibat sikap masyarakat yang hobi melabeli penyintas dengan kata “Orang Gila” .
Caregivers, begitu orang-orang yang terlibat dalam KPSI ini disebut. Para caregivers awalnya hanya memberikan perawatan pada sanak keluarganya yang mengalami masalah mental. Namun, kini mereka semua berkumpul dan punya tekad memberi afeksi dan advokasi pada penyintas kesehatan mental. Ada Rita, Silvana, Miranda, Sawo, dan Lilis, mereka lah para pelopor komunitas yang berdiri sejak 2012 silam ini. Kini, KPSI diketuai oleh Gema Gumilar yang menjabat sejak 2016.
Komunitas ini pada awalnya hanya berfokus pada penanganan skifozrena. Nasir (2011) mendefinisikan Skizofrenia sebagai kelainan jiwa yang menunjukkan gangguan dalam fungsi kognitif (pikiran) berupa disorganisasi. Jadi, gangguannya ialah mengenai pembentukan arus serta isi pikiran, dan juga ditemukan gangguan persepsi, wawasan diri, perasaan dan keinginan. Singkatnya, pada kesempatan tertentu penderita Skifozrenia kesulitan membedakan realitas dan khayalan.
Melihat respon yang berdatangan, akhirnya KPSI mulai sedikit berubah haluan. Meski nama komunitas masih ada kata Skizofrenia, komunitas ini telah terbuka untuk membantu mengatasi permasalahan mental lain. Berbagai upaya dilakukan untuk mengubah stigma dan merangkul penyinyas.
Salah satunya dengan aktif memerangi masyatakat yang kerap melabeli penyintas dengan kata “orang gila”. Melalaui petisi yang dilayangkan KPSI, festival di sebuah restoran yang bertema “orang gila” dan punya konotasi menyudutkan penyintas berhasil dihentikan penyelenggaraannya. Penyintas yang diobjektivikasi oleh partai politik untuk menjadi model kampanye pemilu 2019 pun tidak luput dari sorotan KPSI. Melihat hal itu, KPSI melayangkan protes dan berhasil menurunkan semua bentuk iklan yang melibatkan anggotannya yang juga merupakan penyintas kesehatan mental. Lebih jauh lagi, KPSI telah berperan dalam menghasilkan payung hukum bagi kepentingan penyintas kesehatan mental.
“Alhamdulillah Jabar sekarang sudah memiliki Peraturan Daerah yaitu Nomor 5 tahun 2018 yang dimana terdapat keterlibatan KPSI Simpul Jabar dalam memperjuangkan Perda tersebut. Lalu sekarang kami sedang memperjuangkan Pergub atau Peraturan Gubernur, selain itu juga ada Perbup atau Peraturan Bupati dan juga Perwal atau Peraturan Walikota untuk daerah-daerah di Jawa Barat. Agar dapat memfasilitasi juga mengakomodir segala kebutuhan atau saran-saran juga isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan jiwa,” terang Ketua KPSI Jawa Barat Gema Gumilar.
Sementara, bagi penyintas, kehadiran KPSI ini tidak ubahnya seperti rumah. Pasalnya, upaya KPSI sudah sampai pada rehabilitasi berbasis masyarakat. Penyintas saat ini punya rumah singgah yang berfungsi juga sebagai tempat rehabilitasi. Akhirnya, kahadiran rumah singgah ini membuat KPSI Jawa Barat memutuskan melahirkan “Adik” , yakni komunitas Rumah Atma Wimala. KPSI Jawa Barat fokus pada upaya preventif dan promotif, adapun Rumah Atma Wimala berkontribusi tinggi pada rehabilitasi.
Jika KPSI punya peran besar dalam menanggulangi kesehetan mental penyintas, maka setidaknya masyarakat bisa juga berperan dalam hal ini. Caranya, dengan tidak menyebar stigma negatif terhadap kesehatan mental. Berempati bisa menjadi langkah tepat bagi penyintas kesehatan mental.
“Bentuk support yang memang dibutuhkan oleh teman-teman kami di masyarakat, sebetulnya dukungan sosial yang komprehensif dan terintegrasi dari dukungan sosial berupa empati, minimal ketika seseorang tidak menyebut “orang gila” atau memberikan stigma negatif ataupun diskriminasi,” kata Gema.
Dewasa ini , masalah mental tidak bisa dipandang sebelah mata. Hasil survey dari World Health Organization (WHO, 2012) menyatakan bahwa sekitar 450 jiwa penduduk di seluruh dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa, yang artinya 10% penduduk dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa, hal tersebut sejalan dengan hasil riset bank dunia dan survei Badan Pusat Statistik yang melaporkan bahwa penyakit yang merupakan akibat masalah kesehatan jiwa mencapai 8,1 %, merupakan angka tertinggi dibanding presentasi penyakit lain.
Tidak hanya dua komunitas ini, berbagai komunitas lain pun hadir dalam memberi uluran tangan pada penyintas kesehatan mental. Penyintas diberi ruang bercerita, mengeluarkan keresahannya, hingga upaya penyembuhan. Baik komunitas maupun masyarakat, keduanya punya kesempatan yang sama untuk membantu menangani masalah kesehatan mental. Hal tersebut dapat dimulai dengan cara sederhana, yaitu tidak memberikan stigma negatif pada penyintas
Muhamad Arfan Septiawan dan Novita Caesaria Putri
Editor: Tamimah Ashilah